Senin, 31 Oktober 2016

ESENSI MATAHARI [Banjarmasin Post, 30 Oktober 2016]

Hello, everyone! Are you ready to say goodbye to October and then welcome November?

Oktober memberi saya penutup yang manis dengan dimuatnya sebuah cerpen saya di Banjarmasin Post pada minggu terakhirnya. Tak sabar menunggu November tiba dan berharap hal-hal baik serta tak kalah manis dari bulan-bulan sebelumnya akan terjadi.

Selamat membaca...
ESENSI MATAHARI
Oleh Dian Nangin

Maja mengernyit untuk ke sekian kali ketika rasa asin singgah di sudut bibirnya. Segera ia menarik lengan baju untuk menyapu kening hingga dagunya yang banjir peluh. Matahari sudah tinggi. Di tubuh, batas suhu panas sudah di luar toleransi. Namun Maja bertahan, sebab bundelan koran dalam pelukannya belum laku banyak.

Jumat, 28 Oktober 2016

Nyawa Semata Wayang [Flores Sastra, 27 Oktober 2016]

Well, ada sedikit kesalahan penulisan nama oleh pihak Flores Sastra. Saya berasa jadi jiwa yang melayang-layang, hoho... 
Selamat membaca, kawan ^-^


NYAWA SEMATA WAYANG
Oleh Dian Nangin 
Meski sewaktu kanak-kanak dulu aku tak paham apa arti kematian, namun kukira aku telah cukup akrab dengannya.
Pertama kali berhadapan dengan yang namanya kematian adalah ketika nenek berpulang, menyusul kakek yang tak pernah kukenal sebab ia telah tiada bahkan ketika ibuku masih kecil. Suatu petang jelang malam, perempuan tua itu dibawa ke rumah sakit dan tidak kunjung kembali ketika esok hari aku pergi ke sekolah—aku masih kelas 3 SD waktu itu. Sepulang sekolah, kulihat sebuah bendera merah terpancang di depan rumah. Orang-orang berpakaian hitam dan bermata sembab berlalu lalang.
Aku yang belum mengerti apa itu duka hanya duduk di tepi peti mati, melongok ke dalamnya dan memandangi seraut wajah keriput yang damai. Kedua tangan berkulit penuh kerut yang dulu sering kupuntir-puntir terlipat di atas perut. Di mataku, nenek tampak hanya sedang tidur pulas. Aku cuma mengernyit melihat orang-orang menangis begitu keras. Meski sesekali pelayat mendekapku dengan wajah bersimbah air mata, aku tak tahu harus bereaksi apa selain balas memeluk dengan raut datar.
Setelah nenek dikebumikan dan di hari-hari berikutnya kemudian baru aku paham bahwa bila seseorang mati, berarti ia takkan bisa ditemui lagi. Tak peduli kemana kau mencari dan seberapa lama kau menunggu dia kembali. Raga tempatnya menumpang hidup telah kembali ke tanah dan satu-satunya nyawa yang dititipkan padanya sudah harus kembali pada Sang Pencipta. Dua komposisi inti kehidupan yang pada akhirnya berpisah ke berlawanan arah.
Beberapa tahun kemudian, seorang tetangga yang kupanggil paman tutup usia. Anak-anaknya yang sedang menempuh pendidikan di pulau seberang diminta pulang. Ketika tiba di rumah, tangis mereka melengking demi melihat sesosok jasad kaku yang telah menunggu. Lalu tubuh-tubuh itu ambruk tak sadarkan diri, tak sanggup dihantam pilu. Aku menyaksikan semua adegan itu dengan mulut terbungkam bisu.

Senin, 24 Oktober 2016

Jejak Kewarasan [Medan Bisnis, 23 Oktober 2016]

Barangkali cerita seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Atau, bisa jadi juga tak pernah kita temui karena kurangnya atensi terhadap kehidupan sekitar. Cerpen berikut ini barangkali sesuatu yang sederhana, namun saya berharap dapat menghibur. Syukur-syukur ada sesuatu yang bisa dipetik darinya. 
........

“Rin, lihat!” bisikku pada Airin sambil memperlihatkan secarik kertas yang diam-diam kupungut sewaktu angin menerbangkannya dari meja lelaki itu.
“Kenapa?” Airin melongok sekilas, lalu mengalihkan lagi perhatiannya pada ponsel yang sejak tadi diutak-atiknya. Wajar saja Airin tidak tertarik. Deretan angka dan berbagai simbol operasi aritmatika yang tertulis di kertas ini tak ada sangkut pautnya dengan jurusan yang kami geluti; sastra.
“Rin, kertas ini dari dia...” diam-diam kutunjuk lelaki yang masih tertunduk itu, asyik dengan kertas-kertasnya.
“Orang gila itu?” Airin tampak tak percaya. “Nggak mungkin! Itu pasti kertas coretan mahasiswa. Kan, banyak yang ngerjain tugas di sini.”

Berikut link-nya http://www.medanbisnisdaily.com/e-paper/2016-10-23/#10/z

Selamat membaca... ^^

Jumat, 14 Oktober 2016

Singgah, Senja


singgah, dan berlalu
pagi telah beku
siang yang sebentar menggebu, lalu bisu

singgah, dan berlalu
hari-hari yang rancak
biar ingatanmu berkecipak
dalam kenangan menggenang

telah berlalu
sederet angka pada almanak usia
 
sebelum senja menua
mengepaklah lagi
hari-hari tak akan datang kembali; barangkali

Medan, 2016

suatu petang berawan
usai mendengar burung-burung bernyanyi

Rabu, 12 Oktober 2016

SENANDUNG TERAKHIR [Cerpen]


Sebenarnya cerpen ini pernah diikutkan LOMBA MENULIS CERPEN HUTAN DAN LINGKUNGAN Perhutani Green Pen Award 2016, namun ternyata tidak menang. Akhirnya berakhir di sini, sekedar untuk diabadikan juga untuk dinikmati bila ada yang berniat membaca. Well, here the story. Bila ada yang ingin menyampaikan kritik, saya tunggu, ya. Selamat membaca....

SENANDUNG TERAKHIR 
Oleh Dian Nangin


Rasanya baru kemarin kau mengamati dan menghitung ruas-ruas baru yang bertambah di tubuhmu. Rasanya baru kemarin ayahmu—yang tubuhnya besar nan gagah itu—bercerita bahwa kau telah lama ditunggunya. Katanya, tiap kali muncul rebung tak jauh dari kakinya tertanam, selalu saja ada yang mengambilnya sebelum sempat tumbuh besar dan bertransformasi menjadi bambu yang elok dan menjulang tinggi.
Cerita itu membuatmu paham mengapa hanya kau berdua saja dengan ayahmu yang berada dalam satu kelompok, sementara bambu lain hidup beberapa batang sekaligus dalam satu rumpun. Itu karena bakal bambu sebelumnya tak punya kesempatan untuk tumbuh, seperti yang ayahmu katakan.
Rasanya baru kemarin kau membangun persahabatan dengan para burung yang aktif berkicau, meramaikan siangmu. Juga dengan para serangga malam yang setia dengan orkestranya. Menidurkan para burung yang meringkuk dalam sarang, kelelahan telah bersenandung sepanjang siang.