Rabu, 14 Desember 2016

Desa Yang Hilang [Waspada, 11 Desember 2016]

ilustrasi oleh Waspada
DESA YANG HILANG
Oleh Dian Nangin

Seantero desa tiba-tiba gaduh, riuh rendah seperti semut kebakaran sarang. Orang-orang tumpah ruah keluar rumah. Truk-truk pengangkut bergerak. Berlusin-lusin lelaki gagah dengan langkah berderap sigap mengerahkan tenaga.
“Ayo, ayo! Cepaaat!” Lengkingan perintah saling menimpali.
“Lewat sini!” Orang-orang saling memanggil satu sama lain, tak ingin tercerai berai dari keluarga, dari sanak saudara.
“Tasku! Mana tasku?”
Di tengah kekacauan, seorang lelaki tersuruk-suruk menggendong putri semata wayangnya menuju truk terdekat. Lehernya dipeluk erat oleh dua lengan kecil yang mengigil. Gadis kecilnya itu ketakutan setengah mati, tak mampu memahami apa yang tengah terjadi. Kunciran rambutnya bergoyang-goyang hebat.
Lelaki itu setengah melemparkan putrinya ke atas truk. “Tunggu di sini, Cike! Bapak akan kembali!”

TAKDIR ANGIN [JOGLOSEMAR, 11 Desember 2016]

ilustrasi oleh Joglosemar

TAKDIR ANGIN
Oleh Dian Nangin

        Sewaktu masih kecil, aku mengira langit hanya tiga jengkal lebih tinggi dari kepala orang dewasa. Aku berpikir bisa menyentuhnya dengan memanjat pokok jambu di pekarangan belakang rumah. Kujaga keseimbangan tubuh agar bisa bertengger di cabang dahan paling tinggi. Tapi ketika kuulurkan tangan, ternyata langit masih cukup jauh dari ujung jemari yang sudah berusaha kupanjang-panjangkan. Kucari sebatang galah, barangkali dengan bantuannya, aku bisa menjangkau langit. Namun lagi-lagi bentangan mega biru itu masih belum bisa kusentuh.
            Ketika guru Bahasa Indonesia memberi tugas mengarang tentang pengalaman liburan, betapa aku ingin menulis cerita tentang kunjunganku ke langit. Aku ingin berbeda dari

Senin, 05 Desember 2016

November di Kota Hujan [Analisa, 04 Desember 2016]

NOVEMBER DI KOTA HUJAN
Oleh Dian Nangin

Ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

Di bulan-bulan penghujung tahun seperti ini, tak ada hal lain yang lebih sering diperbincangkan selain cuaca. Mendung. Rinai air. Basah. Sarat kemurungan, ketidaknyamanan. Barangkali hanya satu dua isu panas yang dapat mengalahkan dinginnya hujan. Isu panas yang ditunggangi para provokator yang mengira bahwa mereka bisa menyetir negeri ini ke arah yang mereka inginkan.
Tapi itu bukan urusan kita, Na.
Kita punya hal lain yang lebih penting untuk dilakukan. Ada pertemuan yang perlu kita genapkan. Serta selaksa rindu yang harus kita tunaikan.

Jumat, 18 November 2016

Mendayung Pagi [FLORES SASTRA, 14 Nopember 2016]



MENDAYUNG PAGI
Oleh Dian Nangin
       Ranti baru benar-benar terjaga ketika ayam telah berkokok entah yang ke berapa kali. Biasanya ia selalu bangun mendahului unggas yang ia pelihara itu. Ranti terburu menuju dapur, membuka kunci pintu belakang, lalu menyeret masuk sekarung singkong yang baru dipanen kemarin dari sepetak kebunnya. Tak sempat ia nikmati indahnya rembulan yang membulat sempurna di puncak pepohonan belakang rumahnya itu.
     Dengan tangan terlatih ia mulai menguliti singkong, merendamnya dalam air bersih, mencuci periuk besar, lalu menanggar air. Di sisi lain dapur, ia menanak beras dua cangkir terakhir dan merebus telur ayam di atas kompor minyak. Tanpa sempat istirahat, tangannya kembali sibuk menyusun kayu bakar dalam tungku dengan hati yang tak henti-henti merutuk kenapa bisa sampai bangun terlambat meski ia sendiri tahu apa penyebabnya.

Senin, 31 Oktober 2016

ESENSI MATAHARI [Banjarmasin Post, 30 Oktober 2016]

Hello, everyone! Are you ready to say goodbye to October and then welcome November?

Oktober memberi saya penutup yang manis dengan dimuatnya sebuah cerpen saya di Banjarmasin Post pada minggu terakhirnya. Tak sabar menunggu November tiba dan berharap hal-hal baik serta tak kalah manis dari bulan-bulan sebelumnya akan terjadi.

Selamat membaca...
ESENSI MATAHARI
Oleh Dian Nangin

Maja mengernyit untuk ke sekian kali ketika rasa asin singgah di sudut bibirnya. Segera ia menarik lengan baju untuk menyapu kening hingga dagunya yang banjir peluh. Matahari sudah tinggi. Di tubuh, batas suhu panas sudah di luar toleransi. Namun Maja bertahan, sebab bundelan koran dalam pelukannya belum laku banyak.

Jumat, 28 Oktober 2016

Nyawa Semata Wayang [Flores Sastra, 27 Oktober 2016]

Well, ada sedikit kesalahan penulisan nama oleh pihak Flores Sastra. Saya berasa jadi jiwa yang melayang-layang, hoho... 
Selamat membaca, kawan ^-^


NYAWA SEMATA WAYANG
Oleh Dian Nangin 
Meski sewaktu kanak-kanak dulu aku tak paham apa arti kematian, namun kukira aku telah cukup akrab dengannya.
Pertama kali berhadapan dengan yang namanya kematian adalah ketika nenek berpulang, menyusul kakek yang tak pernah kukenal sebab ia telah tiada bahkan ketika ibuku masih kecil. Suatu petang jelang malam, perempuan tua itu dibawa ke rumah sakit dan tidak kunjung kembali ketika esok hari aku pergi ke sekolah—aku masih kelas 3 SD waktu itu. Sepulang sekolah, kulihat sebuah bendera merah terpancang di depan rumah. Orang-orang berpakaian hitam dan bermata sembab berlalu lalang.
Aku yang belum mengerti apa itu duka hanya duduk di tepi peti mati, melongok ke dalamnya dan memandangi seraut wajah keriput yang damai. Kedua tangan berkulit penuh kerut yang dulu sering kupuntir-puntir terlipat di atas perut. Di mataku, nenek tampak hanya sedang tidur pulas. Aku cuma mengernyit melihat orang-orang menangis begitu keras. Meski sesekali pelayat mendekapku dengan wajah bersimbah air mata, aku tak tahu harus bereaksi apa selain balas memeluk dengan raut datar.
Setelah nenek dikebumikan dan di hari-hari berikutnya kemudian baru aku paham bahwa bila seseorang mati, berarti ia takkan bisa ditemui lagi. Tak peduli kemana kau mencari dan seberapa lama kau menunggu dia kembali. Raga tempatnya menumpang hidup telah kembali ke tanah dan satu-satunya nyawa yang dititipkan padanya sudah harus kembali pada Sang Pencipta. Dua komposisi inti kehidupan yang pada akhirnya berpisah ke berlawanan arah.
Beberapa tahun kemudian, seorang tetangga yang kupanggil paman tutup usia. Anak-anaknya yang sedang menempuh pendidikan di pulau seberang diminta pulang. Ketika tiba di rumah, tangis mereka melengking demi melihat sesosok jasad kaku yang telah menunggu. Lalu tubuh-tubuh itu ambruk tak sadarkan diri, tak sanggup dihantam pilu. Aku menyaksikan semua adegan itu dengan mulut terbungkam bisu.

Senin, 24 Oktober 2016

Jejak Kewarasan [Medan Bisnis, 23 Oktober 2016]

Barangkali cerita seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Atau, bisa jadi juga tak pernah kita temui karena kurangnya atensi terhadap kehidupan sekitar. Cerpen berikut ini barangkali sesuatu yang sederhana, namun saya berharap dapat menghibur. Syukur-syukur ada sesuatu yang bisa dipetik darinya. 
........

“Rin, lihat!” bisikku pada Airin sambil memperlihatkan secarik kertas yang diam-diam kupungut sewaktu angin menerbangkannya dari meja lelaki itu.
“Kenapa?” Airin melongok sekilas, lalu mengalihkan lagi perhatiannya pada ponsel yang sejak tadi diutak-atiknya. Wajar saja Airin tidak tertarik. Deretan angka dan berbagai simbol operasi aritmatika yang tertulis di kertas ini tak ada sangkut pautnya dengan jurusan yang kami geluti; sastra.
“Rin, kertas ini dari dia...” diam-diam kutunjuk lelaki yang masih tertunduk itu, asyik dengan kertas-kertasnya.
“Orang gila itu?” Airin tampak tak percaya. “Nggak mungkin! Itu pasti kertas coretan mahasiswa. Kan, banyak yang ngerjain tugas di sini.”

Berikut link-nya http://www.medanbisnisdaily.com/e-paper/2016-10-23/#10/z

Selamat membaca... ^^

Jumat, 14 Oktober 2016

Singgah, Senja


singgah, dan berlalu
pagi telah beku
siang yang sebentar menggebu, lalu bisu

singgah, dan berlalu
hari-hari yang rancak
biar ingatanmu berkecipak
dalam kenangan menggenang

telah berlalu
sederet angka pada almanak usia
 
sebelum senja menua
mengepaklah lagi
hari-hari tak akan datang kembali; barangkali

Medan, 2016

suatu petang berawan
usai mendengar burung-burung bernyanyi

Rabu, 12 Oktober 2016

SENANDUNG TERAKHIR [Cerpen]


Sebenarnya cerpen ini pernah diikutkan LOMBA MENULIS CERPEN HUTAN DAN LINGKUNGAN Perhutani Green Pen Award 2016, namun ternyata tidak menang. Akhirnya berakhir di sini, sekedar untuk diabadikan juga untuk dinikmati bila ada yang berniat membaca. Well, here the story. Bila ada yang ingin menyampaikan kritik, saya tunggu, ya. Selamat membaca....

SENANDUNG TERAKHIR 
Oleh Dian Nangin


Rasanya baru kemarin kau mengamati dan menghitung ruas-ruas baru yang bertambah di tubuhmu. Rasanya baru kemarin ayahmu—yang tubuhnya besar nan gagah itu—bercerita bahwa kau telah lama ditunggunya. Katanya, tiap kali muncul rebung tak jauh dari kakinya tertanam, selalu saja ada yang mengambilnya sebelum sempat tumbuh besar dan bertransformasi menjadi bambu yang elok dan menjulang tinggi.
Cerita itu membuatmu paham mengapa hanya kau berdua saja dengan ayahmu yang berada dalam satu kelompok, sementara bambu lain hidup beberapa batang sekaligus dalam satu rumpun. Itu karena bakal bambu sebelumnya tak punya kesempatan untuk tumbuh, seperti yang ayahmu katakan.
Rasanya baru kemarin kau membangun persahabatan dengan para burung yang aktif berkicau, meramaikan siangmu. Juga dengan para serangga malam yang setia dengan orkestranya. Menidurkan para burung yang meringkuk dalam sarang, kelelahan telah bersenandung sepanjang siang.

Jumat, 16 September 2016

CARA(KU) MENULIS CERPEN

Beragam cara penulis fiksi untuk menuliskan sebuah cerita. Cara tersebut bervariasi, tergantung kenyamanan atau kebiasaan penulis itu sendiri. Suatu cara yang berhasil dilakukan oleh satu penulis, bisa jadi tidak cocok diterapkan oleh penulis lain. Dari kebanyakan artikel yang pernah kubaca, ada yang menyarankan membuat outline terlebih dahulu. Ada yang bergantung pada judul. Ada yang merasa lebih mudah memulai dari ending, atau sebaliknya.

Di sebuah milis aku pernah menemukan penulis (atau mungkin masin calon penulis) yang menanyakan bagaimana mengolah ide yang bertumpuk di kepala? Kadang ada beberapa inspirasi menyerbu sekaligus, membuat tangan kewalahan menulis atau mengetikkannya. Belum selesai yang satu, muncul pula ide lain yang menuntut untuk dikembangkan. Pada akhirnya, tak ada satupun yang rampung. 

Bila hal itu terjadi, aku tetap menuliskannya terlebih dahulu. Seringkali hanya garis-garis besarnya untuk dikembangkan nanti atau kapanpun, setidaknya ide itu meninggalkan jejaknya di file yang bertebaran di laptop atau berupa catatan-catatan di notes. Lalu kemudian di suatu waktu aku membacanya kembali, memilah dan mendalami kira-kira mana yang paling menarik untuk dijadikan cerpen 'sungguhan'. Kadang, bisa jadi pula sebuah ide dikembangkan menjadi beberapa cerita dengan penuturan berbeda. Aku sering melakukan ini karena cukup manjur untuk melatih gaya menulis dan cara mengembangkan imajinasi.

Bukankah ada pepatah yang mengatakan practice makes perfect?


Kalau caraku menulis cerita? Ibarat bermain puzzle! Aku kadang memulai sebuah cerpen karena ada sepotong kalimat unik yang menyambar kepala dan rasanya cocok jadi judul cerita. Seringkali potongan kejadian yang akan kumasukkan ke dalam cerita bisa bersumber dari peristiwa berbeda namun terdapat kemiripan di dalamnya. Kadang, dalam satu kali duduk aku hanya bisa menuliskan dua paragraf terakhir. Kadang hanya seulas klimaks tanpa terlebih dahulu menemukan awal dan akhir cerita. Bisa jadi juga menyelesaikan satu cerita, utuh, sempurna secara EYD dan sebagainya, namun tak kunjung menemukan judul yang cocok. Yang gereget!

Pernah suatu kali aku seharian mengutak-atik dua kalimat pembuka sebuah cerpen. Tapi tak juga berhasil, rasanya ada yang belum pas. Sekilas baca sebenarnya aku merasa cerpen ini selesai, namun aku terus menunda pengirimannya ke media. Lalu (ini pengalaman pribadi) aku pergi keluar. Menyesap secangkir kopi di sebuah kafe. Kemudian lalu lalang berjam-jam di toko buku, membaca ini itu tanpa berniat membeli. Hari jelang sore. Kusempatkan singgah di perpustakaan kota. Itu pun karena letaknya dekat dengan toko buku. Memanfaatkan satu jam terakhir sebelum perpustakaan tutup untuk browsing karena aku terbiasa membawa komputer jinjing kemanapun.

Dan akhirnya, di ujung perjalananku hari itu, ketika duduk melepas lelah di bangku perpus yang dingin, sebuah kalimat melintas cepat di benak. Sekejap saja. Bahkan saat itu aku sedang berselancar di dunia maya. Sejenak aku menyadari, sebenarnya apapun yang kulakukan dan kemanapun aku melangkah hari itu, benakku selalu dibayang-bayangi tulisan yang belum rampung tersebut. Ada pergulatan (agak berlebihan, yak!) dalam pikiran yang terjadi diluar kesadaran.

Tak ingin kehilangan momentum, cepat kubuka file cerpen yang terbengkalai. Menghapus kalimat pembuka yang menurutku kurang 'nendang' itu. Menggantinya dengan sebaris kalimat yang baru saja singgah di kepala. Selanjutnya kubuka Yahoo, tulis pesan baru, ketik alamat email tujuan, mengisi judul, kalimat pengantar, attach file, dan kirim. Selang beberapa minggu kemudian cerpen tersebut terbit! 

Demikian.

Sekian.

Kamis, 08 September 2016

RERANTING


Sekali waktu kau mungkin mati
Gugur helaimu oleh angin dibawa pergi

Tapi tak usah berlara hati
Embun tetap setia mendekapmu di pagi buta
Kecup basahnya lalu tinggal sebagai tanda cinta

Kuatlah kala matahari menguji
Apa kau akan merapuh
Atau malah tumbuh; makin kukuh

Sebab musim mungkin menghidupkanmu kembali
Enyah segala ranggas
Memucuk lalu tunas
Ditingkahi deru nafas

Siosar, Agustus 2016

Selasa, 06 September 2016

Ajal Yang Tertukar (Medan Bisnis, 04 September 2016)

Hello, September!
Merasa familiar dengan judul cerpen ini? Mungkin sering terdengar sebagai judul sinetron, atau mungkin film, namun (tentu) bukan tentang ajal.

Banyak orang enggan atau bahkan sangat ingin menghindar dari pembicaraan tentang kematian. Tapi, bagaimanapun kematian itu adalah bagian dari tiap pribadi, bukan? Tiap langkah atau tiap pertambahan umur sebenarnya mengantarkan kita lebih dekat dengan kematian.

Sejenak, lupakan rasa enggan dan silahkan nikmati cerpen ini :)
....
Sejak aku memasuki ruangan ini, aroma kematian tercium kental. Begitu pekat. Seolah tiap-tiap nafas telah berada di ambang batas. Seakan tarikan nafas mereka beberapa menit ke depan bisa jadi yang terakhir.
......
.....
"Mari pergi," ajakku.  Tanpa perlu meminta dua kali, ia langsung menyambut uluran tanganku. Bergandengan, kami melangkah melintasi ruang dan waktu. Meninggalkan suaminya yang mendadak tersadar, kemudian meraung dan mengguncang tubuh istrinya yang sudah tak bergerak. Menciptakan kehebohan yang lebih besar ketimbang yang terjadi sebelumnya.

Klik link berikut untuk membaca 'Ajal Yang Tertukar' secara lengkap: http://www.medanbisnisdaily.com/e-paper/2016-09-04/files/assets/basic-html/index.html#10

Selamat membaca....

Rabu, 31 Agustus 2016

IBU BUMI (Sumut Pos, 28 Agustus 2016)

HOLA!
 
Tak ada yang lebih membahagiakan bagi penulis selain ketika karya-karyanya terbit. Layaknya seorang ibu yang tengah mengandung menapaki hari penuh debar hingga akhirnya sang bayi lahir. Atau, umpama petani yang akhirnya tiba saat panen setelah penantian panjang. 

Dan kemudian, penulis berharap karyanya dapat diterima, dinikmati, memberi manfaat, atau setidaknya dapat menghibur. Layaknya sang ibu yang berharap si bayi tumbuh sehat dan cerdas. Atau si petani yang berharap panen akan melimpah dan bernilai tinggi.

Oke, oke, cukup dengan pengumpamaan-pengumpamaan itu. Now, let me give you some glimpse about this short story.
......
"Apa yang tumbuh dari rahim bumi selalu baik. Kita, orang-orang desa ini, hidup dari bumi. Dan itu sudah lebih dari cukup. Mereka, orang-orang kota, hidup dari hutan-hutan beton. Tak cocok untuk kita yang terbiasa dengan hutan bersemak dan berpohon tinggi," demikian Emak berfilosofi.
Nur pun sesungguhnya ingin menjadi sosok bumi yang seperti diumpamakan ibunya dulu. Bumi yang memberikan segalanya, semua yang terbaik. Dari rahimnya bermula kehidupan. Kedua pucuk susunya menjaga kelangsungan hidup. Ia sesungguhnya rela berpeluh-peluh demi semua tuntutan kebutuhan. Tapi semua itu kini hanyalah sebentuk keinginan yang terpasung.
......
Silahkan klik link berikut untuk membaca versi lengkap cerpen ini : http://www.langgamsp.com/2016/08/28/6778/cerpen-dian-nangin-2/

Selamat membaca
Salam hangat...

Sabtu, 20 Agustus 2016

SIOSAR, Tanah Karo [Catatan Perjalanan]

Pertama kali mengunjungi tempat ini bersama kerabat yang datang dari jauh. Memang, beberapa waktu belakangin ini, Siosar sebagai kawasan relokasi pengungsi bencana Sinabung sedang hits, ramai dibicarakan karena keelokan alamnya.
Maka ramai-ramailah kita ke sana pada libur lebaran kemarin. Pada kunjungan pertama ini, kami layaknya turis kebanyakan yang datang dari kota, berkeliling area relokasi dengan mobil tertutup, menikmati pemandangan dari balik kaca jendela, dan berhenti di beberapa titik favorit banyak orang untuk mengambil foto.
Setelah itu kita istirahat sebentar di warung tenda. Menyesap cappucino sambil berbincang dengan pemilik warung, yang juga merupakan pengungsi. Tak berapa lama kemudian, kami kembali ke mobil, berkeliling sekali lagi, dan akhirnya pulang. The end.

Beberapa minggu kemudian, barulah kami berencana melakukan perjalanan lagi ke Siosar dengan gaya sendiri. Dan perjalanan kali ini bisa dikatakan repot, boros, nekat, dan terkesan maksa. Kenapa? Tanpa ada kepastian transportasi dan tanpa ada teman yang punya kendaraan, kami tetap berangkat. Rencananya, kami akan naik transportasi apa saja yang akan menuju ke sana, setidaknya melewati kampung terakhir sebelum naik ke Siosar. Sisa perjalanan akan kami tempuh dengan berjalan kaki. Pulangnya, kami akan lifting, yakni mengacung jempol pada kendaraan yang akan turun ke kota dan lalu menumpang!
Dari simpang desa Singa, kami menyewa becak yang mesinnya meraung tiap kali tiba di tanjakan, dan akhirnya tiba di pertengahan jarak menuju puncak 2000. Setelah membayar ongkos sebesar 50.000 untuk bertiga, kami siap berjalan dengan semangat. Eh, tiba-tiba berpapasan dengan kerabat yang baru turun dari Siosar. Merasa iba (dan mungkin tertawa dalam hati karena ide pergi ke Siosar dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter adalah sesuatu yang gila!), mereka berbaik hati untuk memutar kembali mobil dan mengantar kami hingga ke puncak Siosar. Yah, gagal rencana jalannya. Tapi tak apalah, hitung-hitung hemat energi.
Kami diturunkan di depan gereja Bahtera Kasih dan mereka pun berlalu. Yak, ransel tercangklong di punggung. Perjalanan dimulai dengan mengitari area perumahan dengan berjalan kaki, memperhatikan kegiatan orang-orang di sana pada hari minggu. Memandang penuh iri pada peralatan hidroponik di pekarangan setiap rumah yang kebanyakan diabaikan. Berikut adalah satu dari segelintir orang yang terpikir untuk mencoba bercocok tanam dengan media ini.
Puas berkeliling, kami berhenti sebentar di bawah naungan pinus untuk beristirahat, berfoto (tentu saja), dan menikmati bekal yang dibawa dari rumah. Jelang siang, pengunjung semakin ramai dan ternyata banyak yang juga yang berminat tamasya di bawah pinus-pinus, terutama keluarga yang datang dengan rombongan dengan bekal seabrek, lengkap dengan tikar dan selimut.

Setelah kenyang, kami lanjut menyusuri setiap persimpangan, masuk ke lahan pertanian yang baru dibuka, yang sebelumnya adalah area hutan. Melihat-lihat tanaman apa saja yang ada di sana, memperhatikan beberapa petani yang sedang membangun pondok, dan sebagainya.
Selanjutnya adalah berjalan menyusuri jalan aspal sejauh 4 kilometer yang berliku-liku, menanjak dan menurun. Menikmati langkah demi langkah, menantang kesiur angin kencang, memuaskan mata dengan warna hijau sejauh jangkauan pandang.
Mungkin bagi sebagian orang, berjalan kaki itu melelahkan. Sebagian besar berkata, kalau ada mobil, untuk apa capek-capek berjalan? Bagi kami, kalau punya sepasang kaki yang sempurna, kenapa tidak menggunakannya?
Mereka juga mungkin merasa terik matahari hanya akan membakar ubun-ubun dan menggosongkan kulit. Sementara angin kencang cuma membuat hidung meler. Tapi, sesekali, tantanglah itu semua. Puaskan setiap indramu dengan segala pemberian alam.
Pergilah keluar, tinggalkan zona nyamanmu. Tabahkan diri, taklukkan jarak, temukan orang asing berhati baik yang tampaknya sudah semakin langka. (By the way, setelah beberapa kali diabaikan mobil-mobil yang lewat, akhirnya kami pulang dengan mobil dengan bak terbuka milik pasangan muda yang turun ke kota dengan anak-anak mereka yang masih kecil. Mereka adalah bagian dari pengungsi Sinabung dan bukan turis. Ketika kami mengulurkan ongkos, mereka dengan tegas menolak. Bujur melala, Tuhan simasu-masu...)

Demikian.

Sekian.

Jumat, 15 Juli 2016

Ketupat Dari Langit [Analisa, 13 Juli 2016]

Catch the moment!

Mungkin kalimat di atas cocok untuk mewakili sebagian besar karya-karya saya yang belakangan sering dimuat. Taktik ini saya pelajari dari banyak materi tentang cara menulis cerpen serta menerbitkannya di media. Diawali dengan dimuatnya cerpen saya berjudul 'Elegi Untuk Sinabung' yang (tentu saja) mengangkat topik tentang bencana letusan Gunung Sinabung, bencana yang amat lekat dengan saya karena lokasi bencana berada di daerah asal saya. Pemuatannya terbilang cukup cepat, hanya selang seminggu sejak saya mengirimkannya kepada redaksi. 

Disusul kemudian oleh cerpen 'Telur Paskah Siosar' yang terbit pada momen paskah dan masih seputar bencana Sinabung. Siosar adalah tempat relokasi para pengungsi bencana yang tempat tinggal asalnya berada dalam radius 3 KM dan mereka tak mungkin kembali ke sana. Perjalanan di Siosar kemudian memunculkan ide cerita cerpen ini.

Tak lama kemudian terjadi sebuah bencana mendadak di daerah wisata Air Terjun Dua Warna di Sibolangit. Bencana ini cukup membuat saya kaget, karena beberapa bulan sebelumnya saya juga melakukan perjalanan ke sana. Sebuah ide tiba-tiba menyambit dan tanpa buang tempo langsung saya tuangkan ke dalam lembaran microsoft word. Beberapa hari kemudian, setelah diedit dan diutak-atik di sana sini, cerpen tersebut saya kirim kepada redaksi. Dan, voila!

Begitu pula dengan cerpen yang satu ini, yang saya tulis bertepatan dengan momen bulan suci ramadhan. Di karya kali ini saya mencoba menuliskan cerita tentang semangat berbagi tanpa pamrih. Cukup banyak pecerpen yang menuliskan kisah pada momen ini dan cerpen saya harus menunggu giliran untuk dimuat.

Tapi, menulis cerpen dengan mengejar momen yang relatif singkat bukan berarti cerita jadi tak berbobot atau terkesan 'melantur' karena ingin cepat dimuat. Saya selalu menulis cerita sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman saya. Bagus atau tidaknya cerpen-cerpen tersebut, tergantung pembaca karena setiap orang punya penilaian dan selera sendiri.  

Dan, tidak selamanya ide lancar mengalir meski sebuah momen besar sedang terjadi atau suatu hal sedang jadi perbincangan hangat. Ada kalanya otak mandek, ide tak kunjung muncul, hingga momen besar tersebut berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Begitulah.

Ilustrasi Ketupat Dari Langit
........
“Kenapa, sih, kita harus diam-diam, Ma?”
“Hara perlu tahu pepatah yang patut dipegang sewaktu berbuat kebaikan.” 
“Apa?”
“Kalau tangan kanan memberi, sebaiknya tangan kiri tidak perlu tahu.”
Bocah berkuncir ekor kuda itu termenung. Rasanya kalimat barusan pernah ia baca di buku pelajaran Bahasa Indonesia miliknya. Tapi ia tak ingat apa artinya dan berniat untuk membuka buku itu lagi nanti.
“Hara sudah siap? Kita lanjut?!”
“Lanjut, Maaaa...” jawabnya riang. Ia menggosok-gosok tangan, merasa bersemangat meski dadanya berdebar. Ia adalah pemeran utama di sepotong adegan penting hari ini.
.......

Seperti biasa, untuk membaca versi lengkap cerpen ini silahkan kunjungi websitenya di http://harian.analisadaily.com/cerpen-harian/news/ketupat-dari-langit/249275/2016/07/13

Keep reading, keep writing
bye 

Senin, 11 Juli 2016

Pertemuan Hujan Dan Matahari (Sumut Pos, 26 Juni 2016)

HOLA!

Sebuah kejutan manis mendapati karya saya dimuat di koran Sumut Pos meski saya terlambat mengetahuinya. Akhirnya.....semakin banyak media yang bisa saya jajaki setelah selama ini cerpen-cerpen saya (kebanyakan) terbit di harian Analisa. Semoga setelah ini saya mampu menaklukkan koran-koran nasional seperti Kompas, Jawa Pos, dkk, yang konon daya saingnya sangat tinggi dan juga sasaran banyak pecerpen.

Cerpen ini terbit versi cetaknya di koran Sumut Pos tertanggal 26 Juni 2016, dan kemudian dimuat di website langgamsp.com pada tanggal 3 Juli 2016.

....
Sunyi memagut ketika aku kembali ke perapian. Aku dan bapak adalah lelaki yang sama-sama kesepian. Tapi jelas bahwa kami merasakan sepi dengan format yang berbeda. Bapak menikmati sepi bersama kenangan yang seindah pelangi setelah perpisahan, namun bagiku kenangan akan segera berubah menjadi kelabu. Segalanya akan mengusang seiring waktu.
....

Demikian cuplikan cerpen tersebut, bila ingin membaca versi lengkapnya silahkan beli Sumut Pos atau kunjungi http://www.langgamsp.com/2016/07/03/6658/langgam-edisi-03-juli-2016/

Keep reading, keep writing
See ya

Sabtu, 11 Juni 2016

Senandung Dua Warna [Analisa Minggu, 05 Juni 2016]


Selain mendedikasikan tulisan untuk bencana yang menimpa salah satu objek wisata di Sumatera Utara yang baru-baru ini terjadi dan begitu mengejutkan, cerpen ini juga saya buat untuk mengenang perjalanan saya sendiri beberapa bulan lalu menuju Air Terjun Dua Warna. Kisah tentang perjalanan itu juga pernah saya publikasikan di blog ini.
Seperti yang selalu disebutkan di beberapa artikel bahwa cenderung penulis menuangkan sedikit ‘dirinya’ ke dalam setiap tulisan yang dihasilkan adakalanya memang benar. Dalam hal ini saya akui sendiri. Pemikiran tokoh utama ‘Mas Andri’ dalam cerpen ini sebenarnya juga adalah pemikiran saya sendiri.
Tentang ‘Senandung alam’ yang disebutkan juga sebenarnya adalah salah satu bagian dari diri saya. Seperti tokoh Mas Andri, saya pun sangat gemar mendengar bebunyian alam yang di telinga saya bisa terdengar bagai orkestra dan saya juga mengoleksi beberapa audio demikian di laptop.
Saya sendiri rasanya tidak percaya tempat yang telah saya kunjungi itu bisa menjadi demikian liar sampai memakan korban. Yah, mengarungi alam adalah sebuah bentuk keasyikan.  Keinginan untuk menaklukkan berbagai spot yang memantang masih terpatri dalam benak, namun rasanya keinginan itu harus ditunda untuk sementara mengingat cuaca belakangan ini tidak stabil dan bisa sangat ekstrim. Ditambah lagi bencana sedang marak dimana-mana. Bagi yang tetap nekat mengemasi tas dan ingin berangkat, tetap hati-hati dan utamakan keselamatan.
Untuk para korban meninggal, semoga diberi tempat terbaik. Serta untuk keluarga yang ditinggalkan, semoga tetap tabah.

Ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

.......
“Keinginan terakhirku adalah melihat si Dua Warna. Air terjun yang elok itu. Aku telah menguji diri, menekan kelemahan, serta menaklukan alam yang tidak mudah ini. Dan, ia telah membayar perjuanganku dengan memperlihatkan pesona dan kegagahannya. Meski, yah, kegagahannya itu kini menelan kita,” kudengar suaraku sendiri mencicit.
Rasa puas dan bangga yang beberapa saat lalu kutuai kini sirna sama sekali oleh kenyataan tak terduga. Baru sepuluh menit lalu aku menyerukan kekaguman atas indahnya tarian air yang meluncur lincah dari atas tebing. Tak kulawan dan kubiarkan tempiasnya membasahi tubuhku. Kusesap habis kesejukan yang tersembunyi itu, sebelum esok kembali mencemari paru-paru dengan polusi, terjebak lagi dalam kehidupan yang hingar bingar.
.......

Untuk membaca lengkapnya silahkan kunjungi harian.analisadaily.com.

Sampai jumpa di cerpen berikutnya :)

Keep reading, keep writing!