Jumat, 31 Mei 2019

MENANAMKAN BUDAYA LITERASI SEJAK DINI


oleh Dian Nangin

Peran Keluarga
            Kebanyakan teman-teman sesama pecinta buku dan juga rekan-rekan penulis mengatakan bahwa mereka sudah hobi membaca sejak kecil. Walau tak begitu ingat kapan tepatnya hobi itu bermula, namun mereka masih mengenang majalah anak-anak, komik, dan bacaan lain yang digandrungi sewaktu belia.
            Orang-orang yang gemar membaca yang saya kenal punya riwayat masa kecil yang dekat dengan buku. Rata-rata, kegemaran dan kedekatan itu memang diwariskan oleh orangtua mereka. Barangkali hal tersebut tidak mutlak seratus persen, tapi tetap saja itu merupakan bukti kuat bahwa orangtua memegang peranan penting dalam menumbuhkan budaya baca bagi anak-anaknya.
            Saya pun juga demikian. Walau latar belakang keluarga saya bukan akademisi, bukan pula pengoleksi buku, juga bukan tipe keluarga yang menyisihkan pengeluaran khusus untuk membeli buku, namun ayah ibu saya cukup suka membaca. Surat kabar, buletin gereja, majalah, buku renungan harian, menjadi santapan sehari-hari mereka. Bahkan mendiang nenek saya yang gemar mendongeng, menghabiskan masa tuanya dengan membaca. Mata lamurnya menyipit dan berkedip dengan intensitas yang lebih tinggi ketika menekuni baris demi baris kalimat dalam buku yang ia baca. Selain itu, ketika masuk sekolah saya langsung duduk di kelas satu SD tanpa mencicipi bangku TK terlebih dahulu (tahun 1997), maka ayah saya rutin mengajari saya membaca setiap sore. Setelah mahir membaca, buku pelajaran Bahasa Indonesia menjadi favorit saya, menjadi buku yang paling cepat lecek karena terlalu sering saya buka, sebab di sana ada banyak cerita dan teks-teks yang dapat saya nikmati.
dok. pribadi
           Kebiasaan membaca yang ditunjukkan keluarga lalu menjadi cikal bakal saya menggemari segala jenis bahan bacaan, mulai dari sekedar teks pendek di belakang kotak kemasan susu, selembar kecil komik dalam bungkus kerupuk, buku pelajaran, Alkitab, hingga akhirnya saya berkenalan dengan beragam novel serta genrenya.

Kebiasaan membaca sewaktu masih kecil, berdasarkan pengalaman pribadi saya, tidak lantas memudar atau enyah begitu saja ketika usia beranjak dewasa. Walaupun rutinitas semakin padat serta menyita waktu, namun saya selalu menemukan celah kosong di antara kesibukan untuk sekedar membaca beberapa halaman buku--novel fiksi adalah favorit saya. Begitulah saya dibesarkan dan secara sadar atau tidak sadar, orang tua saya telah menanamkan budaya baca pada diri saya sejak masih kanak-kanak. 
Namun, kenyataan yang terjadi belakangan ini malah sebaliknya. Seringkali saya melihat begitu mudahnya para orangtua ‘zaman now’ memberikan smartphone pada anak-anak mereka yang tengah merengek atau mengganggu kesibukan mereka—seolah smartphone telah menjadi satu-satunya senjata paling ampuh untuk menenangkan mereka. Anak-anak tersebut dibiarkan bermain-main dengan berbagai aplikasi di sana tanpa pengawasan. Maka, tak mengherankan anak-anak usia tiga tahun sudah pintar mengutak-atik ponsel dan anak-anak usia sekolah dasar telah kecanduan bermain game online, menonton video di youtube, bahkan memiliki media sosial sendiri.
            Padahal, anak-anak di usia 2-5 tahun berada pada fase belajar dan meniru dari apa yang ada di sekelilingnya. Mereka meniru bagaimana orangtua mereka bersin, belajar mengucapkan kata-kata yang didengar atau diperdengarkan pada mereka, bahkan meniru bagaimana kucing peliharaan mereka berbaring dan menggaruk tubuh. Nah, pada fase tersebut, mengapa tidak ditanamkan budaya membaca? Di antara sejumlah hal yang diajarkan pada anak balita, seperti memegang sendok ketika makan sendiri, memegang gelas, mengenalkan nama barang-barang, dan lain-lain, para ayah dan ibu bisa menunjukkan kebiasaan membaca atau membacakan buku bagi anak-anaknya. (Ini adalah cara yang paling mudah dilakukan, namun paling sering diabaikan). Melihat ayah ibu yang sering berkutat dengan buku akan menjadi contoh yang baik untuk mereka tiru. Setelah anak mampu membaca, dapat dilakukan kegiatan membaca bersama dan berdiskusi. Bila hal-hal tersebut konsisten dilakukan, niscaya budaya literasi akan tumbuh dan berurat akar pada diri anak-anak.
Seiring dengan hal di atas, maka tahap paling dasar yang harus diperhatikan sebagai upaya membudayakan literasi adalah menumbuhkan kesadaran pada setiap orang tua (terlebih yang memiliki anak kecil) bahwa membaca itu penting! Kesadaran tersebut hendaknya disertai pemahaman bahwa membaca bukan hanya merupakan tanggung jawab lembaga pendidikan, tempat kelak pendidikan anak-anak tersebut dipercayakan. Pun, ketika anak-anak kemudian mulai bersekolah, bukan berarti para orang tua dapat lepas tangan dari tanggung jawab mengajarkan literasi pada anak-anak mereka.  
            Lalu, berbicara lebih jauh mengenai kecanggihan teknologi dan kemampuan anak-anak milenial dalam menggunakan kecanggihan teknologi itu sendiri, kemudian muncul istilah Literasi Digital. Dan, gerbang literasi digital paling pertama adalah keluarga.
            Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. (sumber: wikipedia)
Membudayakan literasi digital sejak anak-anak, mau tak mau, harus digalakkan untuk mengimbangi kemajuan teknologi yang sangat pesat. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan anak-anak menjadi korban efek negatif kemajuan dunia digital, seperti tidak menelan mentah-mentah informasi yang dibaca, tidak tersesat dalam belantara hoaks, tahu peraturan dan menjaga sikap dalam bersosial media, tidak mudah terprovokasi hal-hal yang belum jelas kebenarannya, juga menghindarkan mereka menjadi pelaku penyebaran hoaks atau ujaran kebencian.  
            Gerakan literasi tak hanya seputar upaya pembebasan manusia dari cengekraman buta aksara, namun juga meningkatkan kemampuan dalam menerima, mengolah, dan memahami informasi. Sebagai salah satu pengguna teknologi dan gemar berselancar di dunia maya, ada beberapa hal yang mengusik saya berkaitan dengan literasi digital.
Satu contoh yang paling sederhana adalah sebagai berikut. Sebuah lembaga menyelenggarakan lomba menulis. Dalam sebuah teks digital yang diterakan dalam akun media sosial lembaga tersebut dijelaskan dengan detail mengenai teknis mengikuti lomba, syarat, dan hal-hal lain. Namun, masih saja banyak orang yang melontarkan komentar atau pertanyaan mengenai suatu hal, padahal hal yang ditanyakan itu sudah dijelaskan dalam teks tersebut. Pertanyaan itu berulang-ulang disampaikan hingga admin bosan menjawabnya, bahkan sampai menerbitkan rasa kesal dan dongkol, yang kadang tidak dapat ditahan dan akhirnya diluapkan di media sosial tersebut. Ini akan menjadi sebuah gangguan besar dalam proses komunikasi antara pihak penyelenggara lomba dan masyarakat luas.
       Perihal melontarkan pertanyaan tentang hal yang sudah dijelaskan ini menjadi bukti ketidakmampuan dalam memahami informasi, atau bisa jadi murni faktor kemalasan untuk sekedar membaca informasi tersebut. Dan, kedua hal itu telah menjadi bukti betapa rendahnya kemampuan literasi seseorang.

Peran Masyarakat
Membudayakan literasi telah menjadi hal urgent yang harus dilaksanakan secepatnya. Masyarakat, yang ruang lingkupnya lebih luas dari keluarga, hendaknya dapat bersinergi bersama-sama dalam upaya membudayakan literasi. Sesungguhnya sudah cukup banyak gagasan budaya literasi yang dilaksanakan di tengah masyarakat, seperti pengadaan lapak-lapak baca di ruang terbuka, pemilik usaha kafe memakai konsep perpustakaan, komunitas-komunitas yang mendirikan rumah baca di pelosok daerah, maupun orang-orang yang menyertakan gerakan literasi dalam rutinitas mereka, seperti penjual jamu yang berkeliling sambil membawa buku, dan sebagainya. Namun, dalam hal konsistensi, gagasan semacam ini (yang bergerak sendiri tanpa sokongan pemerintah) seringkali timbul tenggelam. Ditambah lagi kebanyakan masyarakat cenderung adiktif terhadap teknologi, maka segala yang berkaitan dengan buku sebagai jendela dunia semakin terpinggirkan.
Memang, tidak mudah membudayakan literasi di masa kecanggihan teknologi sekarang ini. Namun, saya yakin benar bahwa di antara kaum milenial yang senantiasa terlihat sibuk berkutat dengan smartphone mereka, masih ada jiwa-jiwa yang haus akan bahan bacaan dan ilmu pengetahuan. Mereka hanya perlu diwadahi, diberi jalan, atau apa pun untuk memancing rasa haus tersebut keluar. Namun, sayangnya belum banyak wadah dan belum merata penyebarannya hingga ke daerah-daerah pelosok, seperti perpustakaan umum dan toko-toko buku, yang dapat menjadi oase penyembuh dahaga mereka.
Hal di atas sedikit banyak terkait dengan pengalaman pribadi saya. Semasa sekolah dari SD hingga SMA, saya mendapatkan bahan bacaan kebanyakan dari kios buku loak/second. Pada waktu itu, hanya terdapat satu toko buku di daerah saya, Kab. Karo, Sumatera Utara. Sepuluh tahun berselang, keadaannya masih tetap sama. Bahkan, mirisnya, beberapa kios buku second  ‘menghilang’. Kios yang masih bertahan menjual buku yang keadaannya sudah lapuk dan cukup buruk. Satu-satunya toko buku yang ada telah beralih fungsi menjadi toko serba ada dan judul buku yang dijual pun sangat terbatas.
Dibutuhkan kepedulian dan semangat yang besar untuk menumbuhkan budaya literasi negeri ini. Bahkan, memberantas buta huruf dengan membudayakan literasi dasar baca-tulis masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini, sebelum kemudian masuk ke cakupan literasi yang lebih luas dan kompleks.   
Gerakan membudayakan literasi ini juga tak bisa lepas dari bagian tanggung jawab pemerintah. Memang, beberapa tahun terakhir dapat dilihat pemerintah sudah mulai mencetuskan beberapa kebijakan dalam mendukung gerakan literasi, pun mengapresiasi pihak-pihak yang secara sukarela telah menceburkan diri dalam upaya membudayakan literasi. Namun, dibutuhkan konsistensi, komitmen, serta gagasan berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang agar gerakan ini membuahkan hasil yang baik.
Pada akhirnya, diperlukan kerjasama berbagai pihak agar gerakan membudayakan literasi ini berhasil dan menghasilkan SDM penerus bangsa yang berkualitas, sanggup bersaing dengan negara-negara maju lainnya, serta siap menyambut persaingan global.
Medan, Mei 2019

#sahabatkeluarga #literasikeluarga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar