Selasa, 25 April 2017

BALADA AYAH SEMESTA [Cerpen Harian Sumut Pos, Minggu 23 April 2017]

Ilustrasi oleh Sumut Pos


BALADA AYAH SEMESTA
Oleh Dian Nangin

Dari bawah naungan kanopi yang juga diteduhi barisan pepohonan rindang itu, seorang lelaki tua melepas pergi putra bungsunya.
Lengannya mengepit sebuah jaket lusuh berbau asap. Bersepatu belel dengan gejala kerusakan terlihat di sana sini. Si jempol kaki kiri bahkan nyaris memblesak keluar. Kerut-kerut wajah muncul permanen, yang senantiasa terlihat tanpa perlu ia tertawa atau meringis. Dua atau tiga tahun lagi dipastikan giginya tanggal merata, menyusul si taring kanan atas yang copot kemarin akibat tak cukup kuat lagi untuk merobek daging ayam kampung—lauk yang dimasak istrinya sebagai selebrasi pemberangkatan si bungsu pergi kuliah.
            Rambutnya menguarkan bau matahari. Sedikit mengilat karena berminyak. Titik-titik peluh bertimbulan di kening kendati hari masih pagi dan panas belum terlalu menyengat. Peluh itu lalu membanjiri wajah, membasahi kerah baju, mengaliri tubuh, mengukuhkan statusnya sebagai pendatang dari gunung yang tak terbiasa dengan kota bertetangga laut.
***
Dari bawah naungan kanopi yang juga diteduhi barisan pepohonan rindang itu, seorang lelaki tua mengiringi langkah demi langkah bungsunya.
Sudah ia perhitungkan jarak terbaik antara ia dan si bungsu yang terus melangkah ke depan. Cukup puas ia memandang dari bawah naungan kanopi itu—tidak ingin mengantar hingga masuk ke dalam bangunan, apalagi ke depan kelas. Tak perlu orang tahu bahwa bungsunya memiliki ayah yang sudah tua—meski si bungsu tak terlalu memusingkan hal itu. Biarlah orang menduga sendiri bagaimana rupa sang ayah dengan menatap si bungsu—satu-satunya anak laki-laki dari antara empat saudara perempuannya.
Meski belakangan ini penglihatannya mulai memburuk,