Senin, 30 November 2015

Lara Hati Mel

            Tak ada yang lebih menyesakkan selain ketakutan yang terus mendera.
 
Mel tidur dengan berkeringat, bukan karena malam begitu gerah. Lalu terbangun dengan gigil, bukan karena udara pagi yang terlalu dingin. Gundah menggerogoti hatinya. Dan sekarang adalah hari ketiga yang hanya ia habiskan dengan bergelung dalam kamar.
Mungkin terjadi sesuatu padanya...
Ketapak langkah yang diiringi suara berbisik terdengar mendekat dan berkerumun di depan kamar Mel.
Ah, pasti sedang tidur. Tahu sendirilah jam kerja orang macam dia. Kalau malam melek seperti kelelawar, siangnya tidur kayak bangkai.
Suara anak-anak kos yang akrab di telinga Mel sibuk menyampaikan spekulasi masing-masing.
Tapi, masa nggak pernah keluar walau sekedar makan?
Ih, jangan-jangan dia sudah...
Huss! Jangan bicara yang tidak-tidak! Suara lain menghardik, menghentikan dugaan negatif yang tak sempat terucap.
Telepon saja pacarnya. Kasih tahu keadaan Kak Mel...
Ya, ya. Lebih baik begitu.
Mel berusaha mengacuhkan kicau-kicau tak penting di luar. Ada hal yang lebih rumit berseliweran di benaknya.
            Sebulan ini ponselnya seringkali berdering. Sejumlah oknum tak kenal lelah memberondongnya dengan rentetan pertanyaan.
            Berapa lama lagi kami harus menunggu?Bukankah seharusnya kau sudah menyelesaikannya? Nada suara ibunya tiap kali menelepon lebih mirip omelan. Mendesak dan tanpa kompromi.
            Lain lagi bila kakaknya menelepon, namun tetap dengan maksud yang sama. Awas kalau kau mengacaukan keinginan ibu. Aku akan menghajarmu.
            Apa saja sih kerjamu di situ? Sudah sampai mana skripsimu?
            Pusing tujuh keliling Mel dibuat telepon-telepon itu. Bila tidak ditanyai, ia disuguhi
serangkaian kisah tentang para kerabat atau anak rekan sang ibu yang sudah mengambil program spesialis, yang sudah buka klinik, yang akan menikah, dan bla, bla, bla, yang lebih sering disampaikan dalam bentuk intimidasi.
Semua bermula beberapa tahun lalu ketika Mel dengan paksa menerima bahwa ia telah terdaftar di jurusan kedokteran. Ide itu milik ibunya, seorang yang terobsesi menjadikan semua anaknya dokter. Sikap diktator sang ibu membuatnya tak punya daya untuk melawan.
Namun, sekeras apapun ia berusaha memusatkan fokus menggeluti jurusan itu, ia tetap tak bisa karena hatinya tidak di sana. Rasanya ia ingin melemparkan jubah putih dan kitab-kitab tebal yang membuatnya muak.
Ia tidak menguasai bidang eksakta, bahkan tidak menaruh minat sedikit pun. Yang ia ingin lakukan hanyalah menjinakkan imajinasinya yang berlari-lari liar. Meramu debur ombak, suitan angin, dan kepak camar di pantai menjadi sastra. Menyusun perjalanan hati menjadi cerita apik. Menuliskan apa yang ia tatap, dengar, cium, sentuh, dan cecap menjadi keping-keping kisah.
Tiap kali ia mengutarakan pada sang ibu apa yang menjadi impiannya, yang ia dapatkan adalah gelengan tegas.
 “Apa yang bisa kau dapat dari tulisan-tulisan tak berguna itu? Tidak bisakah kau menurut pada ibu? Ini juga demi kebaikanmu. Tamatkan kuliah, lalu bekerja, mapan dan menikah, seperti kakak-kakakmu lakukan. Ibu akan tenang menjalani sisa hari-hari. Jangan jadi anak durhaka!”
Bagaimana kalau cita-citanya bukan menjadi mapan? Mel yakin bukan satu bidang pekerjaan tertentu yang akan membuat seseorang kaya atau tidak. Dan, kaya itu relatif. Kalau ia ingin menjalani hidupnya tanpa menuruti pakem yang ada, apa salah? Ia tak pernah berniat menjadi seorang yang durhaka—cap itu melekat begitu saja saat ia ingin menjadi dirinya sendiri.
Semakin kuat Mel meminta, semakin tegas gelengan kepala yang ia terima.
“Bebal! Persis ayahmu!” desis ibunya penuh benci.
Yang Mel tahu tentang sang ayah adalah seorang lelaki yang diceraikan ibunya saat Mel masih kecil, karena ia lebih mengikuti kata hati. Lelaki itu memilih hengkang dari perusahaan bonafit tempatnya berkarir dan menjalani pekerjaan impian sebagai seniman, sekaligus mengarungi hidup baru paska berpisah dengan keluarganya karena ibu Mel tak bisa menerima keputusan lelaki itu. Mel merindukan ayahnya yang sekarang entah berada di mana. Ingin rasanya menumpahkan keluh kesah yang mengimpit dada.
“Pokoknya dokter! Titik! Itu lebih berguna daripada sastra-sastramu itu!”
“Tulisan juga berguna untuk menyembuhkan. Bahkan sanggup melakukan apa yang tenaga medis tidak sanggup lakukan,” Mel mengemukakan pendapatnya.
“Omong kosong! Ibu sudah keluar banyak untukmu. Kau harus menunjukkan pada ibu tanggung jawabmu.”
Mel tak tahu harus sampai sekuel ke berapa pertengkaran itu akan berakhir. Sejak awal ia tak meminta tanggung jawab itu, tapi tetap saja dibebankan dipundaknya dan harus ia emban tanpa tawar menawar. Tapi kini ia tak sanggup memaksakan diri. Dilemparkannya tanggung jawab itu, lalu mengambil jalan lain. Nyaris dua tahun kini ia resmi bukan mahasiswa kedokteran lagi. Melepas tali kekang yang membuatnya sulit bergerak bebas.
Mel berpikir mungkin ia harus seperti Erin, kakak sulungnya yang nekat menikah dengan lelaki yang bukan pilihan ibunya. Kehadiran bayi lucu Erin beberapa tahun kemudian berhasil menghapus kerut masam di wajah sang ibu. Mel mengambil kesimpulan serupa. Mungkin ia harus ‘melahirkan anak’ yang hebat terlebih dahulu, baru kemudian memperoleh restu. Nekat bertaruh waktu.
Perempuan itu sadar kalau proses yang ia harus jalani tak akan semudah membalikkan telapak tangan. Tapi ia juga tak menyangka akan sesulit ini. Tabungan waktu pertaruhannya semakin menipis.
Dan sekarang teror itu datang. Hati Mel gentar.
Ia berpikir, bersyukurlah orang-orang yang menemukan jati diri dan sesukanya memiliki impian.
Yang menggenggam erat idealisme.
Yang menghargai betapa mahal nilai sebuah kebebasan.
***
Mel terbangun dengan jantung seakan mau meledak hanya karena mendengar dering ponselnya. Seharusnya ia mematikan atau menyingkirkannya saja jauh-jauh agar tidak lagi merasa terganggu. Alat yang berfungsi untuk mempermudah komunikasi itu kini ia rasakan seperti sebuah granat yang siap membuatnya hancur lebur.
Dengan wajah masih tenggelam dalam bantal, tangannya meraba-raba permukaan kasur untuk menemukan ponsel sialan itu. Ketika berhasil meraihnya, ia mengintip layar dengan sebelah mata memicing. Kalau nama yang tertera di sana adalah salah satu dari para peneror, ia siap melemparkan benda elektronik itu ke dinding.
Ternyata bukan peneror. Melainkan kekasihnya, Paul.
“Mel? Kau sudah bangun? Apa kau baik-baik saja?” deretan pertanyaan bernada cemas itu menyerbu bahkan sebelum ponsel menempel sempurna di telinga Mel.
“Tidak.”
“Buka pintunya. Sejak tadi aku berdiri di luar, tapi kau tidak dengar aku mengetuk.”
“Pergilah. Aku sedang ingin sendiri.”
Hela nafas berat terdengar dari luar. Paul mematikan telepon karena ia dan Mel kini bisa saling mendengar.
“Apa yang kali ini terjadi padamu, Mel? Katakanlah kalau ada yang mengganggu pikiran,” Paul berucap penuh sabar. “Kau tahu aku selalu ada untuk mendengarkan.”
“Ibuku.”
Cukup satu kata itu dan Paul sudah mengerti inti perkaranya, sekaligus membuatnya mati langkah. Bila menyangkut perseteruan Mel dengan ibunya, Paul berada di luar lingkaran yang tak bisa campur tangan terlalu banyak. Ia paham keinginan ibu sang kekasih, tapi juga tak berbuat apa-apa ketika Mel memilih hengkang dari jurusan yang tak disukainya itu.
Paul tak bisa memaksa Mel, karena ia pun tidak dapat membayangkan seandainya bertukar posisi dengan kekasihnya itu; harus melakukan hal yang tidak disukai. Sejak awal, lelaki itu sudah dibebaskan menentukan masa depan sendiri. Dengan nikmat ia dapat menggenggam mikrofon dan menggemakan nada-nada yang menyuarakan isi hati serta pikirannya tanpa batasan apapun.
Kadang, satu keputusan tampak seperti dua sisi koin; bisa terlihat benar atau terlihat salah. Tergantung sudut pandang yang menilai. Paul tak bisa mendakwa keputusan Mel adalah salah atau benar. Satu-satunya hal yang dapat dan ingin ia lakukan adalah mendukung perempuan itu hingga akhir.
Namun, bagian tersulitnya adalah ketika pendirian dan keteguhan sang kekasih merapuh akibat tekanan yang memurukkan. Juga waktu dan kesempatan yang belum juga menunjukkan simpati. Lebih lagi, tekanan itu justru datang dari keluarganya, orang-orang terdekat yang harusnya memahami Mel dengan baik.
“Aku ada lagu untukmu. Cobalah dengarkan.”
Mel menyahut malas,“Aku sedang bosan kau jejali lagu-lagumu.”
“Ini bukan laguku, tapi milik band lain.”
“Siapa lagi kali ini?”
“Musikimia.”
Arghh! Mel mengerang. Mendengar namanya saja sudah membuat perut perempuan itu mual. Bukan, bukan band itu yang sebenarnya membuat Mel muak, hanya saja, kenapa namanya harus seperti salah satu mata pelajaran tak pernah bisa menempel otaknya? Mengingatkannya akan sesuatu yang amat dibenci.
“Apa kau yakin tak akan menyanyikan untaian rumus-rumus yang membuat kepalaku tambah pusing? Kalau ya, lebih baik tidak usah bernyanyi!” tolak Mel.
“Bukan seperti itu! Ini berbeda. Mungkin bisa menyelamatkan hati dan harimu. Dengarkan saja dulu...”
Mel tak menjawab. Hanya berharap tak akan mendengar lirik picisan nan gombal, yang semakin menghancurkan mood yang sejak kemarin memang sudah porak poranda.
Paul duduk menunggungi daun pintu yang tertutup. Suara deheman terdengar, lalu disambung petikan gitar. Intro diisinya dengan berganti kunci beberapa kali. Baru kemudian suaranya yang bening dan dalam itu mengalunkan lirik demi lirik.
         Mel tergugah. Walau sempat menolak, ia tak bisa menyangkal bahwa ada satu titik dalam hatinya yang merasa disentuh oleh lagu itu. Perlahan, ia mengangkat kepala dari bantal dan duduk di tepi tempat tidur. Meraih selembar tisu lalu menyapu wajahnya yang sejak kemarin tak pernah kering.

Mel beranjak mendekat, hendak mendengar lebih jelas lagu yang baru pertama kali mampir di telinganya itu. Ia pun turut duduk memunggungi pintu sambil memeluk lutut. Berusaha mengendapkan kata demi kata yang entah bagaimana bisa, betul-betul mewakili kerisauannya.
            Paul tak mendapat respon apa-apa selama bersenandung. Hanya samar sengguk yang ditangkap telinganya. Dekat, dan lirih. Ia serta merta bangkit.
            “Mel? Apa kau menangis?”
            Tidak ada jawaban, membuatnya makin khawatir.
“Buka pintunya, Mel...”
            “Aku tak ingin kau melihatku dalam keadaan kacau balau dan mata bengkak begini,” ucap Mel dengan suara serak.
            “Hei,” Paul berujar lembut. Ia terdiam sebentar ketika seorang perempuan melintasinya.    
Seluruh penghuni kos sebenarnya sudah tidak heran kalau lorong itu bisa beralih fungsi menjadi panggung dadakan. Yang lelaki seorang vokalis menyaru pujangga. Sedang perempuannya perangkai kata-kata. Tak jarang anak kos yang lain disuguhi konser gratisan, disertai  aliran kalimat yang rasanya lebih pantas ada dalam novel atau buku antologi puisi.
            “Bukankah lima tahun lalu aku sudah berjanji akan menerimamu apa adanya? Apa kau masih ragu?”
Tidak, Mel menjawab dalam hati. Ia sama sekali tidak meragukannya.
Pintu itu akhirnya membuka setelah sekian hari terkunci rapat. Mel berdiri dengan bahu terkulai letih. Mata merah. Rambut pendeknya tampak berantakan. Padahal ia dulu nekat memangkas rambut panjangnya karena tak ingin repot dengan segala macam perawatan. Helai-helai pendek di atas bahu membuatnya merasa lebih praktis, juga urusannya lebih ringkas. Ia jadi punya lebih banyak waktu untuk melesat ke sana kemari, mencari inspirasi dan mempermudah segala pergerakannya.
Namun, tingkat kekusutan hari ini mengonfirmasi Paul, mungkin demikian kalutnya Mel hingga seakan sudah dua hari ia tidak mempertemukan rambutnya itu dengan sisir.
            Paul terenyuh, turut merasakan beban Mel hanya dengan memandang wajahnya. Ia meraih perempuan itu ke dalam pelukannya seraya berbisik, “Jangan menyerah, Mel.”
            “Tapi kenapa semua terasa sangat sulit?” tanya Mel dengan kepala terbenam dalam pundak Paul. Aliran air matanya membasahi permukaan bahu kaus pemuda itu.
            “Karena memang tak ada yang mudah dalam hidup ini,” jawab Paul. Diusapnya berkali-kali rambut kusut Mel. “Mari kita hadapi ini bersama. Nyanyikan mimpi-mimpi kita dan terus berjuang. Kelak suatu hari nanti kita akan menari  bersama hasilnya.”
Pelan dan lembut, Paul menyenandungkan satu bait lirik yang ia harap dapat membuat Mel lebih damai dan tenang.

          Untuk beberapa menit lamanya, mereka hanya berdiri.
          Saling mendekap, saling menguatkan.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia dan Nulisbuku.com