Kamis, 22 Maret 2012

Photogenic

Para cewek yang merasa kece, padahal selalu kere, pasang wajah yang sok oke karena tau ini foto bakal aku pajang di blog gue....

another picture...
ehemmmm....

Cerpen : Bila Aku Jatuh Cinta

Uh, jatuh cinta. Kata-kata ajaib yang bisa mengubah seluruh hidupku. Terdengar berlebihan memang. Ungkapan cinta Anandra kemarin masih menggema di telingaku, dan tiap kali aku mengingatnya, irama jantungku kembali berdeburan tak teratur. Senyum termanis yang terukir dibibirku tak pernah pudar. Hmmm, ini cintaku yang pertama dan benar-benar istimewa. Mungkin bagi banyak orang yang telah melewati first love mereka, ini terdengar biasa. Tapi lain bagiku, ungkapan cintanya mampu membuat bibirku terus mengembang, mengulum senyum sepanjang jalan.
Segalanya berubah menjadi baik. Aku baru menyadari, bila kita sedang merasakan nikmatnya jatuh cinta, kita akan kembali menemukan akal sehat kita. Kata teman-temanku, aku semakin hari semakin cantik ditambah bingkai senyum di wajahku. Hehehe... Aku menjadi sangat berbaik hati meminjamkan tugas sekolah bagi teman-teman yang memerlukan, padahal dulu aku dikenal sebagai ratu pelit. Tapi apa boleh buat, aku melakukannya karena efek jatuh cinta. Benar atau salah, ah, aku tak peduli....
Cinta dihatiku menyadarkanku bahwa hidup ini indah. Ketika aku duduk menunggu angkot di halte, baru kusadari bahwa halte adalah tempat yang asyik. Betapa menyenangkan melihat tingkah polah orang-orang di sini. Ada yang wajahnya muram, mungkin sedang patah hati, tebakku seenaknya. Ada yang wajahnya berseri, mungkin dia juga sedang kasmaran, tebakku juga masih dengan sesuka hati. Ketika angkot yang kutunggu datang, aku juga baru mengerti, bahwa angkot adalah kendaraan terbaik yang pernah kutumpangi. Kendaraan setengah reyot itu ternyata mobil yang sangat artistik penuh dempulan dengan angka besar didepannya, pernak-pernik di bangku depan, cadangan ban yang bertengger manis diujung bangku sangatlah tidak mengganggu, melainkan aksesoris mobil yang cukup unik. Angkot juga adalah kendaraan umum paling dinamis, paling ekonomis karena paling mengerti situasi kantong orang-orang golongan agak bawah sepertiku.
Pengamen-pengamen di perempatan lampu merah itu juga bukanlah pengusik ditengah kantuknya siang bolong. Melainkan mereka adalah musisi jalanan yang  paling hebat. Betapa bodohnya aku selama ini tak bisa menikmati lagu-lagu cinta dari suara paling merdu itu. Mereka adalah rombongan orkestra paling lengkap, paling sering tampil di panggung nyata, panggung jalanan.
Begitu pula ketika gerimis turun, aku merasa tak perlu melangkah tergesa-gesa menghindarinya. Apa yang perlu ditakutkan dengan rintik-rintik air itu? Kali ini gerimis membuatku begitu bahagia, aku melangkah pelan, menengadahkan kepalaku menyambut titik-titik air membasahi wajahku. Aku menari dibawah hujan, serasa di film india. Semua terlihat sempurna.  Ketika aku melangkah riang menuju rumahku, kebahagiaanku memuncak karena aku telah tiba di istana termegah milik keluargaku. Kawasan rumah petak berbentuk balok ini bukanlah kawasan kumuh, sama sekali bukan. Inilah lingkungan rumah terbaik. Kami yang tinggal di sini adalah manusia-manusia paling tangguh ketika menghadapi terjangan banjir, bertetangga penuh dedikasi sosial, sekali lagi, semua ini sangat indah. Semua terlihat indah di mataku yang sedang mengenakan kacamata cinta. Ouh.... Tak ada yang salah dengan jatuh cinta kan? Jadi, kenapa sebagian orang takut untuk jatuh cinta?
***
Aku meraba-raba ke sekelilingku, karena sekarang aku sedang dikerjai sahabatku. Katanya ada kejutan untukku dan mengharuskanku untuk menutup mata. Aku dituntun ke tempat yang tidak bisa kutebak ada dimana, masih di lingkungan sekolah mungkin. 
Tiba-tiba,“Putri, maukah kamu menempati ruang indah dihatiku?” Suara itu... Aku menarik nafas, menenangkan hatiku, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Seseorang membuka penutup mataku. Aku terbelalak melihat apa yang terjadi didepan mataku, benar-benar kejutan. Andika berlutut di depanku, memeluk sebuket bunga mawar putih. Uh, aku tak tau harus merasa apa. Gugup. Linglung. Sedikit malu. Untung sudah pulang sekolah, jadi tak banyak pasang mata yang menyaksikan adegan ini. Hanya segelintir orang yang berlalu sambil tersenyum, dan menatapku iri. Aku menatap ketiga sahabatku yang setia berdiri dibelakangku, mereka tersenyum mendukung. “Putri...,” panggilnya lagi. Mungkin aku terlalu lama mengacuhkannya. Aku tersenyum kaku. Andika. Satu-satunya cowok cool yang kusukai seantero sekolah. Sebenarnya ia adalah cowok impian hampir setengah kaum hawa penghuni sekolah. Ia adalah langganan juara umum, perwakilan sekolah untuk mengikuti kompetisi pidato bahasa inggris se provinsi, dan masih banyak nilai plus lainnya. Aku diam-diam memendam perasaan kepadanya, karena aku tahu aku tak pantas ikut serta bersaing mendapatkan perhatiannya.
Cerita kuno sebenarnya. Aku, hanya cewek biasa, tak banyak prestasi dan tak cukup terkenal. Aku hanya sering berpapasan dengannya kala aku mengantarkan karyaku ke kantor mading. Yups, dengan mudah dapat ditebak kalau dia adalah ketua mading. Dan sekarang aku sama sekali tak menyangka kalau cintaku akan disambut. Dan aku tak perlu waktu lama untuk berpikir, menimbang-nimbang jawaban. Aku mengangguk malu-malu. Ini mujizat. Keajaiban. Aku adalah Cinderella yang mendapatkan sepatu kaca tapi tak berbatas waktu. Aku tak ingin harus terburu-buru kehilangan segalanya, meninggalkan kebahagiaan yang baru sekejab karena waktu. Aku ingin cinta ini akan bertahan, selamanya. Semua indah bila aku sedang jatuh cinta. Terima kasih untuk cintamu, Andika, cinta pertamaku...

Being A Writer

Aku ingin jadi penulis.
Aku ingin menerbitkan novel karyaku sendiri.
“Apakah mungkin?” Itu adalah suara dari hatiku sewaktu dulu perasaan pesimis masih menguasaiku. Aku berusaha terus aktif menulis meski banyak suara sumbang yang masih suka muncul seenaknya dari pikiranku.
“Apakah akan ada orang yang suka novelku?” Kurasa pertanyaan itu sudah terlalu maju. Hal pertama yang harusnya kupikirkan adalah : “Apakah ada penerbit yang mau menerbitkan novel ku?” Selanjutnya : “Ada nggak ya orang tertarik sama novelku?” “Bagaimana kalau novelku nanti diacuhkan?” Aku nggak akan berhasil. Uh, pikiran pesimis itu memang benar-benar kejam!
Aku memang sangat ingin menjadi penulis. Paling tidak pada masa mudaku, aku ingin berkarya meski pada akhirnya aku tak akan hidup sebagai penulis.
Apa yang kukejar? Uang? Ketenaran? Kurasa semuanya. Ya, aku tak mau jadi pecundang atau dikenal sebagai seseorang yang munafik. Uang memang tujuanku, meski bukan itu yang utama. Aku ingin berpenghasilan, agar aku bisa melakukan apa saja dengan uang hasil jerih payahku sendiri. Aku ingin mandiri, lepas dari beban orang tuaku. Terlepas dari itu semua, aku ingin mengasah bakat. 

Dan hal tergila yang pernah terlintas dipikiranku adalah,”Apakah nanti ada produser yang mau mengadaptasi novelku menjadi sebuah film?” Hmmm, kurasa aku berangan-angan terlalu tinggi. Novel nya saja belum selesai, aku sudah berpikir terlalu jauh ke depan. Dan satu hal yang terus memacu semangatku adalah : bila aku ingin novelku menjadi sebuah film, aku harus menciptakan novel yang hebat.
Tak dapat kupungkiri, perasaan pesimis itu masih suka membayangiku. Ketika aku menyalakan laptop dan siap untuk menulis, perasaan malas menyergapku. Aku berpikir,”masih ada banyak novel lain yang jauh lebih bagus dari novel karyaku. Tak akan ada yang suka karyaku.” 
Seketika itu juga, inspirasi yang sempat hinggap di kepalaku, tiba-tiba hilang, terbang, menguap tak berbekas. Ujung-ujungnya aku menutup kembali folder-folder novelku dan mengalihkan pikiran dengan mendengarkan musik dan melihat-lihat album foto.
Waktu berlalu, dan tak ada karya yang berhasil kuciptakan. Kadang hal seperti itu terjadi berulang kali, aku memang menyedihkan....
Tapi semakin lama aku pelan-pelan menemukan sebuah pemikiran yang akan mematahkan perasaan pesimisku. Aku sering mengunjungi Gramedia. Banyak novel karya anak muda, dan kurasa novel karyaku sama bagusnya dengan novel karya mereka. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak???

Aku tak lagi berpikir,”apakah akan ada orang yang suka novelku kelak?” Jawabannya,”pasti ada”. Aku optimis sekarang.
Layaknya channel TV dan beribu-ribu acara didalamnya. Setiap orang punya selera yang berbeda-beda. Si A mungkin tak suka acara sinetron, ia suka film. Si B mungkin tak suka gosip, ia suka seri petualangan. Begitu seterusnya. Seperti lagu yang diciptakan para musisi-musisi hebat. Ada yang suka musik jenis rock, ada pop, ada yang suka lagu dangdut. Semua ada peminatnya.
Demikian pula dengan harapanku akan novelku. Aku tak perlu mencemaskan semua itu. Yang harus kulakukan sekarang hanyalah berusaha berkarya dengan baik. Karya yang baik akan bernasib baik. 
Aku suka search di internet tentang dunia kepenulisan. Banyak kisah penulis-penulis, ada yang gagal, lalu putus asa kemudian melupakan mimpi jadi penulis. Ada yang berhasil dengan karya hebat. Ada penulis-penulis pemula yang sedang berusaha, layaknya aku. Aku tak akan putus asa, dan aku percaya satu kata-kata bijak yang telah dikenal cukup lama. “There is a will, there is a way
Aku tau masih banyak kesempatan yang berseliweran di sekelilingku. Yang harus kulakukan adalah memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Berhasil atau tidak, itu urusan belakang. Setiap kali aku melanjutkan menulis novelku, selalu terucap doa dalam hati,”Tuhan, tolong berkati usahaku.” “Tuhan, bantu aku untuk terus belajar, karena sesungguhnya aku masih banyak kekurangan dan masih belum mengerti apa-apa.”
Aku akan menulis novel. Aku pasti berhasil, pasti berhasil!

Ganbatte...!