Rabu, 14 Desember 2016

Desa Yang Hilang [Waspada, 11 Desember 2016]

ilustrasi oleh Waspada
DESA YANG HILANG
Oleh Dian Nangin

Seantero desa tiba-tiba gaduh, riuh rendah seperti semut kebakaran sarang. Orang-orang tumpah ruah keluar rumah. Truk-truk pengangkut bergerak. Berlusin-lusin lelaki gagah dengan langkah berderap sigap mengerahkan tenaga.
“Ayo, ayo! Cepaaat!” Lengkingan perintah saling menimpali.
“Lewat sini!” Orang-orang saling memanggil satu sama lain, tak ingin tercerai berai dari keluarga, dari sanak saudara.
“Tasku! Mana tasku?”
Di tengah kekacauan, seorang lelaki tersuruk-suruk menggendong putri semata wayangnya menuju truk terdekat. Lehernya dipeluk erat oleh dua lengan kecil yang mengigil. Gadis kecilnya itu ketakutan setengah mati, tak mampu memahami apa yang tengah terjadi. Kunciran rambutnya bergoyang-goyang hebat.
Lelaki itu setengah melemparkan putrinya ke atas truk. “Tunggu di sini, Cike! Bapak akan kembali!”

Ia berbalik dan berlari. Anak perempuan itu meringkuk ke pojok truk, menghindari hiruk pikuk yang memekakkan telinga.
Menit demi menit berlalu penuh cekam. Mata anak perempuan itu bergerak liar, mencari-cari. Namun yang ia lihat hanya seliweran lelaki berseragam yang menggendong para lanjut usia, menggiring anak-anak, menjinjing karung dan koper, atau menuntun perempuan hamil. Lengking tangis bayi memilukan hati. Bak truk hampir penuh dijejali orang dan barang. Mobil tiba-tiba bergetar, mesinnya sudah dihidupkan.
Seiring degup jantung yang kencang, tampak sang ayah di kejauhan. “Cepat, Bapak!”
Truk hampir berjalan.
“Tunggu!” anak itu memekik nyaring. Melonjak-lonjak. Menunjuk. “Itu bapakku!”
Beberapa tangan menggedor kap depan mobil. Lelaki itu tiba terengah-engah. Dua buntalan gemuk dari sarung menggelayuti kedua bahunya. Seseorang mengulurkan tangan, membantunya naik. Pintu berdebam ketika ditutup. Truk melaju.
Jalan berbatu membuat seisi truk berguncang-guncang. Sebagian penumpang terisak bisu. Sebagian lagi menundukkan kepala dan terdiam, shock. Di luar truk, gerungan mesin berbagai kendaraan terdengar ingin saling mendahului. Gadis kecil itu mendongak. Wajahnya pasi. Sebuah bayangan hitam menakutkan perlahan tumbuh meraksasa, menyelimuti langit desa.
***
Berapa kali pun pertanyaan yang sama dilontarkan pada Cike dimana tempat yang paling indah baginya, jawaban yang ia berikan tak pernah berubah. Tempat itu tak lain tak bukan adalah kampungnya, sebuah desa di kaki gunung yang telah ada jauh sebelum kemudian didiami kelompok-kelompok kehidupan.
Jawaban itu mungkin mengingatkanmu akan tugas menggambar yang pernah diberikan guru kesenian sewaktu SD. Kebanyakan anak berangkat dari tema yang sama. Dua gunung bersebelahan, yang dari celahnya terbit matahari. Kawanan burung melintas, menghiasi langit. Lalu ada sebuah rumah dengan pekarangan yang luas, tersambung pada jalan yang membelah sawah-sawah berpadi. Tak pernah jelas dimana jalan itu berakhir. Itulah mahakarya pertama yang mungkin tak akan pernah terlupa.
Barangkali gadis kecil itu belum pernah menginjakkan kaki di ibukota, menjelajah belantara gedung-gedung, mencicipi hidup ala metropolitan. Bila diajak ke sana pun, mungkin ia takkan betah sebab ia terlanjur mencintai desanya.
Baginya, tak ada yang dapat mengalahkan kenikmatan tidur siang di bawah pokok nangka di samping pondok ladangnya. Menikmati teduh yang diciptakan rerimbunan daun yang baik hati. Bermimpi indah sambil memeluk anjing gemuk berbulu coklat nan lebat yang tak pernah keberatan didekap. Dibuai gemerisik rumpun bambu di tepi ladang.
Kenikmatan lain adalah bermain ayunan yang menggantung pada salah satu lengan pohon nangka itu, berayun dengan kencang, menantang kesiur angin sambil sesekali mengabaikan ayahnya yang cemas ia akan jatuh. Dikelilingi ladang-ladang hijau seluas mata memandang.
 “Kenapa kita nggak pulang saja, Pak?” pernah ia bertanya pada ayahnya setelah menahun terkatung di pengungsian. Betapa Cike ingin pulang.
“Desa kita sudah hilang.”
“Hilang bagaimana?”
Ayahnya hanya diam membisu.
“Kita bisa mencarinya.” Binar mata bocah itu penuh kesungguhan.
“Bapak sudah pernah mencarinya, tapi desa kita tak pernah ditemukan.”
Meski di tempat yang baru itu sejatinya juga banyak pepohonan yang dibawah teduh naungan dedaunan ia masih bisa tidur siang, namun ia tak bisa mencintainya sama besar sebagaimana ia mencintai desanya.
Dari puncak bukit tempat dimana kemudian mereka berlabuh, dipandangnya gunung yang dulu di matanya sungguh agung.
Lama matanya memandang jauh ke utara. Seakan ingin memahami hal misterius yang sedang bergolak dalam lambung gunung, sebab pucuknya tak lelah mengepulkan bergumpal-gumpal abu. Seperti kepulan asap rokok yang ditiupkan bibir-bibir mengerucut.
Angin yang bertiup di puncak bukit ini terlampau dingin meski langit nyatanya belum jatuh dalam gelap. Dinginnya hampir-hampir membekukan tulang. Cike menghela nafas panjang. Petang menyala jingga di balik bukit, mewarnai langit dan awan-awan.
Kembali ia teringat pada sore tenang yang mendadak hingar bingar ketika sang gunung ‘mengamuk’. Senja kala itu nyaris sama seperti saat ini. Letusan hebat tersintesa persis di depan matanya. Mengacaukan segalanya. Bahkan orang-orang yang baru pulang dari ladang belum sempat membasuh tubuh. Makan malam tak sempat disantap. Hewan peliharaan yang disayang harus ditinggal, sebab lebih penting untuk menyelamatkan nyawa manusia.
Sejak saat itu, di mata Cike, senja tak pernah lagi indah.
Untuk Sinabung
Medan, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar