Senin, 29 Juni 2020

Jasad Mimpi Sang Pengarang [Cerpen Harian Medan Pos, edisi Minggu, 28 Juni 2020]

dimuat di Harian Medan Pos

JASAD MIMPI SANG PENGARANG
Oleh Dian Nangin
Ketika wajah langit mulai berselaput mendung, aku melakukan sebuah prosesi menuju pemakaman. Tak ada lagu-lagu penghiburan, ayat-ayat yang melipur lara, sekeranjang bunga-bunga, atau tepuk di bahu serta peluk singkat sarat empati. Hanya ada jasad ratusan file cerita pendek yang berada dalam belasan folder. Folder itu lalu menjelma peti yang akan menemaninya ke tempat peristirahatan terakhir.
 Kutatap layar putih di hadapanku dengan folder-folder berbaris rapi, dengan nama-nama yang akrab. Tidak pernah ada perpisahan yang mudah. Walau perpisahan ini sebenarnya telah membayangi dari jauh-jauh hari dan aku—sedikit banyak—telah berlatih  mempersiapkan diri, namun tak pernah ada kesiapan yang sempurna. Kuhalau titik-titik air yang mulai menggenangi pelupuk mata.
            Sebentar, aku harus menarik nafas! Aku ingin mengenang dengan tenang waktu yang telah kulewatkan bersama impian ini hingga kini tiba saat bagiku untuk melepasnya. Ah, terlalu lama! Terlalu lama aku memelihara impian ini hingga tak lagi kuingat kapan ia tumbuh. Tak terhitung sudah berapa kali aku dan ilham-ilham di kepalaku melakukan persetubuhan hingga melahirkan karya yang (tidak selalu) mengagumkan.
            Tidak mudah untuk menjadi seorang pengarang. Dalam tubuhku tersimpan bibit-bibit kegelisahan yang perlahan tumbuh meraksasa, menggerogoti jiwa. Pikiran selalu menaruh curiga pada mimpi yang singgah dalam tidur. Ada banyak hal yang seenaknya menerobos masuk ke dalam tubuh dan hati tanpa bisa diabaikan dengan mudah serupa mengacuhkan angin yang meniup kulit.

            Detak jantung bukan sekedar pertanda masih berlangsungnya kehidupan—tak cuma berarti bahwa darah masih dipompa dengan baik mengaliri pembuluh-pembuluh yang tumbuh berkejaran dalam tubuh. Bagiku, detak jantung juga merupakan sebuah isyarat ambigu tentang sesuatu, yang lebih sering mengganggu ketimbang memberi ketenangan. Bahkan, dalam lelap aku gugup. Kecemasan-kecemasan kadang menyerang, lalu enyah tanpa disadari.
“Pernahkah kau terbangun subuh-subuh dengan perasaan tumpul yang menggelisahkan, tanpa kau tahu bahwa di sana, di seberang laut dimana kampungmu berada, telunjuk kiri ibumu baru saja tersayat pisau saat sedang mengiris bawang?”
Kekasihku geleng-geleng kepala ketika suatu kali kusampaikan hal-hal yang membuat kepalaku penat. Namun gelengannya itu bukan sebagai jawaban atas pertanyaanku, tapi karena murni tidak mengerti atas kicauanku.
            “Dan kau memendam gundah karena tak menemukan penjelasan apa-apa, hingga kau menganggapnya tak lebih dari firasat tak berdasar namun menyita energimu. Lagipula ibumu yang tinggal di seberang gunung itu tak akan pernah memberitahu perihal kecelakaan-kecelakaan kecil yang ia alami. Tapi tetap saja perasaan tak nyaman itu menderamu sepanjang hari, jelasku panjang lebar.
            “Kau terlalu berlebihan, terlalu sering bermain-main dengan pikiran dan perasaan sendiri,” lelaki itu berujar, tak habis pikir dengan perangaiku.
            “Apakah salahku terjebak dalam pikiran yang seperti ini? Apa kau pikir aku ingin? Aku tak memilih, namun terpilih.”
            Pernahkah kau berpikir bagaimana sebuah impian hinggap dan mengendap dalam jiwamu? Kau bilang itu bakat, tapi pernahkah kau menelusuri bagaimana bakat itu terperangkap dalammu?
            “Kalau begitu abaikan saja.”
            “Tidak semudah itu.”
            Kekasihku garuk-garuk kepala. Rautnya tampak ruwet. “Aku tidak paham,” katanya.
            “Kadang kau tidak dituntut untuk paham. Tapi, dengar! Jangan kau mencintai fisikku saja, tapi pikiran-pikiranku juga,” ujarku demi mengingat alasannya memintaku menjadi perempuannya. Tubuh molek dan paras indah bisa pudar seiring waktu berputar, namun mencintai seluruh elemen kehidupan seseorang akan menjadikan sebuah hubungan lebih awet—ah, aku tak bermaksud berbijak ria.
“Kita tidak harus selalu sepakat dan sepaham, tapi cintailah pikiran-pikiranku juga,” jelasku sekali lagi.
            “Ternyata kau perempuan yang rumit,” tuturnya, baru sadar dan entah ia menyesal. Kami baru seminggu menjalin cinta setelah sebulan berkenalan dan lalu berteman. Sebenarnya, bagiku itu waktu yang cukup singkat untuk sebuah penjajakan sebelum memutuskan untuk berpacaran, apalagi menuju langkah lebih lanjut. Namun, kepalaku mengangguk begitu saja ketika ia mengucapkan barisan kata meminta hatiku.      
            Kekasihku cuma bertahan dua minggu lagi setelah perdebatan tersebut. Setelah itu ia pergi, tak lagi kembali. Beberapa hari kemudian kulihat ia asyik bercumbu di taman kota dengan seorang perempuan manis yang tak henti bergelayut padanya. Perempuan manis berwajah penuh rias dan tampak tak ada yang membebani pikirannya—kecuali barangkali tentang pakaian model apa yang akan ia kenakan esok hari dan riasan seperti apa yang akan ia pakai. Bukan karena ia tak punya rekomendasi, tapi karena terlalu banyak opsi yang memenuhi kepalanya.
            Apa aku marah? Tidak! Cemburu? Mmm,  barangkali sedikit. Jujur, aku juga tak terlalu mengharapkan cintanya. Ia hanya kujadikan selingan kala jenuh mengarang. Dendam? Tidak! Memendam dendam, kata ibuku, seperti meminum segelas racun dengan harapan membunuh orang lain.*
            Yang tersisa padaku adalah rasa putus asa, tapi bukan karena putus cinta. Bertahun-tahun aku menggeluti dunia mengarang, namun baru sedikit yang kuperoleh. Lebih banyak pahit dan getirnya, yang berupa tusukan-tusukan perasaan yang menyesakkan. Aku ingin mengeluarkan kegilaan ini. Esensi karya, suara jiwa, atau sekedar jeritan tak bermakna, aku tak peduli segala. Aku hanya ingin lega.
            Barangkali, beginikah derita para pengarang? Ah, pantaskah kulabeli diri sebagai pengarang hanya karena segelintir karya?
“Mau bagaimana masa depanmu nanti? Susunlah sebuah rencana yang matang dan pasti. Tak selamanya kau hidup sendiri. Dan, tak selamanya kau bisa bergantung padaku,” begitu ibuku berkata baru-baru ini. Aku tahu apa yang menjadi sasarannya. Sejak awal, pekerjaan ini bukanlah sebuah ‘pekerjaan’ baginya.
Bayangan hidup tanpa ibu, sementara aku masih terombang-ambing dalam ketidakpastian membuat hatiku merasa ngilu. Tiba-tiba, aku seperti tersadar dari sebuah amnesia akut. Aku tahu ada banyak orang yang berada dalam satu arah denganku, menapaki jalur yang sama, tersandung-sandung, sudah terjatuh berkali-kali, namun masih terus melangkah ke depan. Kali ini ingin kubungkukkan hormatku pada mereka, lalu berbelok ke arah persimpangan lain.
Aku menyerah. 
***
            Selaput mendung di langit sudah mulai merinaikan gerimis ketika aku menegakkan punggung. Mereka tampak menari-nari di luar jendela kaca. Aku menabahkan diri. Serupa menghadapi sebuah pemakaman, semesta seolah ikut menangis. Kusemayamkan jasad mimpi-mimpi itu dalam recycle bin. Di sanalah segala tulisan yang pernah kuhasilkan teronggok, perlahan menumpuk sembari aku menyisir folder-folder lain—aku tak ingin ada yang tertinggal. Kutatap mereka untuk kali terakhir sebelum melenyapkan segalanya hingga tak ada yang tersisa. Kuenyahkan jejak-jejaknya hingga tak akan kutemukan lagi kemanapun aku mencari. Tak ingin aku bersentimental ria bila suatu hari secara tak sengaja kutemukan sisa karya tak bermakna dan meratapinya.
            Aku akan lahir baru. Orang-orang bilang pengarang hidup dalam dunia semu, maka kini aku kembali. Kujejakkan kaki di dunia nyata. Semoga angan yang kubangun berikutnya tak sekedar fiktif belaka. Cukup sudah bertahun-tahun aku berkubang fantasi. Kali ini aku akan benar-benar belajar mengacuhkan segala gelisah. Tak ingin lagi aku digerogoti olehnya. Aku memang tak paham bagaimana sebuah bakat bisa hinggap dan tak tahu bagaimana impian tercipta, atau hubungan keduanya. Atau, adakah antara bakat dan impian tak punya korelasi?
Ah, selamat tinggal, mimpi! Aku menepuk-nepuk tangan, mengenyahkan debu. Kubuka sebuah lembar kosong dan mengetikkan surat lamaran kerja.
Medan, 2017-2018
Catatan:
*Petikan puisi M. Aan Mansyur dengan judul Melihat Peta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar