Selasa, 07 April 2020

Perihal Penantian dan Bunga-Bunga [Cerpen Harian Medan Pos, edisi Minggu, 05 April 2020]


PERIHAL PENANTIAN DAN BUNGA-BUNGA
Oleh Dian Nangin

Tak pernah kulupa menunaikan kebiasaan ini tiap pagi, yakni merapatkan mata pada kisi-kisi jendela. Memang, celah yang hanya sekian senti itu tak akan memuaskan indra penglihatanku, tapi mataku tak akan salah mengenali meski sosokmu telah bertahun-tahun pergi.
Pagi ini aku mengintip keluar dengan mata berat, menahan kantuk. Kemarin malam adalah tanggal kepulanganmu setelah lima tahun pergi dan lima tahun lagi janji untuk kembali tak kunjung kau tepati. Padahal aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk bersiap: membasuh tubuh dengan air kembang yang wangi semerbak, mengenakan pakaian terbaik dan duduk manis di beranda, ditemani secangkir teh panas. Namun, hingga malam larut, isi cangkir telah susut, dan betis habis digigiti nyamuk, kau tak kunjung datang. Yang muncul kemudian adalah seorang perempuan tua—ibuku, dengan raut yang ditabah-tabahkan membimbingku kembali masuk ke dalam rumah.
Pemandangan yang ditangkap mataku pagi ini masih sama seperti hari-hari lalu:  pekarangan yang lengang serta sengatan kecewa di hati. Sepi sesekali dipecah oleh gerombolan bocah berseragam putih merah yang melintas. Kadang anak-anak bandel itu memanfaatkan celah barang semenit untuk mencoleng dua tiga tangkai bunga yang memenuhi pekaranganku, lalu lari pontang-panting sebelum aku berteriak menghardik.
Tak ada yang lebih kuperhatikan dan kusayangi selama sepuluh tahun belakangan ini selain pekarangan tersebut. Bunga-bunga itu sengaja kutanam untukmu yang istimewa di hati, kau yang telah bertolak ke kota antah berantah demi sepotong mimpi. Kau yang menyesap habis cintaku yang paling sejati dan aku meyakini bahwa kau membalasku dengan ketulusan tak kalah murni.
 Tak akan pernah usang dalam ingatanku tentang pagi itu sewaktu aku memberimu setangkai mawar ketika kau pamit pergi. Aku tau tak lazim bagi seorang perempuan memberi bunga kepada lelakinya—biasanya peran itu dibalik, bukan?  Namun, aku tak punya apapun lagi yang bisa kuberikan sebagai tanda bahwa kau membawa hatiku serta. Tak ada sehelai sapu tangan, selembar foto atau apapun yang lebih berharga. Mungkin dalam beberapa hari bunga itu akan layu dan membusuk. Namun, kuharap kau akan tetap merawat cinta yang kuberikan padamu.
“Pasti,” katamu meyakinkan. “Aku akan selalu mengingat dan merindukanmu. Tetap jaga untukku, ya,” kau mengarahkan pandang pada bunga-bunga di pekarangan, lalu menunjuk dadaku, ke tempat dimana hatiku tengah berdenyar hangat. Aku mengiyakan, bertekad untuk menjaga hatiku dan bunga-bunga itu sesuai permintaanmu. Kau pergi usai mengecupku serta mengumbar janji akan kembali.
Jadi, aku tak akan membiarkan siapapun mencemari keindahan yang khusus kupersiapkan untuk menyambutmu. Tak ada yang menandingi ketelatenanku mengurus bunga-bunga itu, menjadikan pekaranganku kebun paling indah di kampung ini.
Tak taukah kau, setelah tahun-tahun berlalu, kampung yang awalnya terisolasi karena berada di pelosok ini akhirnya membuka diri dan mendapat jamahan di sana sini. Rumah-rumah tradisional perlahan digusur oleh bangunan-bangunan beton nan modern yang serakah. Pekarangan habis dijajah oleh kendaraan-kendaraan pribadi yang membutuhkan tempat perlindungan tersendiri. Orang-orang beralih pada keindahan palsu; bunga-bunga plastik dan pohon-pohon kerdil dalam pot. Orang-orang lalu diam-diam menyimpan iri pada kemewahan yang kupunya di pekarangan kecil ini.
Suatu hari aku memarahi, nyaris memukul seorang bocah perempuan yang mengacaukan pekaranganku. Ia sedang mengejar kupu-kupu, katanya, hingga keasyikan dan tanpa sadar berlarian di antara batang-batang dahliaku. Ia juga menyenggol beberapa tangkai krisan hingga patah. Kacaulah harmonisasi kebunku. Aku tak dapat menahan diri untuk tidak menyeret tubuh bocah itu keluar pekarangan, tak peduli ia menangis meronta-ronta. Aku tak menerima perusakan dalam bentuk apapun dan oleh siapapun. Kebun bunga itu kudedikasikan padamu seutuhnya. Aku mengerjakannya sepenuh hati.
Sejak kejadian itu, ibu mengurungku di rumah. Perlakuanku pada bocah polos itu sudah berlebihan, katanya. Aku membantah, cukup masuk akal bagiku untuk mengusir siapapun yang merusak kebunku. Dan, walau ‘diisolasi’ di dalam rumah, tak menghalangi niatku untuk melindungi bunga-bunga itu dari para tangan jahil. Kali lain, sekelompok bocah laki-laki mengolok-olok ketika melihatku terperangkap dalam rumah dan hanya bisa menatap keluar lewat jendela. Mereka bahkan berani-beraninya menjajah bunga-bunga milikku. Spontan aku melompat dari kusen jendela dan berbekal sebatang galah, aku mengejar mereka hingga di ujung jalan.
Tak hanya ibuku, orang-orang mulai tak menerima sikap dan pembelaanku yang berlebihan atas kebun indah itu. Cinta dan penantian telah membuatku gila, kata mereka. Jadilah aku sasaran kemarahan dan ibu memutuskan untuk mengurungku di rumah, lalu menutup jendela dan semua akses keluar masuk, pun setiap celah yang mungkin kugunakan untuk meloloskan diri dan berbuat onar lagi di luar. Yang tersisa hanya celah kisi-kisi jendela sebagai tempatku memandang keluar tiap pagi untuk memeriksa kalau-kalau kau pulang.
Ibu hanya mengizinkanku keluar sesekali, itupun setelah sepanjang waktu aku mendesak dan membujuk rayu dengan segala cara yang kupunya. Bunga-bunga yang kutanam untukmu selalu jadi alasan. Aku tak sanggup melihat tanaman yang telah kurawat penuh jerih dan peluh itu layu dijajah gulma dan kekurangan air. Bagaimana kalau kau tiba-tiba pulang tanpa aba-aba dan mendapati bunga-bunga itu dalam keadaan kacau? Dengan sedikit air mata memelas, ibu akhirnya membiarkanku merawat bunga-bunga di bawah pengawasannya.
***
Pagi ini, untuk kali kesekian, aku kembali mengintip keluar jendela dan bersiap untuk menangguk lagi kecewa di hati ketika mataku menangkap sesosok lelaki berdiri di pekarangan. Jantungku berdebar hebat. Kau akhirnya pulang dan hadir di sana, di tempat yang tak pernah lupa kujenguk tiap pagi. Sungguh aku ingin berlari keluar untuk menyongsongmu, melompat ke pelukmu, menangkup wajahmu, melakukan segala hal untuk memuaskan rinduku.
Kau melihat ke sekeliling, memanggil namaku sembari sesekali mengalihkan pandang ke pintu rumah yang tertutup rapat. Sebuah kesadaran yang terlambat datang menghampiriku; aku seharusnya bersiap, membasuh tubuh, mengenakan pakaian terbaik, berdandan dengan manis, dan menyeduhkan secangkir teh panas. Kau pasti kelelahan setelah perjalanan panjang. Kupikir takkan ada yang paling menyenangkan hatimu selain sambutan kekasih yang penuh pengertian.
Aku baru akan berbalik ketika baru kusadari ada seorang perempuan yang mengekor di belakangmu, ikut masuk ke pekarangan rumahku. Kembali kufokuskan mata pada kisi-kisi jendela. Perempuan itu menjabat tangan ibuku yang entah kapan telah keluar untuk menyambut dan kau memperkenalkannya.
“Ini istriku...”
Telingaku tegak. Kepalaku panas mendadak. Hatiku dipenuhi amarah menggelegak. Kau seharusnya menghadiahiku kepulanganmu dengan hati penuh cinta, sebagaimana aku menantimu sarat harapan serta pekarangan penuh bunga yang tengah mekar sempurna. Tidakkah kau merasa bersalah telah bertahun-tahun pergi dan selama bertahun-tahun lagi mengingkari janji kembali dan kini, kepulanganmu ternyata membawa hati yang.....bukan lagi untukku?
Perempuan asing yang berstatus sebagai istrimu itu jelas terpesona dengan kuntum-kuntum yang semarak aneka warna. Gigiku bergemeretak ketika tanpa minta izin ia melangkah masuk kebunku, memperhatikan setiap bunga dengan raut takjub dan sesekali membelainya lembut. Tubuhku bergetar oleh amarah. Apalagi tiba-tiba ia memetik setangkai mawar yang paling kusayang,  membawanya ke hidung dan menghirup aromanya.
Aku tak mampu lagi menahan diri. Aku tak peduli walau nanti ibu mengikatku di dapur untuk waktu yang lama. Aku bergegas menuju dapur. Kuraih parang panjang yang tersemat di dinding. Dengan langkah menghentak aku menuju ruang depan dan membuka pintu dengan beringas. Kau kaget tak kepalang melihat kemunculanku dengan sebilah parang. Perempuan  itu terjajar mundur dan berlindung di balik punggungmu. Kau kini kubenci setengah mati. Tiba-tiba pucat wajahmu. Ibuku berteriak kalut memanggil namaku, menawar tindakanku, membujuk-bujuk. Tapi aku tak peduli.
Dada dan mataku panas. Kuangkat parang di tangan. Aku siap membunuh mereka; bunga-bunga itu.
Medan, 2017-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar