Rabu, 14 Desember 2016

TAKDIR ANGIN [JOGLOSEMAR, 11 Desember 2016]

ilustrasi oleh Joglosemar

TAKDIR ANGIN
Oleh Dian Nangin

        Sewaktu masih kecil, aku mengira langit hanya tiga jengkal lebih tinggi dari kepala orang dewasa. Aku berpikir bisa menyentuhnya dengan memanjat pokok jambu di pekarangan belakang rumah. Kujaga keseimbangan tubuh agar bisa bertengger di cabang dahan paling tinggi. Tapi ketika kuulurkan tangan, ternyata langit masih cukup jauh dari ujung jemari yang sudah berusaha kupanjang-panjangkan. Kucari sebatang galah, barangkali dengan bantuannya, aku bisa menjangkau langit. Namun lagi-lagi bentangan mega biru itu masih belum bisa kusentuh.
            Ketika guru Bahasa Indonesia memberi tugas mengarang tentang pengalaman liburan, betapa aku ingin menulis cerita tentang kunjunganku ke langit. Aku ingin berbeda dari
teman-temanku yang kebanyakan berkisah tentang liburan ke rumah nenek atau ke berbagai tempat wisata lain yang menurutku membosankan. Namun, berhubung aku belum pernah berhasil pergi ke langit, aku tak jadi menuliskannya. Khawatir guru dan teman-teman akan menuduhku mengibul.
            Setelah berbulan-bulan memutar otak, akhirnya sebuah ide melintas di pikiran meski aku tak terlalu yakin itu cukup efektif untuk menuntaskan obsesiku akan langit. Pemikiran itu kuutarakan pada momen perkenalan di kelas baru pada tahun ajaran selanjutnya. Waktu itu Ibu wali kelas bertanya tentang cita-cita.
“Menjadi burung,” jawabku.
Seisi kelas terkikik mendengarnya. Ibu guru juga sempat tertawa sebentar, namun ia segera menahan diri. Setelah keriuhan kelas sedikit mereda, ia lanjut bertanya. “Apa ibumu suka mendongeng?”
Aku menggeleng dengan heran, sebab tak kutemukan korelasi antara dongeng yang tak pernah dikisahkan ibuku dengan cita-cita yang sekarang dipertanyakan.
“Kita telah tercipta sebagai manusia. Bersyukurlah untuk itu, sebab manusia lebih tinggi derajatnya dari burung atau hewan apapun. Cita-cita yang ibu maksudkan adalah sejenis profesi atau hal-hal yang ingin kau lakukan atau miliki di masa depan...”
Yang ingin kulakukan adalah menggapai langit. Dan, burung memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukannya, sementara manusia tidak, tambahku dalam hati. Karena aku tak kunjung menjawab, Ibu guru meninggalkan giliranku dan mengajukan pertanyaan pada murid selanjutnya. Tapi kalimatnya tersebut terngiang di telingaku berhari-hari, membuatku ragu dan akhirnya kuputuskan melupakan cita-cita menjadi burung.
Momen serupa kembali terjadi ketika aku telah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Cita-cita tak pernah luput dari daftar pertanyaan yang kerap diajukan saat perkenalan.
“Menjadi malaikat,” sahutku yakin.
Sama seperti dulu, seluruh penghuni kelas kembali tertawa. Kali ini lebih keras. Bahkan ada yang sampai mengeluarkan air mata saking gelinya.
“Kau kira Tuhan sudi menjadikanmu malaikat? Sedikitpun kau tak memenuhi kualifikasi,” sahut mereka dengan nada mencela, seolah mereka yang paling memahami isi kepala Tuhan.
“Sebab dengan menjadi malaikat aku bisa menyentuh langit,” ujarku membela diri. Dan, bukankah malaikat lebih tinggi derajatnya dari manusia dan burung?
“Menyentuh langit katamu?!”
“Anak laki-laki, kok, jadi pengkhayal?”
 “Gila,” tuduh mereka. “Anak ini tampaknya sudah gila.”  
Aku hanya angkat bahu, gestur tidak ambil pusing. Memangnya salah kalau mengidolakan langit? Aku memang tak sama dengan teman-teman lelakiku yang kebanyakan mengoleksi TTS murahan bersampul gambar perempuan-perempuan dewasa yang norak tapi seksi. Sebenarnya aku juga punya satu, namun buku tipis itu bernasib malang dengan berakhir menjadi santapan rayap sebab terabaikan di kolong tempat tidur.
            Ketika masuk ke sekolah menengah atas, aku menemukan solusi yang lebih masuk akal. Solusi agar aku bisa menggapai langit. Aku akan menjadi pilot! Pengendali burung besi, bukankah itu hebat? Dengan menjadi pilot, aku akan bebas berlalu lalang di angkasa. Namun, sebelum aku sempat mendeklarasikannya, pemikiran itu dihempas oleh kenyataan dalam sekejap. Keadaan ekonomi kami tak mengizinkanku untuk melakoninya. Bahkan tidak untuk sekedar beranjak dari kampung ini ketika tamat nanti.
Begitulah. Otakku macet, tak bisa memikirkan cara apapun lagi. Impianku kandas. Selepas dari seragam putih abu-abu, aku hanya bisa bergelut dengan jala dan perahu. Menggantungkan peruntungan pada hasil tangkapan ikan-ikan. Meneruskan profesi warisan dari ayahku yang mati tersambar petir tepat ketika aku lulus. Tak ada pekerjaan lain yang dapat kulakukan, pun tak kumiliki keahlian khusus yang bisa menghindarkanku  dari laut.
Bertahun-tahun aku menjadi nelayan demi menjaga kelangsungan hidupku berdua dengan ibu. Lama kelamaan aku jadi menyatu dengan laut, hasil tangkapanku pun lebih sering memuaskan daripada mengecewakan. Sempat terpikir olehku bahwa, jangan-jangan, sebenarnya nelayan adalah cita-citaku yang terpendam.
            Namun, suatu hari, entah sebab apa, wajah langit yang terpantul pada permukaan laut tiba-tiba membuncahkan kerinduan yang selama ini telah terkubur. Bayangan yang terpantul itu segera pudar ketika kusentuh. Sama sekali tak mampu mengobati nelangsa hati ini.
Menurutku, tak ada yang dapat mengalahkan luasnya langit. Tidak, bahkan laut sekalipun. Laut masih dibatasi oleh pantai atau tebing yang memisahkannya dengan daratan. Sedangkan langit selalu ada di atas sana kemanapun aku pergi. Seolah ia atap raksasa yang meneduhi bumi.
Dengan hati dibalur lara bercampur rindu, kutatap langit hari demi hari. Serupa rindu paling pekat untuk kekasih yang tak pernah kumiliki. Tempat favoritku adalah di tepi pantai kala tak pergi melaut. Hari ini langit cerah bersaput awan tipis melatari layang-layang aneka warna. Aku nyaris hilang dalam ruang dan waktu karena pesona langit, hingga tersadar ketika mendengar seorang anak berujar,”Ayolah angin, terbangkan layang-layangku ke langit...”
Angin?
Tiba-tiba sesuatu berdenting di kepalaku. Menjadi angin, kenapa tidak? Bukankah angin begitu leluasa pergi kemana pun mereka mau? Aku tertawa terbahak-bahak merayakan pemikiran jenius ini.
“Lihat. Lelaki itu sudah sinting. Tertawa sendiri tanpa sebab.”
“Dia memang sudah terkenal gila sejak dulu.”
Kuabaikan cibiran orang-orang yang bercokol di warung tak jauh dari tempatku berbaring. Selamanya mereka takkan pernah mengerti. Kali ini tak akan kubiarkan satu hal pun yang menghalangi niatku mewujudkan impian ini. Aku telah berusia kepala tiga sekarang. Namun kuyakini satu hal bahwa tak ada kata terlambat untuk meraih cita-cita.
            “Doakan aku, Bu,” pintaku pada ibu seusai aku mengutarakan perihal cita-cita tertunda yang sekarang ingin kukejar lagi. Ibu mengangguk dengan berurai air mata. Aku tahu pahit baginya untuk merelakanku pergi, namun tak ada yang lebih membahagiakan seorang ibu selain melihat anaknya berhasil menggapai mimpi. Bukan begitu?
Diiringi restu dan lambaian tangan keriput ibuku, kulangkahkan kaki menuju hutan tepi kampung dimana berdiam seorang dukun yang telah terlupakan. Dukun yang dulu selalu diandalkan penduduk kampung untuk berbagai hal, namun kini semua tindak-tanduknya diharamkan.
Singkat cerita, aku diterima lelaki si dukun tua di pondok reyotnya. Katanya, ia telah lama menungguku, bahkan tahu apa maksud kedatanganku tanpa perlu kuutarakan.
“Sebab tugasku adalah membuat setiap orang menjadi satu dengan takdirnya. Nah, sekarang harus belajar mengendalikan diri,” lelaki tua itu terkekeh.
            Sekian detik berlalu tanpa kusadari arti ucapannya. Tak kutahu kapan dan bagaimana lelaki tua ini beraksi, tahu-tahu aku sudah berubah wujud. Tanpa ritual, tanpa mantra. Kami hanya bercakap-cakap sebentar, perbincangan yang tak begitu berarti. Benar-benar dukun sakti.
            Aku hendak bersujud sembah di hadapannya, tapi tak tahu bagaimana melakukannya. Secepatnya aku harus beradapatasi dengan wujud baru ini. Usai merinaikan seribu satu pujian dan terima kasih, aku berhembus menuju kampung dengan diliputi bahagia, ingin menunjukkan diri pada ibuku dan membuktikan bahwa aku telah berhasil.
Tapi ternyata kebahagiaan yang kurasakan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Keberadaanku mengacaukan laju belasan layang-layang, memutuskan beberapa benangnya, menerbangkan pasir, memorak-porandakan pondok-pondok di tepi pantai. Orang-orang berlari menjauh sambil memekik ketakukan.
            Dengan sedih, kuputuskan berhembus menuju laut. Aku tak ingin menyebabkan kekacauan lebih besar lagi di daratan. Tapi ternyata sama saja. Keberadaanku di bentangan air juga menyebabkan kerusakan. Ketika aku datang, gelombang tiba-tiba bergelora. Mantan rekan-rekan sesama nelayan panik mendapati kapal mereka tiba-tiba diterjang badai. Mereka melemparkan diri ke laut setelah melengkapi diri dengan pelampung pengaman sambil mengumpat, merutuki badai yang datang tiba-tiba pada musim dimana laut seharusnya berangin tenang.
Aku benar-benar telah menggenapi namaku, takdirku. Topan. Ah, andai saja ketika lahir dulu Ibu menamaiku Sepoi....
Medan, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar