Senin, 12 Oktober 2015

That Day

Hai.

Berikut adalah foto-foto proyek iseng di suatu minggu pagi yang mendung. Kala itu baru pulang gereja dan di luar gerimis mulai merinai. Nah. Berbekal baterai kamera yang hampir 'megap-megap', berlatar tembok dalam rumah, terdengarlah beberapa jepretan seiring perubahan-perubahan pose.


Klik.


And, what do you think about these photo? Some people said she should be a model (do you agree?), and, yes, it was her childhood dream. Tapi sekarang dia terdampar di sebuah kantor, working eight to five. Her childhood fly away. When I asked her why would not achieve her dream now, she just said, she was too old for it. Oh.


Ketika saya tanya apa mereka cukup percaya diri kalau saya pajang foto-foto ini di blog, mereka hanya berujar (dengan sok keren).

"Ya, pe-de, dong!"

Haha. Pada dasarnya, mereka memang orang narsis. Tapi, siapa, sih yang tidak narsis di masa sekarang ini? Saat berfoto menjadi kegiatan lumrah, di mana saja, kapan saja, situasi apa saja. Seperti kemarin saat seorang nenek selfie di pasar, sah-sah saja. Just go ahead!

And, don't let others decide what looks good on you and what's not.
Always be confident!

Dan, ketika saya berniat mengambil foto bertiga dengan menggunakan timer, baterainya habis.........

Rabu, 07 Oktober 2015

Pegang Tanganku

Malam kemarin sebuah panggilan masuk ke ponselku dan berikutnya kutahu bahwa salah satu abang sepupu jatuh sakit hingga akhirnya harus dibawa ke Medan (padahal banyak rumah sakit di Tanah Karo sana). Kontan saja perasaan jadi tak karuan. Apalagi, setahuku, jarang terdengar kabar sakit darinya.

Dan (masih saja, seperti biasa) banyak keluarga yang ikut mengantarnya. Tiap orang meluangkan waktu untuk memberi atensi penuh. Tubuh-tubuh yang tak terbiasa dengan suhu panas, rela sempit-sempitan di sebuah mobil demi menunjukkan cinta kasih. Hal itu bukan semata-mata karena abang tersebut memegang peranan tertinggi dalam sistem kekerabatan keluarga. Tapi lebih karena kebersamaan dan topangan tangan itu adalah budaya yang sudah dianut turun temurun.

Perhatian yang tak pandang bulu. Prinsip mind your own bussiness tak berlaku di sini.

Seperti ketika Nenek, Paman, Bibi, Kakak Ipar, dan semua-muanya yang telah meninggalkan planet fana ini. Ketika fase pahit itu tiba, semua keluarga, atau minimal satu untuk mewakili, akan selalu ada di ruang putih itu, berpegang tangan dan berdoa untuknya, memberinya pelukan hangat, bersama-sama hingga ambang gerbang kehidupan kedua akhirnya memutus kebersamaan itu.

Hal itu membuat tak seorang pun merasa sendirian. Tak seorangpun kesepian.

sumber: google

Lalu di jaman sekarang ini, ketika para orang-orang tua satu persatu mulai 'pergi' untuk mengelana di kehidupan kedua, semakin sedikit yang tersisa. Membuat kebersamaan itu semakin erat, semakin mengikat. Dengan satu harapan, semoga tali yang sama akan menyimpul anak, cucu, dan cicitnya kelak, walau terpisah jarak, waktu, dan beragam kesibukan. Kebersamaan yang tetap mengiringi perjalanan hidup, bahkan untuk hal kecil dan sepele seperti pindah rumah atau mengantar kepergian seseorang ke tempat jauh. Kebersamaan yang kadang tak perlu tatap muka, hanya saling menyebut nama dalam doa.




If somebody have the happy moment, everybody will come to celebrate together. That happiness belongs to all. And it no makes difference when disaster, grief or trouble struck.



Ibarat sebatang pohon yang disambar petir; biarlah kita meranggas bersama.