Kamis, 26 Desember 2019

ES BATU [Cerpen Harian Banjarmasin Post, edisi Minggu 22 Desember 2019]

ilustrasi oleh Banjarmasin Post

ES BATU
Oleh Dian Nangin

Petang telah diambil alih malam. Seorang lelaki duduk terpekur di samping gerobak dorongnya yang terparkir begitu saja di depan sebuah toko kelontong yang sudah tutup. Di dalam gerobak terbaring putranya yang berumur tujuh tahun. Sesekali bocah itu mengigau. Suhu tubuhnya mendadak naik drastis siang tadi dan sang ayah belum mampu memberi tindakan yang maksimal untuk memulihkan kondisinya.
Lelaki tersebut menengadahkan kepala ketika mendengar suara langkah mendekat, suara yang ditunggu-tunggunya sedari tadi. “Apa yang berhasil kau dapatkan?”
Seorang perempuan, istrinya, mengacungkan plastik berisi es batu. “Hanya ini. Kita coba kompres saja dulu. Semoga panasnya segera turun.”
Lelaki itu menerima es batu yang memang sekeras batu, lalu membenturkannya ke sebongkah batu besar di dekatnya. Sang istri mencari-cari selembar kain dalam gerobak yang dapat digunakan untuk mengompres.
            Suami istri itu lalu duduk bersisian, termangu menunggu dinginnya kain kompres yang diletakkan di kening putra semata wayang mereka bekerja. Sebenarnya, mereka telah pergi ke klinik-klinik dan pusat kesehatan, namun pelayanan yang diharapkan tak mereka peroleh.  Jumlah pasien hari itu membludak. Perubahan cuaca membuat tubuh-tubuh berdaya tahan lemah rentan dihinggapi penyakit. Mereka ditolak hanya setelah berbicara sepotong kalimat.
            “Tolong, anak saya demam tinggi…” Lelaki itu ragu merogoh sakunya, menyodorkan sepotong kartu dan kertas-kertas dengan dada berdegup kencang.
            Perawat berbedak tebal berlipstik norak itu memeriksa sekilas. Ia berdehem. “Tunggakan berbulan-bulan. Silakan datang lagi bila sudah dilunasi.”
            “Tapi…”

Rabu, 06 November 2019

MELODY [Cerpen Remaja Harian Analisa, Minggu 3 November 2019]

ilustrasi oleh Analisa/ Christian M Saragih

MELODY
Oleh Dian Nangin
            “Mel! Apinya sudah siap?!”
            Suara ibu menginterupsi keasyikanku menikmati kemerosok lagu yang mengudara dari radio kecil yang kutempel di telinga—barang elektronik kami satu-satunya. Kuletakkan radio butut itu kembali ke tempatnya, lalu setengah berlari menuju tungku tempatku tadi menyulut api. Ternyata api telah padam, menyisakan kepulan asap tebal. Kukipasi baranya dengan kecepatan penuh hingga api menyala dan melalap kayu bakar.
            Ayah yang baru kembali dari hutan tampak sibuk menurunkan jerigen berisi air nira yang baru dipanen dari atas becak motornya. Wajahnya memerah, urat-urat bertimbulan di leher dan tangannya, nafasnya terengah-engah, namun ia tampak masih punya banyak tenaga untuk mengangkati jerigen berat itu.
            Ibu lalu muncul membawa wajan besar yang baru ia cuci di sumur belakang. Dengan perlahan ia meletakkannya di atas tungku batu, memastikan posisinya stabil. Ayah menuang air nira sementara ibu memegang saringan di atas wajan dan tugaskuku memastikan api tetap menyala.
            Inilah rutinitas kami: mengolah air nira menjadi gula merah. Aku, ibu dan ayah harus selalu bekerja sama dan bekerja keras, sebab hanya dengan begitu kami akan memiliki penghasilan. Penghasilan yang kami yang tak seberapa itu pun masih harus dipotong untuk membayar air nira yang disadap ayah dari pohon-pohon aren milik orang lain.
Uap pekat dari didihan air nira di wajan terasa lengket di kulit. Asap memerihkan mata. Panas bara terasa membakar. Peluh mengaliri tubuh dan lengan terasa pegal karena tak henti mengaduk cairan dalam wajan yang kian lama kian berat sebab air nira berubah kental. Tapi, aku mampu menahan semua itu karena dalam hati aku asyik bernyanyi.
***
            Apakah ada cara untuk membunuh sepotong mimpi?

Minggu, 27 Oktober 2019

Matahari di Mata Ibu [Cerpen Harian Waspada, edisi Minggu, 20 Oktober 2019]

ilustrasi oleh Harian Waspada

MATAHARI DI MATA IBU
Oleh Dian Nangin
Ingin kutegur ayam jantan yang berkokok sebab ia membuatmu bangun terlalu dini, Ibu. Langit masih gulita, namun kau telah menyeret langkah keluar kamar dan memulai aktivitas. Kelopak mataku masih enggan membuka, namun hatiku lebih tak tega membiarkanmu berkutat sendiri di dapur yang dingin. Kupaksa tubuh untuk bangkit dan segera menyusulmu ke dapur, untuk bersama-sama menyiapkan sarapan dan bekal makan siang di ladang nanti.
“Tidurlah sebentar lagi,” katamu menghalauku. “Pagi belum tiba. Kau pasti masih mengantuk.”
“Tidak, Ibu, aku sudah cukup tidur,” kuambil alih pisau dari tanganmu untuk mengupas bawang. Lagipula, sejak dulu aku sudah biasa bangun cepat untuk belajar atau membantumu. Walau kini aku bagian dari segelintir anak kampung ini yang berhasil duduk di salah satu universitas terbaik di ibukota, bukan berarti aku bisa bertingkah bak putri raja. Tak ada alasan bagiku untuk menuntut perlakuan istimewa.
***
Langit belum seutuhnya terang ketika kau mengajakku berangkat. Perjalanan menuju ladang harus ditempuh sejak fajar belum terbit. Pula, pekerjaan yang kita lakoni hari ini menuntut waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Berbekal terang yang masih temaram, kita susuri jalan bersemak menuju ladang di sisi lain gunung.
Gegas langkahmu sulit untuk kusejajari. Nafasku terlalu cepat jadi berat. Adakah kakiku sudah terlalu dimanjakan oleh kemudahan transportasi di kota? Kau berjalan di depanku, menerabas aral dan ilalang, agar lebih mudah jalan yang kulalui.

Jumat, 25 Oktober 2019

YANG TAK KEMBALI [Pemenang Cerpen Pilihan Syukuran Sastra 2019 - FOKUS UMSU]

dok. pribadi

YANG TAK KEMBALI
Oleh Dian Nangin 
            Lelaki itu terbangun ketika derit pintu besi karatan yang didorong oleh seorang wanita paruh baya terdengar menjerit-jerit. Semakin lama semakin kencang, membuat ngilu tulang. Wanita itu lalu mengibas-ngibaskan sapu lidinya ke arah si lelaki.
          “Pulang sana! Tidur, kok, di rumah orang!” katanya menggerutu.
          Pulang kemana? Lelaki itu tak punya tempat untuk dituju. Lagi pula ia merasa tidak sembarang tidur di rumah orang,  hanya menumpang merebahkan tubuh di bangku kayu reyot di teras toko wanita itu. Apakah itu memiliki makna yang sama? Lelaki tersebut tak ambil pusing. Kibasan sapu lidi itu semakin cepat. Ia bergegas bangkit dan menyingkir sebelum sapu lidi itu singgah di tubuhnya.
         Matahari perlahan berpijar. Lelaki itu menengadahkan hidung untuk menghirup udara segar sambil melangkahkan kaki menyusuri jalan beraspal, keluar dari gang yang sarat bangunan. Ia membasahi tenggorokan dengan seteguk air mineral dari botol yang dipungutnya di tepi jalan. Ia meregangkan tubuh sambil menyapa sekelompok burung gereja yang hinggap di kabel-kabel listrik. Mereka tak balas menyapa karena sedang asyik menyisir bulu-bulu mereka dengan paruh masing-masing. Santai, tak terburu-buru.
Lelaki itu meneruskan perjalanannya. Ia adalah manusia paling bebas.

Senin, 30 September 2019

BUKU ANTOLOGI PUISI+CERPEN ‘KOTA, KATA, KITA’ [44 Karya Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019]


…Segala perjuangan ibuku dulu tak sia-sia. Setiap tetes peluhnya yang berharga telah mengantarku ke kota ini. Kini perempuan itu telah tiada. Takkan kulupa bahwa ia adalah pahlawanku nomor satu. Dan, sepeninggalnya aku tak lantas sendiri dan merasa sepi. Ada ibu lain yang dipersiapkan semesta untukku. Diantaranya ada Nyak Lela yang penyayang, serta Jakarta, kota menjelma ibu yang menaungi dan menghidupiku….
Dian Nangin – IBU YANG LAIN
Pesimis.
Kata itulah yang menguasai diri saya begitu selesai mengirimkan naskah cerita pendek karya saya kepada panitia penyelenggara lomba menulis cerpen dan puisi tahun 2019 yang diadakan oleh DISPARBUD DKI Jakarta dalam rangka memeriahkan HUT Kota Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi yang berulang tahun pada 26 Juli. Mengapa pesimis? Pertama, kompetisi ini berskala nasional yang artinya pesertanya bisa begitu banyak dan peluang menang (menurut saya) cukup kecil. Kedua, dewan juri yang menilai karya peserta merupakan orang-orang hebat. Jujur, nyali saya ciut!
Sampai pada suatu siang, saya menerima sebuah email yang berisi pemberitahuan bahwa naskah saya menjadi salah satu dari sebelas cerpen terpilih!

Selasa, 17 September 2019

Masa Itu Telah Berlalu [Cerpen WASPADA, edisi Minggu, 15 September 2019]

ilustrasi oleh Harian Waspada

MASA ITU TELAH BERLALU
Oleh Dian Nangin

            Kupikir, bukan sebuah kebetulan aku mendongak ke langit dan mendapati bulan utuh nan cemerlang di langit malam ini. Utuh, bukan separuh, bukan pula menyabit. Bulan tengah melintas di antara celah atap-atap rumah yang cukup rapat, hanya menyisakan ruang sempit bagiku untuk menyadari keberadaannya. Pun hanya ada sedikit waktu untuk menikmati keindahannya sebelum ia berlalu. Dan, tak dapat kubendung semua memori tentangmu yang tiba-tiba mengetuk-ngetuk kepalaku dari dalam, seakan mereka ingin membebaskan diri.
            Kalau ada satu hal yang kubenci, itu adalah mengenangmu. Kau, yang tak lagi bersamaku. Namun, demi melihat bulan yang cemerlang itu, mau tak mau apapun yang kusimpan dalam kotak ingatan tentangmu menyeruak keluar.
            “Ayo menikmati cahaya bulan!” katamu malam itu sambil menyeret dua kursi ke teras. Aku yang sedang merajut dua pasang kaus kaki untuk cucu kembar kita yang akan lahir hanya mengernyit heran.
            “Menikmati bulan? Kau terdengar seperti pujangga,” olokku. “Itu bukan aktivitas yang lazim dilakukan oleh pasangan tua macam kita.”
            “Bulan bisa menjadi milik siapa saja.”
            Kuletakkan rajutan setengah jadi itu. Kuikuti langkahmu ke teras. Kutengadahkan kepala dan bibirku spontan tersenyum mendapati benda langit itu bertengger anggun di atas sana, seolah sedang memamerkan diri pada kita.

Minggu, 08 September 2019

Selamat Datang Kembali di Kota Medan, Big Bad Wolf!


Mejuah-juah, Wolfie!
*Sekali-sekali boleh dong ya disapa pakai salam suku Karo 😉

Yuhuuu💃
Big Bad Wolf datang kembali! Sejauh pengalaman saya, BBW ini adalah pesta diskon buku terbesar, koleksi terlengkap, dan paling meriah yang pernah ada. Kunjungan ke Medan kali ini adalah yang kedua kalinya setelah kunjungan pertama pada 2018 lalu. Sejak kabar BBW akan ke Medan lagi mampir di telinga saya, otomatis saya mulai menabung. Tahun lalu saya sudah ikut belanja di BBW, tapi karena masih yang pertama kali, saya belanjanya tak karuan. Saya belum kenal BBW, apa saja yang dijual, hal-hal menarik apa yang ditawarkan, dan lain-lain. Tahun ini, daftar belanja dan keuangan sudah lebih terencana!
(dok.pribadi)
Tahun ini, saya mendapatkan preview pass dari bank BCA yang menjadi partner BBW dan bisa digunakan pada tanggal 4 September. Apa keuntungan bisa masuk BBW pas preview sale? Tiket ini eksklusif, jadi kita bisa belanja dua hari sebelum event ini dibuka untuk umum, yang artinya pengunjungnya belum terlalu ramai, susunan buku di meja masih rapi, stoknya masih banyak, dan lain-lain.

Gubernur Sumut, Eddy Rahmayadi, juga hadir pada pembukaan preview sale BCA (dok. pribadi)

Senin, 19 Agustus 2019

BUTET [Cerpen Harian Analisa, edisi Minggu 18 Agustus 2019]

ilustrasi oleh Analisa/ Renjaya Siahaan

BUTET
Oleh Dian Nangin  
            “Butet,” katanya sambil menggenggam selintas telapak tanganku yang terulur. Sontak mulutku ternganga. Aku menunggu ia menyebutkan nama kedua, ketiga, atau meralatnya dengan nama asli dan menerangkan bahwa Butet hanyalah nama panggilan—yang tetap saja belum akan bisa kupercayai.
            Boru Lumban Tobing,” tambahnya sambil tersenyum. Rautnya menunjukkan bahwa ia sudah sering melihat ekspresi tak percaya seperti yang disuguhkan wajahku.
            Keningku berkerut. Nama itu sangat tidak cocok dengan mata biru dan kulit putihnya. Pun, penampilannya sama sekali tidak merepresentasikan nama yang disandangnya. Akan lebih masuk akal bila ia memperkenalkan diri sebagai Janice, Allicia, Emily, atau nama lain khas perempuan-perempuan benua Amerika. Orang-orang sering bersikap acuh dengan berkata apalah arti sebuah nama, namun kini aku ingin menggugatnya karena benar-benar penasaran akan muasal dan alasan penyematan nama itu pada dirinya.
            “Kau...asli Batak?!” Usai bertanya, aku merutuki diri dalam hati. Pertanyaan bodoh! Dengan sekali pandang, siapapun tahu bahwa perawakannya ia warisi dari orangtua yang jelas-jelas bukan keturunan asli Indonesia.

Minggu, 18 Agustus 2019

A HAPPY ENDING FOR TIMUN MAS (Re-telling Cerita Rakyat)

Diceritakan kembali oleh Dian Nangin

ilustrasi oleh www.penuliscilik.com
“Kabulkanlah permohonan hamba, ya, Allah,” demikian perempuan janda itu mengakhiri doanya. Tak pernah jemu ia memanjatkan doa yang sama tiap malam, betapa ia menginginkan seorang anak. Suaminya telah mati. Mereka tak pernah dikaruniai anak. Si janda tua hidup dalam sepi. Hanya doa yang ia miliki, serta keajaiban yang mustahil namun tetap ia yakini. Ia lalu pergi tidur, berharap esok hari keajaiban akan menghampirinya.
Tapi, tak ada keajaiban kendati ia sudah berdoa semalam suntuk. Hidup harus terus berlanjut. Perempuan janda itu bertani sepanjang hari. Petangnya ia masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika sedang mengikat kayu-kayu kering yang berhasil dikumpulkannya, ia melihat bungkusan aneh di bawah pohon besar tak jauh darinya. Bergegas ia membuka bungkusan itu dan kecewalah hatinya. Isinya hanya  biji mentimun, bukan seorang anak seperti yang ia harapkan.
               Kekecewaannya disela langkah-langkah berat yang datang mendekat. Si janda membalikkan badan dan hadir di depannya sesosok raksasa. Raksasa itu tertawa menggema,  menggetarkan tanah dan pepohonan. Janda tersebut mematung. Wajahnya pucat.
            “Jangan takut, perempuan tua! Aku tidak akan menelanmu hidup-hidup,” katanya. “Kau menginginkan seorang anak, bukan?”
            “Y-ya,” jawab perempuan itu tergagap.
            “Tanamlah biji timun itu, maka kau akan memperoleh seorang anak,” ujar sang raksasa sembari menunjuk bungkusan di pangkuan perempuan itu. “Tapi ada syaratnya; kelak anak itu dewasa, kau harus menyerahkannya padaku untuk kumakan.”

Jumat, 26 Juli 2019

UJI NYALI, IKUT KOMPETISI

by Dian Nangin

Entah kenapa, tahun ini saya kerajingan ikut kompetisi. Setelah hampir empat tahun menggeluti dunia fiksi, saya merasa lebih siap dan lebih tertantang untuk mengikuti lomba-lomba kepenulisan. Sebenarnya, beberapa tahun lalu, di awal-awal mulai menulis untuk media massa, saya pernah mengikuti kompetisi menulis cerpen. Namun, saat itu saya masih sangat naif. Saya hanya mengikuti satu kompetisi dalam setahun, hanya mengirim satu karya, yakin menang, mengincar hadiah besar, tanpa pengalaman, tanpa pengetahuan memadai, dan tanpa rekam jejak.
Hasilnya? Mengecewakan, tentu saja. Saya jelas tidak menang. Bahkan masuk top 30  pun tidak. Setelah karya pemenang dirilis, saya segera membandingkan diri. Ternyata cerita saya sangat klise, naskah saya mentah, tidak mengindahkan tata aturan, dsb.

Kini, setelah mencecap banyak pengalaman, saya merasa sudah cukup matang untuk maju ke arena perang 😆. Karya saya sudah mendapat tempat di media massa dan juga media online. Walau demikian, masih banyak pula yang ditolak para Redaktur atau sedang dalam masa tunggu dan telah berbulan-bulan terkatung tanpa konfirmasi. Saya sudah pernah menerima puja-puji, kritik pedas, cibiran remeh, hingga dukungan maksimal. Semua jadi bekal saya untuk mulai berkompetisi. Eh, tapi bukan berarti setiap orang harus mengalami hal yang saya alami baru bisa ikut berkompetisi, ya! Mental dan kesiapan masing-masing orang kan berbeda....

Kamis, 11 Juli 2019

SABDA ANGIN [Cerpen Harian Waspada, edisi Minggu 07 Juli 2019]

ilustrasi oleh Harian Waspada

SABDA ANGIN
Oleh Dian Nangin
Selain ransel besar yang menggantung di punggung, pemandangan para pendaki yang berjalan beriringan jauh di depanku, dan angin yang bertiup semakin kencang, tak ada yang menemani langkahku menaklukkan jalan berbatu nan terjal. Aku sudah terbiasa mendaki gunung sendiri, namun jelas ini terlalu sunyi. Tak ada kekasihku yang bertahun lalu setia menemami.
Tak ada lagi kekasihku yang mencintai bunga-bunga liar. Namun, cinta itu tidak serta merta menjadikannya semacam ahli, yang hafal nama-nama latin setiap bunga serta mengetahui jenis-jenisnya. Ia menyukai bunga liar semata untuk kesenangan pribadi, bisa dikatakan iseng, namun keisengan yang rutin dan konsisten.
            “Bunga liar adalah bunga yang paling tangguh,” begitu dia pernah berkomentar ketika kami mendaki sebuah gunung di Sulawesi. “Apalagi bunga yang bisa tumbuh di atas gunung seperti ini. Tak ada yang menanam dan memelihara, namun mereka tumbuh tak kalah cantik dengan bunga lain yang ditanam di pekarangan, di taman kota, atau di dalam pot yang diletakkan di dalam rumah—tipikal bunga penuh perawatan dan disayang-sayang.”

Selasa, 09 Juli 2019

JANJI BERINGIN [Dimuat di media online NUSANTARANEWS, 4 Maret 2018]

*saya baru mengetahui perihal dimuatnya cerpen ini pada Juli 2019

ilustrasi oleh Nusantara News


JANJI BERINGIN
Oleh Dian Nangin
Cekakak-cekikik sarat keriangan terdengar memenuhi taman itu, amat berbanding terbalik dengan air muka seorang perempuan tua yang menatap sebatang beringin yang juga sudah tua di tepi taman. Kepalanya mendongak, memandang ke ujung batang tempat rerimbunan gelap penuh jalinan kusut akar-akar yang ujungnya jatuh menggantung. Kedua tangannya bertaut di depan perut, seolah sedang berdoa menyampaikan sesuatu, entah pada Tuhan atau si pohon beringin.
“Apa kabar kekasihku? Pernahkah ia datang menemuimu?”
Pelan, ia membisikkan pertanyaan itu—tak ingin ada telinga lain yang ikut mendengar. Apa yang akan dipikirkan orang tentangnya bila mendengar pertanyaan yang ia lontarkan tersebut? Sudah setua itu, namun masih merindukan kekasih? Orang-orang tentu membayangkannya sebagai wanita tua kebanyakan yang menghabiskan usia senja dengan merajut benang wol menjadi baju hangat, topi, kaus kaki, atau apapun yang ia kuasai  untuk dihadiahkan pada cucu-cucunya yang berisik namun ia sayangi.
Pasti tak akan ada yang menyangka kalau sebenarnya ia masih sendiri,

Minggu, 07 Juli 2019

AWAN DAN OMBAK [Cerpen Harian Tanjungpinang Pos, dimuat pada Minggu, 11 September 2016]

*saya baru tahu perihal dimuatnya cerpen ini pada Juli 2019 😮😆

ilustrasi oleh Tanjungpinang Pos

AWAN DAN OMBAK
Oleh Dian Nangin
Ada beberapa hal yang ditakdirkan hanya untuk saling memandang, saling mengagumi. Tumbuh keinginan untuk memiliki, namun sang takdir menuliskan alur berbeda. Mereka ada, tidak untuk bersama.
Seperti ombak, yang sampai kapan pun tak akan pernah merengkuh awan. Terlalu jauh untuk ia gapai. Sang ombak hanya bisa termangu memandangi awan, putih berarakan bagai sepasukan malaikat penghuni nirwana. Yang dapat ia lakukan hanyalah cemburu pada langit, karena si ombak dapat  menangkap isyarat kesungguhan cintanya untuk awan.
Kurang lebih sama. Helena dengan Agung.
        Meski hubungan itu takkan pernah berjalan seperti yang Helena harapkan, ia tidak akan ‘mengasingkan’ Agung dari hatinya. Dengan dada lapang, ia belajar melepas sekaligus mengenang. Berharap dengan begitu ia bisa berdamai dengan takdir yang tidak sepaham dengan keinginannya.
***
Helena dan Agung berjalan bersisian. Gadis itu melepas sandal dan menentengnya, membiarkan telapak kakinya bersentuhan langsung dengan pasir.

Selasa, 25 Juni 2019

BINTANG KEHIDUPAN [Cerpen Remaja, Harian Analisa, edisi Minggu 23 Juni 2019]

ilustrasi oleh Analisa

BINTANG KEHIDUPAN
Oleh Dian Nangin
            Langit malam ini sungguh gelap. Aku tak pernah benar-benar memperhatikan langit sebelumnya—kecuali pada malam jelang tahun baru karena ada pesta kembang api. Tapi malam ini,  sembari menyandarkan punggung di sofa usang di belakang rumah, mataku lekat menatap kelamnya langit yang seakan menggenapi kesedihanku. Aku sering mendengar kalimat ‘kesepian di tengah keramaian’ dan kupikir kalimat itu terlalu berlebihan. Kini tiba waktuku mengalaminya sendiri dan merasakan kebenarannya.
            Ruang depan masih dipenuhi orang sekalipun jasad ibu sudah kami antarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya sore tadi. Sebagian kerabat masih belum akan pulang hingga beberapa hari ke depan. Sebagian berkata masih ingin menemaniku dan nenek, sebagian beralasan ingin ikut dalam acara doa bersama yang akan diadakan oleh perkumpulan tetangga dan persekutuan tempat ibadah kami. Suara bincang-bincang terdengar dari arah depan, diselingi bunyi langkah kaki yang hilir mudik ke dapur entah untuk keperluan apa saja.
            Namun, untuk sesaat, aku serasa tuli.

Jumat, 31 Mei 2019

MENANAMKAN BUDAYA LITERASI SEJAK DINI


oleh Dian Nangin

Peran Keluarga
            Kebanyakan teman-teman sesama pecinta buku dan juga rekan-rekan penulis mengatakan bahwa mereka sudah hobi membaca sejak kecil. Walau tak begitu ingat kapan tepatnya hobi itu bermula, namun mereka masih mengenang majalah anak-anak, komik, dan bacaan lain yang digandrungi sewaktu belia.
            Orang-orang yang gemar membaca yang saya kenal punya riwayat masa kecil yang dekat dengan buku. Rata-rata, kegemaran dan kedekatan itu memang diwariskan oleh orangtua mereka. Barangkali hal tersebut tidak mutlak seratus persen, tapi tetap saja itu merupakan bukti kuat bahwa orangtua memegang peranan penting dalam menumbuhkan budaya baca bagi anak-anaknya.
            Saya pun juga demikian. Walau latar belakang keluarga saya bukan akademisi, bukan pula pengoleksi buku, juga bukan tipe keluarga yang menyisihkan pengeluaran khusus untuk membeli buku, namun ayah ibu saya cukup suka membaca. Surat kabar, buletin gereja, majalah, buku renungan harian, menjadi santapan sehari-hari mereka. Bahkan mendiang nenek saya yang gemar mendongeng, menghabiskan masa tuanya dengan membaca. Mata lamurnya menyipit dan berkedip dengan intensitas yang lebih tinggi ketika menekuni baris demi baris kalimat dalam buku yang ia baca. Selain itu, ketika masuk sekolah saya langsung duduk di kelas satu SD tanpa mencicipi bangku TK terlebih dahulu (tahun 1997), maka ayah saya rutin mengajari saya membaca setiap sore. Setelah mahir membaca, buku pelajaran Bahasa Indonesia menjadi favorit saya, menjadi buku yang paling cepat lecek karena terlalu sering saya buka, sebab di sana ada banyak cerita dan teks-teks yang dapat saya nikmati.
dok. pribadi
           Kebiasaan membaca yang ditunjukkan keluarga lalu menjadi cikal bakal saya menggemari segala jenis bahan bacaan, mulai dari sekedar teks pendek di belakang kotak kemasan susu, selembar kecil komik dalam bungkus kerupuk, buku pelajaran, Alkitab, hingga akhirnya saya berkenalan dengan beragam novel serta genrenya.

Rabu, 22 Mei 2019

JALAN-JALAN KE RETREAT CENTER GBKP, Sibolangit, Sumatera Utara


Saya adalah seorang jemaat GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) dan tempat ini sudah sangat dekat dengan saya. Sejauh saya bisa mengingat, saya sudah mengunjungi tempat ini sejak saya bahkan belum masuk sekolah.  Banyak agenda gereja yang kami lakukan di sini, banyak kenangan yang sudah terpatri dalam kepala, dan saya juga menyaksikan perubahan dan perkembangan yang terjadi pada retreat center ini.
dok. pribadi
 Nyaris setiap tahun saya melakukan kunjungan ke tempat ini. Bahkan setelah saya mulai kuliah, kegiatan kerohanian dari kampus pun beberapa kali dilakukan di tempat ini. Sesuai namanya, retreat center ini memang dipusatkan sebagai tempat kegiatan keagamaan, penyegaran rohani, retreat, training pelayan gereja, hingga kegiatan umum seperti seminar.
dok. pribadi

Senin, 06 Mei 2019

TERSESAT [Cerpen Harian Analisa, Minggu 05 Mei 2019]


ilustrasi oleh Harian Analisa/Renjaya Siahaan

TERSESAT
Oleh Dian Nangin 
             Satu persatu cahaya yang menerobos rimbun dedaunan perlahan menghilang. Hanya tersisa keremangan yang memaksa mataku bekerja lebih awas. Ini berarti matahari sudah semakin jauh bergeser ke arah barat. Ini juga berarti aku harus semakin bergegas sebelum hutan belantara ini diselimuti gelap. Aku tengah tersesat dalam sebuah perjalanan yang tak kuingat darimana dan kapan bermula. Daripada menguras otak dan tenaga untuk memikirkan asal muasal perjalanan ini, lebih baik aku berjuang menemukan jalan keluar.
             Sesekali pekik-pekik manusia terdengar sayup, sahut menyahut. Aku berteriak memberitahu keberadaanku, berharap ada yang berbaik hati mencari dan menolongku sebelum malam turun. Namun, teriakanku hanya disambut gema pekik-pekik lain tanpa ada yang benar-benar datang menolong.

Rabu, 24 April 2019

Balas Budi Benalu [Dimuat di Wattpad Penerbit Haru, edisi Selasa, 23 April 2019]


Akhirnya, cerpen ini menemukan jodohnya!💃
Saya lupa kapan tepatnya menulis cerpen ini, namun berdasarkan catatan saya, cerpen ini pertama kali saya kirim pada 20 Agustus 2016 ke salah satu koran lokal di Medan. Tidak lolos muat, saya menarik dan menyimpannya di folder laptop. Saya lalu sibuk menulis cerpen-cerpen baru dan mengedarkannya ke berbagai media cetak dan elektronik. Setelah beberapa lama diacuhkan, saya akhirnya membaca ulang cerpen ini dan merevisinya sedikit, lalu mengirimkannya kembali ke sebuah media cetak di Lampung. Berbulan-bulan menunggu, cerpen ini kembali tidak lolos muat.
Lalu, cerpen ini kembali mengalami revisi, bongkar pasang alur, berubah genre, dan dikirim ulang untuk ke sekian kali. Namun, ternyata ia harus bersabar menunggu sementara cerpen-cerpen lain mendapat tempat masing-masing di berbagai media. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk mencoba mengirimnya ke Penerbit Haru yang menerima kiriman cerpen untuk dimuat di Wattpad mereka. Butuh proses yang cukup lama hingga akhirnya si ‘Balas Budi Benalu’ ini menemukan ruangnya. 
Cerpen ini saya kirim pada Desember 2018, mendapat konfirmasi dari Redaksi pada akhir Februari 2019, dinyatakan lolos muat pada akhir Maret 2019, dan akhirnya mejeng di wattpad Penerbit Haru pada 23 April 2019. Betapa sebuah perjalanan yang panjang, fiuhhh….*lap keringat😅
Selamat membaca!

Jumat, 12 April 2019

MEMBACA HANYA SEKADAR HOBI? TIDAK LAGI!


Suatu pagi, pintu rumah saya diketuk dengan ritme yang menandakan sebuah ketergesaan. Saya menyahut, dengan santai membuka kunci serta gerendel pada pintu besi. Si pengetuk, seorang tetangga yang beberapa tahun lebih muda, tampak panik bercampur excited. Ia nyaris mengomel karena saya bergerak lamban.
“Ada apa sih?” tanyaku.
“Ini urgent, Kak,” sahutnya cepat.
Setelah masuk, ia membeberkan hal mendesak tersebut dan saya hanya bisa menarik nafas. Hal urgent itu tak lebih dari ketidakmampuannya menyusun kata-kata untuk membalas pesan WA dari HRD sebuah perusahaan tempatnya kemarin mengantarkan surat lamaran kerja pertamanya.
“Apa susahnya membalas itu?” tanyaku.
Saya melihat pesan di layar ponselnya. Tampak beberapa pertanyaan berkenaan tentang pribadi si pelamar dan juga mengenai pekerjaan yang dilamar. Saya berpikir sebentar, lalu mengembalikan ponselnya.
“Jawab saja dengan jujur dan sopan.”
“Iya, tapi bagaimana merangkai kalimatnya?!” katanya dengan wajah memelas.
“Katakan begini, bla…bla…bla…” kucoba membantu sambil mondar-mandir mengerjakan beberapa hal.
“Wah, iya, benar! Itu maksudku!!” Tangannya bergerak cepat di layar ponsel untuk mengetik balasan pesan tersebut. Kepalanya menoleh ke kanan kiri untuk mengikuti pergerakanku. “Gimana tadi, Kak? Aduh, aku cepat kali lupa. Coba ulangi…”

Selasa, 12 Maret 2019

TANPA SAYAP [Cerpen Remaja Harian Analisa, Minggu, 10 Maret 2019]

ilustrasi oleh Analisa

TANPA SAYAP
Oleh Dian Nangin
            “Sampai jumpa, Tiara.” Diva memeluk erat sahabat karibnya itu ketika akan melepasnya pergi ke bandara. Tiara akan lanjut kuliah ke negeri seberang, ia sudah diterima di sebuah universitas di Australia. Ada sebongkah iri yang menyelimuti hati Tiara. Sebagian besar teman-temannya bahkan mampu menyeberangi lautan dan melintasi benua untuk mengejar mimpi mereka, namun Diva sendiri tak berdaya untuk menjemput cita-cita di ibukota.
            Malam harinya, gadis itu merebahkan tubuh sambil menatap seragam sekolah penuh coretan yang tergantung di dinding. Ada sebaris ucapan selamat berpisah, ada pula tertulis janji untuk bertemu kembali. Matanya membaca nama demi nama yang tergurat di sana, nama-nama yang memiliki impian tersendiri.

Minggu, 17 Februari 2019

KECAKAPAN MENULIS

Beberapa waktu lalu, saya mendapat kepercayaan dan kesempatan untuk menjadi juri sebuah ajang lomba menulis cerita pendek dengan tema ‘Guruku Pahlawanku’. Kesempatan itu tentu saja menjadi sebuah pengalaman besar bagi saya yang sebenarnya belum memiliki jam terbang tinggi di dunia menulis (fiksi).
e-sertificate
Saya dan empat juri lain masing-masing diberi tanggung jawab untuk menyeleksi enam cerpen terbaik dari dua ratus lima puluh lebih naskah yang ditulis oleh para peserta yang berasal dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Walau terikat pada satu tema, namun saya menghadapi beragam gaya menulis dan ide cerita yang berasal dari peserta dengan berbagai latar belakang budaya, pendidikan, sosial, ekonomi, agama, dan lingkungan yang sedikit banyak tertuang ke dalam karya mereka.

Saya tidak hendak membahas ide dan cara bercerita masing-masing peserta, namun saya ingin sedikit menyoroti tatabahasa yang mereka gunakan dalam naskah-naskah yang diikutsertakan pada lomba tersebut.

Kamis, 07 Februari 2019

Perempuan-perempuan di Kaki Gunung [Cerpen Harian Analisa, edisi Rabu 06 Februari 2019]

ilustrasi oleh Harian Analisa

PEREMPUAN-PEREMPUAN DI KAKI GUNUNG
Oleh Dian Nangin
            Cukup sepotong kokok pertama ayam yang bertengger di dahan jambu belakang rumah sebagai alarm pagi dan perempuan itu spontan terjaga. Ia tak lantas bangkit karena pergerakannya barusan membangunkan anak balitanya dan ia harus menepuk-nepuk punggung si anak agar kembali terlelap. Pagi masih begitu muda untuknya, belum saatnya ia bangun. Setelah si anak tenang dan kembali tidur, baru perempuan itu bangkit dan menjaga bunyi langkah kakinya ketika keluar bilik kecil itu.
Pintu belakang mengeluarkan suara derit yang kentara ketika dibuka. Serta merta segenggam abu tumpah menyiram wajahnya. Perempuan itu terbatuk-batuk sambil mengibaskan tangan. Dalam kegelapan ia menoleh dan mendongak jauh ke atas, ke arah yang selalu akrab di matanya. Batinnya berkata pasti gunung api di arah selatan itu meletus lagi tadi malam. Entah pukul berapa, entah untuk kali ke berapa.

Sabtu, 26 Januari 2019

1st Anniversary Bookish Medan


GRUP KITA
by Sony Sirait
Warna-warni memenuhi ruang
Tak mungkin diputihkan
Tak mungkin dihitamkan
Melebihi pelangi
Tanpa hujan untuk hadir
Walau terik tetap hadir


Setahun berlalu dan keberagaman menguat
Aksara merekatkan yang berbeda
Aliran sungai beda
Bermuara ke laut yang sama

Selasa, 22 Januari 2019

Dunia di Luar Rahim [Cerpen Banjarmasin Post, Minggu 20 Januari 2019]

ilustrasi oleh Banjarmasin Post

DUNIA DI LUAR RAHIM
Oleh Dian Nangin

“Tentang apa sebenarnya hidup ini?”
Pertanyaanku membuatnya tertawa. “Hei, kau—kita—masih muda. Kenapa pertanyaanmu begitu serius?”
“Aku sudah memikirkannya begitu lama. Tapi tak pernah kutemukan jawaban yang utuh,” aku mendongakkan kepala. Andai langit punya pikiran, apa pendapatnya tentang kehidupan di bumi yang saban waktu dilihatnya dari atas sana?
“Sudahlah. Tidak usah memikirkan hal-hal yang berat. Di usia ini kita hanya perlu menikmati hidup dan bersenang-senang,” ujarnya ringan.
Aku menggeleng, semua ini tidak sesederhana itu. Banyak hal yang menerobos masuk ke dalam ruang pikirku, tak dapat kuabaikan begitu saja.
“Kemana kita akan pergi?” ia bertanya, bosan. Sudah dua jam kami duduk di halte ini tanpa naik ke salah satu bus yang sejak tadi datang dan pergi.
“Kemana saja,” aku menjawab asal. Sejak melangkah keluar rumah tadi, aku memang tak punya rencana untuk dilakukan dan tak punya tempat untuk dituju.