Senin, 06 Mei 2019

TERSESAT [Cerpen Harian Analisa, Minggu 05 Mei 2019]


ilustrasi oleh Harian Analisa/Renjaya Siahaan

TERSESAT
Oleh Dian Nangin 
             Satu persatu cahaya yang menerobos rimbun dedaunan perlahan menghilang. Hanya tersisa keremangan yang memaksa mataku bekerja lebih awas. Ini berarti matahari sudah semakin jauh bergeser ke arah barat. Ini juga berarti aku harus semakin bergegas sebelum hutan belantara ini diselimuti gelap. Aku tengah tersesat dalam sebuah perjalanan yang tak kuingat darimana dan kapan bermula. Daripada menguras otak dan tenaga untuk memikirkan asal muasal perjalanan ini, lebih baik aku berjuang menemukan jalan keluar.
             Sesekali pekik-pekik manusia terdengar sayup, sahut menyahut. Aku berteriak memberitahu keberadaanku, berharap ada yang berbaik hati mencari dan menolongku sebelum malam turun. Namun, teriakanku hanya disambut gema pekik-pekik lain tanpa ada yang benar-benar datang menolong.

             Bersama rasa gentar yang merambati hati, aku menyadari tak akan ada seorang pun yang mau mengumpankan diri pada alam liar di waktu yang tidak seharusnya seperti sekarang. Apalagi besar kemungkinan banyak hewan buas yang berkeliaran di sini. Membuang waktu untuk hal lain selain mencari jalan pulang adalah tindakan bodoh. Yang ada dalam pikiran setiap orang pastilah kembali ke rumah, ke tempat hangat dan nyaman untuk beristirahat.
             Kudongakkan kepala. Biru langit perlahan menua di antara celah-celah dedaunan yang saking lebatnya nyaris menutupi pandangan. Aku tak punya penunjuk waktu dan tak tampak adanya penunjuk jalan. Aku buta arah dan hanya bisa mengandalkan doa sebagai satu-satunya kompas paling akurat. Berharap barisan munajat kacau balau yang kupanjatkan mengarahkanku pada jalur yang benar.
             Di saat seperti inilah baru kusadari bahwa kosakata milikku yang pantas dirangkai menjadi doa begitu minim. Apa boleh buat, aku tak lagi menghitung berapa tahun sudah kaki ini tak menginjak rumah ibadah. Kupikir angka-angkanya sudah melebihi jumlah jemari kedua tangan.          
             Maka kurapalkan saja kata-kata yang kukira benar dan indah didengar Tuhan. Semakin lama aku berjalan, aku mengusahakan doaku bertambah panjang. Bukankah Tuhan akan mendengar doa yang panjang dan spesifik? Memang benar bahwa Dia Maha Tahu, namun kupikir tak ada salahnya memberitahu dengan detail apa yang sekarang benar-benar kubutuhkan. 
             Sudah di mana aku sekarang?! Aku terlalu sibuk berdoa hingga tak memperhatikan jalan yang sejak tadi bercabang-cabang dan tak menghapal arah mana yang telah kumasuki. Jalan buntu menghentikan langkahku. Di hadapanku membentang semak-semak begitu padat dan tinggi. Batang-batang pohon sebesar dua kali tubuhku terlihat begitu mengintimidasi. Tampaknya di sini tak ada rute yang pernah dilalui manusia.
              Kutelusuri semak-semak itu sambil berharap tak ada ular yang tiba-tiba keluar entah darimana dan mematukku. Kutemukan sebuah sungai yang lebar, berarus deras dan tampak liar. Kuikuti jalan setapak di sepanjang tepiannya. Sial! Jalan ini ternyata berakhir di sebuah tebing.
             Untuk kali kesekian aku harus membuat keputusan yang melelahkan. Bila aku berbalik dan kembali pada rute sebelumnya, aku tak yakin di sana tak ada jalan keluar. Satu-satunya pilihan adalah meniti tebing ini untuk melihat apa yang ada di depan sana. Keputusan yang sesungguhnya tidak menjanjikan apa yang kuharapkan, namun lebih baik dicoba daripada tidak melakukan apa-apa.
             Setiap pijakan adalah pertaruhan hidup dan mati. Lebar pijakan hanyalah seluas telapak kaki. Ah...! Aku kaget setengah mati! Kaki kananku nyaris terpeleset oleh permukaan batu yang licin. Untung tanganku masih cukup kuat berpegangan pada akar-akar pohon besar  yang banyak bertimbulan. Darahku berdesir dingin demi melihat sungai berjeram deras di bawah sana. Gemuruh riaknya meredam semua suara—pekik-pekik manusia, kerik jangkrik, hingga derak cabang-cabang pohon yang diayun angin.
             Kutenangkan nafas yang tersengal-sengal sembari mengumpulkan tenaga. Aku harus membuat pijakan yang kuat. Sebab, kalau sampai terjatuh, aku akan ditelan arus deras itu. Hanya bisa kuikuti riaknya tanpa bisa melawan sebab tubuhku sudah begitu lelah. Aku akan terombang-ambing, sesekali menghantam bebatuan besar di sepanjang sungai, hanyut hingga jauh dengan kondisi yang hanya Tuhan yang tahu.
             Sial! Kenapa aku malah membayangkan hal yang tidak-tidak? Kugeleng kepala kuat-kuat, menyangkal bayangan itu. Butuh beberapa detik untuk menjernihkan pikiran dan lalu kulanjutkan langkahku.
             Setelah melewati tebing dengan dada berdebar keras hingga terasa menyakitkan, aku tiba di jalan setapak yang tampaknya pernah dilewati manusia. Permukaannya keras tanpa lumpur dan sedikit lebih bersih dari semak-semak. Syukurlah. Sepertinya jalan keluar sudah tak jauh lagi. Semangatku bangkit kembali, membuatku mampu menyeret kaki yang bergetar sebab adrenalin ketika melewati tebing tadi belum lagi reda.
             Sebuah siulan tiba-tiba meniup daun telingaku. Kaget, spontan kutepis siulan itu dengan tangan serupa mengusir nyamuk berdenging. Namun, siulan itu malah menjadi-jadi. Sontak kutolehkan kepala.
             Sesosok makhluk hitam yang terlihat ganjil muncul dari balik sebuah dahan besar, dua langkah di belakangku. Bentuknya jauh dari fisik manusia, tapi ia juga tak menyerupai binatang apapun. Wujudnya benar-benar ganjil. Ia berwarna hitam dengan dua mata menyala. Aura mengerikan menguar dari tubuhnya, membuat gelap di sekitarnya semakin pekat di sisa keremangan petang.  
             “Siapa kau?” teriakku.
             Alih-alih menjawab, ia melangkah mendatangiku. Ia menjejak tanah namun langkahnya tak terdengar.
             “Berhenti di sana! Jangan mengikutiku!” Perintahku tegas. Seketika aku sadar  bahwa aku tidak sedang berhadapan dengan para bawahanku di kantor, melainkan dengan sebentuk makhluk asing yang kian lekat di belakangku—dan tampaknya tak akan menuruti kata-kataku. Langkahku kian gegas. Namun, itu tak juga memperlebar jarak di antara kami. Tangannya terulur, menggapai-gapai.
             Tepat ketika ia mencengkeram kerah bajuku dan menariknya kuat hingga aku tercekik, tiba-tiba aku melihat secercah cahaya. Terang yang perlahan semakin benderang. Bersama satu hentakan nafas, mataku terbuka lebar. Kusadari aku telah terbangun dari mimpi yang buruk—teramat buruk.
             Kudapati berlapis-lapis manusia mengerubungi tubuhku yang tengah berbaring kaku. Langit-langit putih dan bau khas yang akrab mengembalikanku pada dunia nyata. Baru kemudian realitas menyusup masuk ke alam sadarku bahwa telah enam bulan aku menghuni rumah sakit ini karena penyakit komplikasi.
             Seorang lelaki dengan jubah megah menopangkan tangannya di kepalaku; seorang pendeta yang kukenal namun selalu kuhindari. Matanya terpejam. Bibirnya komat-kamit mengucapkan doa. Ah, pemandangan ini tiba-tiba membuatku merasa ciut hingga sebesar semut. Tak ada momen yang paling menyadarkan dan mendera hati dengan rasa bersalah karena alpa terhadap Tuhan selain penyakit paling mematikan. Pun, ketika hidup rasanya sudah di ujung tanduk seperti yang terjadi padaku sekarang.
             Doa yang dipanjatkan sang pendeta menenangkan degup jantung dan menyejukkan hatiku. Aku lega dan tenang—sejenak.
             Beberapa detik kemudian aku tercekat tak kepalang. Sebab, sesosok makhluk hitam ganjil melongok dari tubuh-tubuh yang mengelilingiku. Makhluk yang mengejarku barusan di alam mimpi! Ia menyeringai penuh kemenangan karena telah menemukanku seolah tadi kami bermain petak umpet. Ingin aku berteriak minta tolong. Namun, pita suaraku tak berfungsi dan bibirku tak bisa bergerak. Tak ada sepotong kata pun yang berhasil keluar dari tenggorokanku.
             Kuputuskan untuk ikut berdoa di dalam hati, mengulang-ulang kalimat yang diucapkan pendeta. Pilihan kata-katanya sudah pasti lebih benar dari doaku barusan. Aku berharap doanya cukup ampuh untuk membebaskanku dari teror ini. Tapi, makhluk itu melangkah mendekat seolah tak sedikit pun terganggu oleh doa-doa yang mengancamnya. Seringainya semakin lebar. Aku menggigil.
             Aku tak dapat melawan ketika ia merenggutku paksa. Mencengkeram leherku seolah aku ayam yang siap dijagal. Semakin kuat makhluk itu mencekikku, semakin besar keinginanku untuk berteriak, semakin keras pula si pendeta berdoa, sahut menyahut dengan doa yang juga mulai diucapkan orang-orang di sekelilingku dengan suara yang tak kalah kerasnya.
             Tapi tampaknya doa itu tak manjur, sebab aku tetap saja berada di cengkeraman makhluk hitam ini. Ia membawaku pergi semakin jauh, meninggalkan dengung doa yang bergemuruh.
Medan, 2017-2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar