Minggu, 27 Oktober 2019

Matahari di Mata Ibu [Cerpen Harian Waspada, edisi Minggu, 20 Oktober 2019]

ilustrasi oleh Harian Waspada

MATAHARI DI MATA IBU
Oleh Dian Nangin
Ingin kutegur ayam jantan yang berkokok sebab ia membuatmu bangun terlalu dini, Ibu. Langit masih gulita, namun kau telah menyeret langkah keluar kamar dan memulai aktivitas. Kelopak mataku masih enggan membuka, namun hatiku lebih tak tega membiarkanmu berkutat sendiri di dapur yang dingin. Kupaksa tubuh untuk bangkit dan segera menyusulmu ke dapur, untuk bersama-sama menyiapkan sarapan dan bekal makan siang di ladang nanti.
“Tidurlah sebentar lagi,” katamu menghalauku. “Pagi belum tiba. Kau pasti masih mengantuk.”
“Tidak, Ibu, aku sudah cukup tidur,” kuambil alih pisau dari tanganmu untuk mengupas bawang. Lagipula, sejak dulu aku sudah biasa bangun cepat untuk belajar atau membantumu. Walau kini aku bagian dari segelintir anak kampung ini yang berhasil duduk di salah satu universitas terbaik di ibukota, bukan berarti aku bisa bertingkah bak putri raja. Tak ada alasan bagiku untuk menuntut perlakuan istimewa.
***
Langit belum seutuhnya terang ketika kau mengajakku berangkat. Perjalanan menuju ladang harus ditempuh sejak fajar belum terbit. Pula, pekerjaan yang kita lakoni hari ini menuntut waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Berbekal terang yang masih temaram, kita susuri jalan bersemak menuju ladang di sisi lain gunung.
Gegas langkahmu sulit untuk kusejajari. Nafasku terlalu cepat jadi berat. Adakah kakiku sudah terlalu dimanjakan oleh kemudahan transportasi di kota? Kau berjalan di depanku, menerabas aral dan ilalang, agar lebih mudah jalan yang kulalui.

Jumat, 25 Oktober 2019

YANG TAK KEMBALI [Pemenang Cerpen Pilihan Syukuran Sastra 2019 - FOKUS UMSU]

dok. pribadi

YANG TAK KEMBALI
Oleh Dian Nangin 
            Lelaki itu terbangun ketika derit pintu besi karatan yang didorong oleh seorang wanita paruh baya terdengar menjerit-jerit. Semakin lama semakin kencang, membuat ngilu tulang. Wanita itu lalu mengibas-ngibaskan sapu lidinya ke arah si lelaki.
          “Pulang sana! Tidur, kok, di rumah orang!” katanya menggerutu.
          Pulang kemana? Lelaki itu tak punya tempat untuk dituju. Lagi pula ia merasa tidak sembarang tidur di rumah orang,  hanya menumpang merebahkan tubuh di bangku kayu reyot di teras toko wanita itu. Apakah itu memiliki makna yang sama? Lelaki tersebut tak ambil pusing. Kibasan sapu lidi itu semakin cepat. Ia bergegas bangkit dan menyingkir sebelum sapu lidi itu singgah di tubuhnya.
         Matahari perlahan berpijar. Lelaki itu menengadahkan hidung untuk menghirup udara segar sambil melangkahkan kaki menyusuri jalan beraspal, keluar dari gang yang sarat bangunan. Ia membasahi tenggorokan dengan seteguk air mineral dari botol yang dipungutnya di tepi jalan. Ia meregangkan tubuh sambil menyapa sekelompok burung gereja yang hinggap di kabel-kabel listrik. Mereka tak balas menyapa karena sedang asyik menyisir bulu-bulu mereka dengan paruh masing-masing. Santai, tak terburu-buru.
Lelaki itu meneruskan perjalanannya. Ia adalah manusia paling bebas.