Jumat, 18 November 2016

Mendayung Pagi [FLORES SASTRA, 14 Nopember 2016]



MENDAYUNG PAGI
Oleh Dian Nangin
       Ranti baru benar-benar terjaga ketika ayam telah berkokok entah yang ke berapa kali. Biasanya ia selalu bangun mendahului unggas yang ia pelihara itu. Ranti terburu menuju dapur, membuka kunci pintu belakang, lalu menyeret masuk sekarung singkong yang baru dipanen kemarin dari sepetak kebunnya. Tak sempat ia nikmati indahnya rembulan yang membulat sempurna di puncak pepohonan belakang rumahnya itu.
     Dengan tangan terlatih ia mulai menguliti singkong, merendamnya dalam air bersih, mencuci periuk besar, lalu menanggar air. Di sisi lain dapur, ia menanak beras dua cangkir terakhir dan merebus telur ayam di atas kompor minyak. Tanpa sempat istirahat, tangannya kembali sibuk menyusun kayu bakar dalam tungku dengan hati yang tak henti-henti merutuk kenapa bisa sampai bangun terlambat meski ia sendiri tahu apa penyebabnya.
     Ranti semalaman tak tidur, sibuk bergulat dengan pikirannya sendiri. Jauh-jauh hari ia sudah merancang sesuatu yang ingin ia sampaikan pada anak-anaknya. Namun ia ragu, lalu berpikir kembali, menyusun ulang kalimat-kalimat yang hendak ia sampaikan. Terkadang ia tak sampai hati, tetapi sekaligus tak punya pilihan.
      Bebunyian kemerosok terdengar dari ruang depan. Anak-anaknya sudah bangun dan melakukan aktivitas sendiri-sendiri. Kehidupan di rumah yang kecil dan sederhana itu beriak kembali. Tak berapa lama, Ilham, putra sulungnya itu telah berdiri gagah di ambang pintu tengah, pemisah dapur dan ruang depan rumah. Perempuan itu menoleh sambil menyeka peluh di kening. Megap-megap kehabisan nafas setelah berkali-kali meniup siong, namun api dalam tungku belum juga menyala.
       Ilham tampak sudah sangat siap. Pasti sulit memadamkan semangatnya. Cukup sering ia utarakan bahwa hanya butuh setahun lagi baginya untuk menamatkan sekolah dasarnya. Sudah pernah Ranti menyampaikan isi hati yang membuatnya gundah itu, namun Ilham menolak dengan keras. Sejak saat itu, tiap kali si sulung membaca gelagat ibunya tampak ingin membicarakan perihal yang sama tentang sekolah, ia segera menghindar.
       Lalu Iwan, anak keduanya, yang penghujung semester lalu kembali menyabet juara satu. Dengan mudah ia naik kelas. Sungguh kentara bangga di wajahnya kala pulang ke rumah dan memamerkan bingkisan yang ia peroleh atas usaha kerasnya belajar. Hanya beberapa pensil dan buku tulis baru, tapi ia sungguh gembira tak kepalang. Lalu dengan senang hati ia bagi rata hadiah itu dengan abang dan adiknya.        
    Muncul anak ketiga, Puspita. Perempuan. Diharapkannya dulu anaknya berturut lelaki atau berturut perempuan. Agar pakaian bisa saling pinjam. Mungkin satu dua kali ia bisa membelikan sandang baru, namun kalau anak-anaknya bisa saling melungsurkan baju sejauh masih pantas dipakai, untuk apa bermubajir? Akan lebih baik kalau uang itu ditabung demi kelangsungan hari esok.
       Tapi tak semua yang telah diguratkan nasib sesuai harapan. Anak ketiganya terlahir perempuan. Tak mungkin ia memakai celana abangnya ke sekolah. Tahun ini umurnya sudah genap untuk mulai berpakaian putih merah. Maka mau tak mau Ranti harus membanting tulang lebih keras untuk membelikan rok sekolah. 
Semangat putrinya itu sedang menggelegak. Beberapa waktu belakangan ini ia sudah dicekoki kedua abangnya tentang asyiknya bersekolah. Tentang teman-teman yang menyenangkan. Tentang guru-guru yang membuatnya jadi pintar—dan dengan kepintaran itu mereka tak akan mudah lagi dicurangi orang-orang di pasar ketika berjualan tapai singkong. Puspita bahkan tak merengek mengetahui bahwa ibunya tak bisa mengantarkannya di hari pertama sekolah. Si sulung yang mengambil alih tugas itu.  
“Akan kupastikan Puspita sampai di kelas dan mendapatkan bangku paling depan!” demikian Ilham berorasi sembari mengunyah nasi dan telur rebus. Telah ia ajari pula cara memperkenalkan diri dan cara berkawan dengan orang baru. Ranti sedang membagikan seujung sendok sambal yang ia sisakan semalam sembari mencari celah untuk bicara ditengah celoteh anak-anaknya.
 Ilham, kau adalah anak ibu paling besar. Maukah kau mengalah demi adik-adikmu? Biarkan Iwan dan Puspita sekolah. Kau, bantulah ibu mencari uang. 
Ranti sadar sulungnya itu perlahan beranjak remaja, barangkali sudah mengerti tentang kesulitan yang membelit.
“Bang, bisakah kau rautkan pensilku sebentar? Aku belum pintar meraut,” pinta Puspita sambil mengeluarkan pensil barunya, hadiah milik Iwan. Tak menunggu lama, pensil itu kembali padanya dengan ujung yang telah runcing.
        “Dengan pensil ini aku akan membuat tulisan yang bagus.” Puspita menerimanya dengan senyum lebar. Sementara itu pikiran Ranti terus berputar, mengatakan mungkin tak harus Ilham. Siapa saja boleh mengalah dan berkorban. 
        Siapa yang barangkali ingin bekerja bersama ibu, yang rela tidak pergi ke sekolah? Itu akan sangat membantu untuk membuat hidup kita lebih baik.
        Namun demi melihat lahap anak-anaknya dan semangat mereka berangkat ke sekolah, kalimat-kalimat itu hanya bisa Ranti telan kembali.        
        “Kami pergi dulu, Bu...!” seruan lham menyadarkan Ranti dari lamunan, hingga ia tak sadar anak-anaknya sudah siap berangkat. Ketiga bocah itu bergantian mengucap pamit sambil mencium tangan Ranti. Setelah itu mereka bergandengan menuju jalan setapak, bergabung bersama sekelompok anak lain, lalu bersama-sama menuju sekolah yang harus ditempuh sebelum matahari terbit.
        Ranti melongokkan kepalanya melalui kusen jendela, berebut tempat dengan kepulan asap pekat yang menyeruak. Tampak olehnya Puspita yang berbaju baru itu diapit kedua abangnya yang berseragam kusam. Ilham dan Iwan bagai penjaga yang menjaminkan perlindungan dan keamanan bagi adik mereka. Perih asap dan rasa haru agaknya telah bekerja sama, membuat Ranti mengiringi kepergian tiga anaknya dengan mata berkabut. 
        Ranti kembali menekuni kayu bakar di tunggu dan cepat-cepat meniup hingga api menyala ketika terdengar tangisan dari ruang depan. Ia sisihkan siongnya, lalu bergegas mendapati si bungsu yang terbangun dari tidur. Ranti mendekap dan menepuk-nepuk lembut pantat si bungsu yang sampai setahun setengah usianya kini hanya mampu ia suapi dengan air tajin. Tak sanggup ia membeli susu yang harganya selangit sementara kakinya tertanam dalam tanah.        “Tidurlah, Nak. Hari belum lagi terang,” ucapnya sembari mengayun-ayunkan tubuh, berharap si bungsu kembali terlelap. Beberapa menit kemudian baru si bungsu tenang. Ranti merebahkan tubuh lelahnya di kursi rotan.
     “Mas,” bisiknya, seolah sedang memohon kekuatan. Namun, lelaki yang hanya mampu balas menatapnya dari balik bingkai foto kusam yang tergantung di dinding itu tak dapat membantu. Wajah muda sang suami—satu-satunya potret yang mengabadikan sosoknya, terlihat teduh dalam figura tersebut. Entahkah ia akan tahu kesulitan Ranti setelah ia tinggal pergi ke haribaan Sang Pencipta setahun lalu.
   Ranti hampir tertidur ketika terdengar desis air mendidih di periuk dan tumpah hingga memadamkan sebagian api di tungku. Buru-buru diletakkannya si bungsu di atas kasur dan menyelimutinya dengan kain panjang.
      Tangannya kembali bergulat dengan singkong, ragi, dan daun pisang. Mengolahnya menjadi tapai yang akan dijual sebagai sumber pendapatan sampingan. Usai membungkus singkong-singkong, ia harus berangkat ke ladang karena kemarin Pak Karim memanggilnya untuk bekerja sebagai buruh tani.
       “Biarlah,” Ranti membatin, pasrah untuk ke sekian kali. ”Akan kutahan dulu situasi ini. Mungkin pilihan terbaik adalah anak-anakku tetap sekolah. Tak mengapa, aku akan bangun lebih awal lagi. Aku akan berjuang lebih keras lagi.” 
        Hidup bagai sampan yang Ranti tumpangi bersama empat anaknya. Bilah-bilah kayuhnya adalah harapan. Tujuannya, merengkuh hari baik di seberang sana. Ia arungi waktu dan ombak kesulitan dengan tabah untuk mencapainya.
     Ranti mengintip lagi keluar melalui kusen jendela. Secercah cahaya sudah menyeruak di kaki timur. Ranti mengingatkan diri untuk bergerak lebih cepat, memaksa langkah-langkahnya mengayun lebih gegas.
Medan, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar