Jumat, 26 Juni 2015

Photograph Euphoria

Siapa yang tak suka di foto? Belakangan ini tingkat kenarsisan tiap orang sepertinya melejit beberapa digit secara drastis. Muncul istilah-istilah foto yang sangat booming, seperti selfie, photobomb, dan entah apa lagi.

Tiba-tiba semua orang menjadi fotografer dadakan, setidaknya bagi dirinya sendiri. Tanpa peduli usia tua atau muda, tak pandang status kalangan dan profesi, semua doyan berfoto. Memotret atau dipotret tak lagi sekedar mengabadikan momen, tapi ajang bersenang-senang.

Dan, berikut adalah hasil jepretan amatir saya, dengan kamera amatir, serta model-model amatir pula (yang selalu rela dan senang hati menjadi objek saya); meski sekedar foto-foto sederhana dengan editan secukupnya.

Here we are...




Mereka cukup narsis bukan? xixixixi... dan mungkin saya pun cukup narsis untuk memajang foto di blog ini.

Well, have fun with your camera and see you...

Senin, 01 Juni 2015

Visit Dokan (Dokan Arts Festival 2015)

Festival seni di desa budaya Dokan. Seni dan budaya, adalah kata kunci yang berhasil menggiring saya datang ke acara ini, kendatipun saya bukanlah mahasiswa seni ataupun orang yang bergelut di dalamnya. Menikmati seni (musik, tari, seni rupa) adalah satu kenikmatan tersendiri, apalagi yang masih berbau tradisional.

Kabar akan diadakannya event ini telah saya dengar sejak awal tahun kemarin. Setelah tanya sana sini  dan dapat informasi dari beberapa web, akhirnya saya tahu acara ini diselenggarakan selama tiga hari, 15 hingga 17 Mei.

Maka pada hari kedua, Sabtu 16 Mei selepas siang, saya dan adik serta sepupu pergi ke sana.

Tanpa mengetahui detail agenda acara, kami tiba di sana dan hari itu hanya dilangsungkan satu acara, yaitu lomba menyanyi.
 Sementara lomba vokal solo dilangsungkan, kami berjalan-jalan mengeksplorasi desa yang saya kunjungi untuk kali pertama ini. Hunting foto di beberapa tempat bertemankan alunan lagu dari para peserta lomba.

Pemandangan rumah adat berpadu dengan gema lagu Taneh Karo Simalem semakin mengentalkan nuansa tradisional sore itu.


Melalui sebuah harian lokal Medan, saya mengetahui kisah awal mula munculnya ide mengadakan acara seni di desa Dokan, serta bagaimana proses pengembangan ide hingga penyusunan acara.

Saya cukup surprise ketika menemukan fakta bahwa ide mengenai acara festival seni ini berawal dari percakapan ringan di kedai kopi dan para penggagasnya adalah para anak muda, yang kemudian berlanjut ke perbincangan serius.

Kenyataan lain yang saya temukan adalah tentang minimnya dana, sehingga pengisi acara dengan nama besar seperti Tio Fanta Pinem datang dari Jakarta dengan biaya sendiri. Beliau, bersama sejumlah musisi dari dan luar Tanah Karo tidak mendapat imbalan/honor atas sumbangsih mereka. Mengapresiasi serta mendukung semangat dan ide kreatif para anak muda, adalah alasan terbesar mereka mau tampil secara gratisan.

Karena satu dan lain hal, kami tidak dapat mengikuti acara malam budaya, yang pastinya sangat meriah—karena pada saat itulah para musisi dan para pengisi acara akan menunjukkan kreativitasnya. 

Tahun ini, Dokan Arts Festival sudah menunjukkan geliatnya. Semoga di tahun-tahun berikutnya, kegiatan seni ini terus bertumbuh, meraksasa, menunjukkan eksistensinya dengan kegiatan positif nan berkualitas. (Semoga saja pemerintah semakin mendukung dan mau berkolaborasi dengan para anak muda yang kreatif dan peduli akan budaya Karo ini.)
 
Mejuah-juah.