Jumat, 25 Oktober 2019

YANG TAK KEMBALI [Pemenang Cerpen Pilihan Syukuran Sastra 2019 - FOKUS UMSU]

dok. pribadi

YANG TAK KEMBALI
Oleh Dian Nangin 
            Lelaki itu terbangun ketika derit pintu besi karatan yang didorong oleh seorang wanita paruh baya terdengar menjerit-jerit. Semakin lama semakin kencang, membuat ngilu tulang. Wanita itu lalu mengibas-ngibaskan sapu lidinya ke arah si lelaki.
          “Pulang sana! Tidur, kok, di rumah orang!” katanya menggerutu.
          Pulang kemana? Lelaki itu tak punya tempat untuk dituju. Lagi pula ia merasa tidak sembarang tidur di rumah orang,  hanya menumpang merebahkan tubuh di bangku kayu reyot di teras toko wanita itu. Apakah itu memiliki makna yang sama? Lelaki tersebut tak ambil pusing. Kibasan sapu lidi itu semakin cepat. Ia bergegas bangkit dan menyingkir sebelum sapu lidi itu singgah di tubuhnya.
         Matahari perlahan berpijar. Lelaki itu menengadahkan hidung untuk menghirup udara segar sambil melangkahkan kaki menyusuri jalan beraspal, keluar dari gang yang sarat bangunan. Ia membasahi tenggorokan dengan seteguk air mineral dari botol yang dipungutnya di tepi jalan. Ia meregangkan tubuh sambil menyapa sekelompok burung gereja yang hinggap di kabel-kabel listrik. Mereka tak balas menyapa karena sedang asyik menyisir bulu-bulu mereka dengan paruh masing-masing. Santai, tak terburu-buru.
Lelaki itu meneruskan perjalanannya. Ia adalah manusia paling bebas.
Tak dikejar rutinitas. Ia menganggap setiap jengkal dataran sebagai tempat tinggal. Langit menjadi atap maha luas. Ia juga menyamakan diri dengan burung-burung yang leluasa mondar-mandir di udara dan sesuka hati menempati pohon-pohon. Atau seperti cacing yang bebas menyusup ke bagian manapun di dalam tanah.
Karena ia orang yang bebas, maka ia bisa mengonggok dimana saja. Ah, ralat! Ia bebas mengonggok di setiap tempat sebelum diusir manusia-manusia yang merasa berhak seperti wanita paruh baya tadi. Manusia-manusia berhak adalah mereka yang telah membeli permukaan bumi berdasarkan patokan serta ukuran-ukuran. Manusia, dengan hak yang mereka miliki, merasa punya kuasa untuk memojokkan manusia lain yang kurang beruntung. Dan, ia bukan salah satu dari mereka. Tidak lagi.
Barangkali lebih baik menjadi cacing, pikir lelaki itu. Ia yakin di bawah sana tak ada batasan teritorial, setidaknya bagi makhluk-makhluk yang hidup di dalam tanah. Kadang, ia ingin melontarkan tanya yang terbit dalam benak: Hei, cacing! Apa di dalam sana ada kaummu yang menjadi gelandangan? Ia tahu pasti para cacing akan menjawab tidak. Mereka semua tentu hidup dengan tenteram, tanpa peduli batas-batas dan hak kepemilikan yang diklaim manusia-manusia di atasnya. Satu-satunya hal yang harus dihindari cacing-cacing itu adalah muncul ke permukaan agar tidak dipatuk ayam.  
            Namun, ia tak pernah sempat mengutarakan tanya itu pada cacing-cacing dan menambah predikat gila untuk melengkapi status gembelnya. Walau tak punya rutinitas pasti, lelaki itu juga orang sibuk. Sibuk menggelandang. Ia adalah gelandangan sejati. Siapa yang mau berguru datang padanya.* Tak peduli digusur, digiring untuk ditertibkan, atau diculik lalu ditatar, ia selalu pulang pada tempatnya yang hakiki: jalanan.  
            Ia pernah mendengar bahwa manusia-manusia terlantar seperti dirinya dipelihara oleh negara. Itu sangat benar dan betapa ia ingin berterima kasih kepada pemerintah karena masih membiarkannya berkeliaran di wilayah negara ini, mengais tong-tong sampahnya, dan bukannya mengenyahkannya dengan ditenggelamkan ke laut lalu menjadi santapan ikan—ikan yang lalu menjadi konsumsi orang-orang seperti yang dianjurkan Ibu Menteri.
***
            Lelaki itu mengawali harinya dengan berkunjung ke warung Bu Yun, seorang perempuan murah hati pemilik warung makan di ujung jalan. Ia sering menongkrongi warung perempuan itu untuk mendapatkan satu dua buah tempe goreng, yang ia nikmati sambil menonton televisi. Kalau televisinya tidak dinyalakan, lelaki itu tetap menongkronginya. Ia menyapu pekarangan yang jarang kotor, atau membantu mengisikan air bersih ke dalam ember-ember, demi mendapatkan seporsi nasi, dengan atau tanpa lauk, dan cukup bersyukur dengan siraman kuah santan berminyak-minyak.
            Melalui tayangan televisi yang lebih sering diabaikan pengunjung itu si lelaki mengisi kepala dengan acara-acara berbobot. Agak mengherankan. Ia tak suka acara sinetron, gosip, maupun program-program hiburan penuh drama yang tak berfaedah.  Boleh dikatakan, ia termasuk gelandangan pintar sekalipun dirinya tak memegang semacam kartu yang menjamin kepintaran seseorang.
            Lelaki itu memegang perutnya, benar-benar kelaparan karena kemarin malam ia tak makan. Nasi sisa yang disimpannya dalam sebuah plastik kresek dan ia kepit seharian disambar seekor kucing yang langsung hilang entah kemana. Kalau kucing itu juga gelandangan, ia berpikir masih bisa memaafkannya. Sesama gelandangan juga harus saling tolong menolong. Tapi, kalau ternyata ia kucing yang berasal dari sebuah rumah dan sebenarnya hidup berkecukupan dan mencoleng makanan hanyalah kegiatan iseng baginya, si lelaki bertekad tak akan memberi ampun dan berencana menendangnya bila suatu waktu mereka kembali bertemu.  
            Warung Bu Yun sudah ramai oleh pelanggan. Perempuan itu bersama dua pekerjanya sedang sibuk meracik pesanan, mengisi piring-piring dan mangkuk, mengantarnya ke sana sini, kembali dengan piring kosong, dan mengulang prosedur yang sama. Lelaki itu melambaikan tangan, sekedar memberi tahu kalau ia sudah datang. Bu Yun hanya tersenyum sekilas, lalu kembali sibuk.
            Lelaki tersebut duduk di sisi warung dengan mata menengadah ke salah satu pojok kedai dimana televisi tengah menyiarkan acara bincang pagi diselingi informasi-informasi ringan. Pagi ini, acara itu disela oleh sebuah berita kehilangan. Sebuah keluarga, kira-kira begitu, berdiri berderet di layar. Mata mereka sembab. Seorang gadis kecil memeluk sebingkai foto yang memperlihatkan sepotong wajah lelaki tua yang pandangan matanya tengah menerawang entah kemana.
            Si perempuan muda—ibu si gadis kecil—dengan suara seraknya karena habis menangis, menginformasikan bahwa ayahnya yang berusia senja telah meninggalkan rumah. Lelaki itu tercenung. Matanya tiba-tiba berkabut. Ingin ia usir secercah kenangan pahit yang menyeruak dalam kepalanya, namun tak berhasil. Ia ingat pernah berada di layar televisi seperti itu. Tepatnya, ia adalah lelaki yang berada dalam bingkai foto. Wajahnya dalam foto itu jauh lebih muda dari usianya sekarang, berpakaian resmi dengan jas dan dasi yang serasi, rambut tertata rapi, tatapan fokus, dan senyum yang terhormat.
            Ia ingat ayah dan ibunya juga tampil di televisi dengan berlinang air mata. Sang ibu sesenggukan ketika memintanya pulang, namun lelaki itu tak pernah berniat untuk kembali. Ia bertekad untuk menghapus masa lalu yang tak ingin ia ungkit lagi, bahkan untuk dirinya sendiri. Ia tahu pasti, orang tuanya menempuh cara ini karena sudah putus asa setelah mengerahkan sejumlah orang untuk mencari, lengkap dengan sejumlah cara yang mereka anggap ampuh tetapi tidak.
            Ketika orang-orang suruhan ayahnya menyisir ibu kota dan negara yang diperkirakan sebagai tempat pelariannya, ia tengah berjalan-jalan santai di sebuah pedesaan dengan kumis dan janggut yang tak dicukur hingga ia tak mudah dikenali lagi. Ia keluar masuk desa dan menjelajahi kota-kota kecil di kaki gunung, jauh dari hiruk-pikuk ibukota yang dibencinya. Ia sepenuhnya telah bebas dari aturan-aturan ayahnya yang mengekang, kemewahan yang terasa hambar, serta kewajiban mewarisi perusahaan raksasa sang ayah serta sifat diktatornya. Ia mendapati bahwa hidup menjadi dirinya terasa menyenangkan dan…keputusan yang tepat! Ketika persediaan uangnya habis, ia terdampar di warung Bu Yun, yang lalu ‘memeliharanya’ hingga kini.
            Lelaki itu menghela nafas, kembali memperhatikan berita di televisi. Perempuan itu mengatakan ayahnya pergi pada malam tiga hari yang lalu dan tak ada kabar hingga kini. Dengan resah, ia menjabarkan informasi detail tentang ayahnya itu: tahi lalat di bawah mata kiri, pakaian yang ia kenakan terakhir kali, rambut dan kumis berwarna kelabu, serta perkiraan waktu ia meninggalkan rumah. Ia juga menyebutkan nomor ponsel serta alamat yang cukup lengkap.
            Informasi penutup: bagi yang menemukan dan memberi informasi keberadaannya akan diberi hadiah sepantasnya.
            Si lelaki menelusuri wajah penuh kerut dalam bingkai figura itu. Kasihan sekali kau, kakek tua! Ia membatin. Hingga di usia senjamu, kau masih diikat oleh mereka. Aku tahu kau pergi untuk mencari kebebasan, namun kini kau dijadikan buronan. Apakah kau sudah mencicipi hidup bebas di luar sana, sepertiku?
            Informasi tambahan: orang tua itu sudah kehilangan daya ingat pengaruh usia. Dan, ia juga sedikit kehilangan akal sehat.
            Lelaki itu tak dapat menahan rasa geli yang berputar-putar dalam perut laparnya. Ia  tertawa terbahak-bahak. Sungguh lucu! Kadang, manusia memang harus menjadi seseorang yang kehilangan akal sehat agar bisa mendapatkan kebebasannya, agar terlepas dari belenggu pikiran dan aturan-aturan.
            Mereka; anak, menantu, dan cucu itu sedikit pun tak peka. Anggota keluarga mereka yang hilang itu adalah orang yang ingin merdeka. Sekarang mereka mengumandangkan berita kehilangan dengan harapan dapat menawannya kembali. Dalam hati si lelaki berdoa sungguh-sungguh, semoga pemilik raut kosong dalam bingkai foto itu tidak pernah ditemukan.  Pergilah yang jauh, kakek tua! Reguklah esensi kebebasan! Bertemanlah dengan burung dan cacing-cacing!
Medan, 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar