Selasa, 28 April 2020

Menyampaikan Kekalahan Pada Ibu [Cerpen Harian Waspada, Minggu 26 April 2020]

ilustrasi oleh Harian Waspada

MENYAMPAIKAN KEKALAHAN PADA IBU
Oleh Dian Nangin
        Betapa berat terasa kekalahan yang kupikul di bahu lelahku. Malam telah pekat. Bintang tak tampak. Hanya ada bayangan samar bulan di balik awan tipis, seolah ia menunggu waktu yang tepat untuk keluar dan menumpahkan sinarnya—sinar yang seolah tidak dijatahkan untukku. Kuharap ibu sudah tidur, namun harapan itu seketika pupus sebab kulihat masih ada sejumput cahaya yang menerobos ventilasi jendela. Itu artinya ibu masih sibuk dengan kain-kain jahitan titipan tetangga.
          Tepat di depan pintu, aku berhenti sejenak. Melintas di ingatanku senyum ibu yang mengembang lebar siang tadi ketika mengiringi kepergianku dari ambang pintu. Senyum itu menguarkan sejuta harap bahwa aku akan pulang dengan kemenangan.
Tapi sekarang kepalaku lunglai, hampir-hampir menghantam pintu dan jatuh ke lantai. Malam ini aku (kembali) menjadi pecundang, menggenapi kekalahanku untuk ke sekian kali. Tak kuingat apakah ada mimpi buruk yang singgah di tidurku tadi malam, sebab aku terlalu asyik berkhayal akan melangkah ke podium tinggi dan menerima trofi penuh percaya diri. Ternyata, aku belum pantas menjadi jawara. Berbekal sejumlah prestasi dan pengalaman, kukira aku telah menjadi unggul. Nyatanya masih ada sejumlah kekurangan yang tak bisa kulihat sendiri. Betapa pahit rasanya kekalahan dan lebih pahit lagi ketika aku harus menyampaikannya pada ibu malam ini.

Selasa, 07 April 2020

Perihal Penantian dan Bunga-Bunga [Cerpen Harian Medan Pos, edisi Minggu, 05 April 2020]


PERIHAL PENANTIAN DAN BUNGA-BUNGA
Oleh Dian Nangin

Tak pernah kulupa menunaikan kebiasaan ini tiap pagi, yakni merapatkan mata pada kisi-kisi jendela. Memang, celah yang hanya sekian senti itu tak akan memuaskan indra penglihatanku, tapi mataku tak akan salah mengenali meski sosokmu telah bertahun-tahun pergi.
Pagi ini aku mengintip keluar dengan mata berat, menahan kantuk. Kemarin malam adalah tanggal kepulanganmu setelah lima tahun pergi dan lima tahun lagi janji untuk kembali tak kunjung kau tepati. Padahal aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk bersiap: membasuh tubuh dengan air kembang yang wangi semerbak, mengenakan pakaian terbaik dan duduk manis di beranda, ditemani secangkir teh panas. Namun, hingga malam larut, isi cangkir telah susut, dan betis habis digigiti nyamuk, kau tak kunjung datang. Yang muncul kemudian adalah seorang perempuan tua—ibuku, dengan raut yang ditabah-tabahkan membimbingku kembali masuk ke dalam rumah.