Senin, 31 Oktober 2016

ESENSI MATAHARI [Banjarmasin Post, 30 Oktober 2016]

Hello, everyone! Are you ready to say goodbye to October and then welcome November?

Oktober memberi saya penutup yang manis dengan dimuatnya sebuah cerpen saya di Banjarmasin Post pada minggu terakhirnya. Tak sabar menunggu November tiba dan berharap hal-hal baik serta tak kalah manis dari bulan-bulan sebelumnya akan terjadi.

Selamat membaca...
ESENSI MATAHARI
Oleh Dian Nangin

Maja mengernyit untuk ke sekian kali ketika rasa asin singgah di sudut bibirnya. Segera ia menarik lengan baju untuk menyapu kening hingga dagunya yang banjir peluh. Matahari sudah tinggi. Di tubuh, batas suhu panas sudah di luar toleransi. Namun Maja bertahan, sebab bundelan koran dalam pelukannya belum laku banyak.
Pada perempatan itu Maja meniti usia. Masa kanak-kanak berlalu dengan ‘krecekan’ tutup botol dan puluhan lagu yang ia pinjam dari musisi ibukota. Masa remajanya diambil alih oleh kotak asongan. Jelang dewasa kini ia berganti karir menjadi penjaja koran. Masih di perempatan yang sama. Pun, ia melampirkan sederet cita-cita di sana. Berharap rezeki yang ia peroleh tiap kali nyala lampu merah bisa mewujudkan keping-keping impiannya jadi nyata.
Namun semakin lama ia merasa nasib baik menjauh darinya—mungkin sejak awal memang sudah jauh. Lihat, orang kebanyakan bersikap tak peduli meski mulutnya berbuih karena berulang-ulang menyebut headline koran yang ia jajakan. Ratusan kali kakinya berlalu lalang menyusuri tiap kaca jendela kendaraan yang senantiasa tertutup. Orang-orang di balik kaca itu lebih menaruh fokus pada benda elektronik canggih dalam genggaman. Barangkali berita di sana lebih up to date ketimbang yang tercetak dalam lembar harian berisi peristiwa kemarin yang tak dapat diperbarui dalam sekejap.
Maja kembali menyeka keringat. Panas makin tak tertahankan. Ditambah lagi hingar bingar kendaraan yang memekakkan telinga. Pemuda itu menghempaskan tubuh di bawah tugu dekat tiang lampu tiga warna pengatur lalu lintas kota. Pandangannya sedikit berkunang-kunang ketika ia menatap sesosok patung pahlawan yang menjulang langit.
Aku iri padamu, batin Maja. Jasamu membuat negeri ini menobatkanmu jadi pahlawan bangsa, sementara aku bahkan belum bisa menjadi pahlawan bagi diriku sendiri.
Namun lalu ia kaget karena sebongkah cahaya teramat pekat jatuh menimpa tugu. Tiba-tiba patung itu berubah lentur, lalu dalam hitungan menit pecah menjadi ribuan larik cahaya. Sinar yang menyakiti kornea itu menuju ke arahnya.
          “Siapa kau?” Maja bergetar. Beberapa menit berlalu tanpa jawaban membuat Maja membatin bahwa ia mungkin berhalusinasi. Penyebabnya pasti karena tubuhnya dehidrasi.
“Aku...esensi matahari,” sebuah suara berat menggema.
Maja menyipitkan mata, antara ingin menghalau silau serta memperjelas penglihatan. Apa mungkin aku dikunjungi dewa? Maja membatin. Pemuda itu menoleh ke kanan kiri, memeriksa apakah ia telah jadi tontonan. Namun ia dapati sekelilingnya penuh benda-benda bersinar, seolah segala sesuatu sedang diselimuti kepompong cahaya.
“Ya, aku matahari yang memecah tubuhku satu-satunya ke penjuru semesta. Aku matahari yang menyaksikan segalanya dari batas cakrawala.”
Maja mengerjapkan mata, menggelengkan kepala. Ingin ia menyangkal keanehan yang tak masuk akal ini.
“Aku tahu kau bukan orang pagi yang menyambutku dengan teh hangat atau secangkir kopi. Kau adalah manusia penuh gegas bila ingin bertahan hidup.”
             Maja masih tak percaya, namun ia merasa ucapan itu ada benarnya.
“Sesekali aku ingin menunda kemunculanku bagi mereka yang masih terkantuk-kantuk, membiarkan mereka terlelap sedikit lebih lama. Tidak ingin memaksa mereka bangun untuk kembali menjalani rutinitas. Namun semua harus berjalan sebagaimana mestinya. Tak ada sesuatu atau seorangpun yang kuasa menunda waktu. Bukan begitu?”
Maja mengangguk. Siapapun tahu itu.
          “Sesungguhnya aku tak ingin membakar anak-anak yang lalu lalang dengan kaki telanjang di perempatan-perempatan lampu merah itu. Pun, kau. Sementara tubuh-tubuh tambun di sisi lain duduk nyaman dalam ruangnya yang senantiasa berudara segar. Ketika berpapasan di perempatan ini mereka senantiasa menutup kaca kendaraan. Bukankah itu semua kau alami?”
          “Benar,” Maja menyahut takjub. Sesaat ia tersanjung, sebab ia merasa telah diperhatikan.  “Apa lagi yang kau lihat dari atas sana, Tuan?”
           “Apa yang ingin kau dengar?”
            Maja tercenung sesaat. “Yang paling menarik perhatianmu dari negeri ini.”
“Aku jadi saksi atas lelaki tua yang diam-diam mencuri tiga bongkah keladi serta beberapa potong kayu sebagai bakal api. Di dapurnya sang istri menanti, berharap kekosongan perut bisa diisi walau untuk sehari. Tapi apa daya, orang-orang memergoki dan lelaki itu berakhir di jeruji. Sebab, pemilik keladi dan kayu bakal api adalah pejabat tinggi.”
            Maja mengangguk. Bukan sekali dua ia mendapati berita serupa di lembar-lembar harian yang ia jajakan. Kadang, bangsa ini tak lebih dari panggung ironi.
         “Sementara sang pejabat tinggi, bersenang-senang dengan para wanita yang bukan istrinya. Juga tak jarang bersama komplotannya pergi bersafari. Tak peduli pada petani bertopi jerami, berpeluh-peluh menanam padi di sepetak ladang sewa yang belum dilunasi.”
Makhluk ini pasti telah melihat banyak, batin Maja. Ia pun serupa. Bedanya, beliau ini menyaksikan semua dari tahtanya di angkasa. Sementara Maja tahu dari bundel-bundel koran yang saban pagi ia tekuni. Berita-berita di sana telah menjadi teropong baginya matanya untuk memandang lebih jauh, untuk melihat lebih banyak.
          “Sulitnya hidup tak perlu kau tangisi. Juga jangan kau gantungkan asa pada orang-orang yang nuraninya telah dikebiri. Teruslah berjuang, berupaya, sekaligus berbesar hati.”
       Maja termangu. Sungguh petuah yang bijak bestari. Baginya, percakapan ini sangat berarti karena jarang terjadi. Selama hidup di perempatan, pendengarannya selalu disinggahi klakson mobil yang sahut menyahut, makian supir-supir angkot yang ingin menyerobot, hingga percakapan sesama penghuni jalanan yang jarang berbobot.   
“Maaf, dari hadapanmu sejenak aku harus undur diri. Lihat gulungan awan kelabu yang terburu-buru itu? Sebentar lagi mereka akan tiba di sini.”
“Tapi...sebentar, Tuan!” Maja menyela. Ia masih ingin berbincang lebih banyak.
“Permisi, sampai jumpa esok hari. Aku harus memberi mendung itu ruang, sebab hujan ingin menangisi bumi.”
        Maja tersentak bangun. Ketika membuka mata, tampak kembali pemandangan akrab kota. Patung itu masih bertengger kaku di puncak tugu. Yang barusan hanya mimpi? Maja terpaku bingung. Namun, masih nyata terasa olehnya petuah bijak yang membelai hati. Lalu kemudian ia terhenyak melihat butir-butir air merekah dari langit, meluncur turun dengan gerak anggun seolah sedang menari-nari.    
Medan, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar