Senin, 05 Desember 2016

November di Kota Hujan [Analisa, 04 Desember 2016]

NOVEMBER DI KOTA HUJAN
Oleh Dian Nangin

Ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

Di bulan-bulan penghujung tahun seperti ini, tak ada hal lain yang lebih sering diperbincangkan selain cuaca. Mendung. Rinai air. Basah. Sarat kemurungan, ketidaknyamanan. Barangkali hanya satu dua isu panas yang dapat mengalahkan dinginnya hujan. Isu panas yang ditunggangi para provokator yang mengira bahwa mereka bisa menyetir negeri ini ke arah yang mereka inginkan.
Tapi itu bukan urusan kita, Na.
Kita punya hal lain yang lebih penting untuk dilakukan. Ada pertemuan yang perlu kita genapkan. Serta selaksa rindu yang harus kita tunaikan.

            “Mari bertemu di kota hujan, bulan November tahun depan.”
Email darimu terbuka di ponselku yang menyala. Pesan yang kau kirim padaku setahun lalu; ajakan untuk bersua. Pesan penyulut gairahku meniti hidup di pusaran hiruk pikuk negeri tirai bambu, tempatku bekerja hingga lima tahun kini sejak tamat kuliah dulu. Kutapaki hari-hari dengan semangat, demi tiba di titik waktu kita akan bertemu.
Aku dapat mengerti dengan tahun yang kau pilih, sebab kaupun tahu waktu itulah masa kontrakku akan berakhir. Tapi, aku merasa sedikit aneh dengan lokasi tempat dan bulan yang kau tetapkan. “Kenapa di kota hujan? Kenapa November?”
“Supaya kita bisa menyatu dengan musim.”
“Aku tidak paham.” Ya, aku sungguh tak mengerti. Kukira kau menyelipkan teka-teki ke dalam romantika kata-kata.  
“Seperti julukannya, bukankah kota itu tempat paling sempurna untuk menikmati hujan? Tempat terbaik untuk menghayati kehangatan di tengah dekapan dingin?”
Kendati jawabanmu semakin membingungkan, aku menurut saja. Tak sulit bagiku memenuhinya. Kota Bogor yang terkenal sejuk meski datang ke sana saat akhir tahun cuma akan disambut curah hujannya yang semakin tinggi, barangkali memang tempat yang tepat untuk kita bertemu.
            Bulan demi bulan akhirnya berlalu. Kukemas barang-barang, siap mengangkutnya bersama seluruh hidupku kembali ke Jakarta. Kulambaikan tangan pada rekan dan kolega. Berat memang mengucapkan selamat tinggal, namun ada secercah harapan kala mengingat apa yang akan kudapati kemudian. Kau.
Aku datang, Na.
Sudah dua jam lebih aku menunggumu, tepat pada waktu dan tempat yang kau tentukan. Kuteliti segelintir wajah yang terjangkau pandanganku, mungkin salah satunya adalah kau. Tak lebih dari lima wajah, sebab tidak ada yang mau mengumpankan diri pada hawa dingin yang menggigit seperti sekarang. Kebanyakan orang pasti lebih memilih menghangatkan diri di kafe, bertemankan secangkir kopi panas. Atau merebus mi instan di rumah dan menikmatinya sambil berselimut di depan televisi. Yang pasti bukan berkeliaran di tengah guyuran hujan sepertiku, demi sebuah janji yang mungkin sudah kadaluarsa.
            Datanglah, Na. Kumohon.
Tak tahukah kau betapa aku ingin menjelma pahlawan yang mengorbankan jaket, syal, topi, atau apapun demi menghindarkanmu dari hujan? Kubayangkan musim ini akan memberiku kesempatan dan alasan untuk memelukmu. Agar kau tidak menggigil kedinginan.
Nanar, kupandang pesanmu di layar ponselku. Percakapan-percakapan kita yang tak juga kulenyapkan. Rangkaian kata yang sekarang kubaca ulang setelah menguatkan hati. Rangkaian pesan yang menyadarkanku bahwa tak ada gunanya aku datang sekarang.
“Aku minta maaf karena tak bisa menepati janji sendiri. Sepertinya kita tidak akan bisa bertemu,” katamu di pertengahan Agustus, sedikit lagi menuju November.
Waktu itu aku menanggapimu dengan setengah bercanda karena teringat sebuah lagu dangdut. “Kau yang berjanji kau yang mengingkari....”
“Aku serius.”
“Kenapa?”
“Aku harus pergi ke tempat lain dan mungkin tak akan kembali lagi.”
“Kemana?”
“Ke suatu tempat yang jauh.”
“Seberapa jauh?”
“Ada jarak yang tak mungkin sanggup kau tempuh selagi kau masih hidup.”
Teka-teki lagi. Aku tak ingin membuang waktu untuk menerka-nerka jawabannya, sebab kau tampaknya begitu sungguh-sungguh.
 “Tidak! Kau harus menungguku! November sudah dekat.”
“Aku tidak yakin waktu akan mengizinkanku.”
Terlintas dalam pikiranku sebuah dugaan yang membuatku takut mengetahui kebenarannya. Dan, kuharap itu hanyalah pikiran tak berdasar yang salah. Tapi bagaimana pun aku tak ingin larut dalam dugaan yang ambigu. Aku ingin kita setidaknya bertemu muka melalui alat komunikasi yang  sudah canggih.
“Nanti kau terkejut melihatku. Bisa-bisa kau bunuh diri mendapati kenyataan bahwa aku tak secantik yang kau sangka.”
“Seperti kabar-kabar norak para remaja korban dunia maya?”
Kau akhirnya menyanggupi permintaanku; memangkas jarak dan kita berjumpa di layar sekian inci. Berusaha kusembunyikan rasa kaget yang menyergapku begitu melihat keadaanmu. Tak pernah kutahu bahwa hidupmu bergantung pada selang-selang yang mencucuk hidung dan jarum di pergelangan tangan, serta sisa waktu yang telah diperkirakan secara medis.
Rupamu sekarang amat berbeda dengan kau yang dulu kutemukan dalam media sosial, perantara yang mempertemukan kita. Tak pernah terlintas dalam bayanganku bahwa helai-helai rambut hitam panjang itu akan meninggalkan kepalamu. Matamu yang penuh daya hidup itu kini meredup.
Namun, perihal cantik atau tidak, tak penting bagiku. Sebab aku terhenyak karena mengingat kalimatmu sebelumnya bahwa kau ingin pergi jauh dan kita tak akan bertemu? Apakah kita benar-benar tidak punya kesempatan?!
“Kau terkejut, kan?”
“Maaf, selama ini aku tak tahu.”   
“Tidak perlu meminta maaf. Aku justru berterima kasih karena kau telah tulus berteman denganku. Aku tak bermaksud membebanimu dengan kenyataanku ini.”
“Apa kau benar-benar harus pergi?” tak dapat kusembunyikan betapa pilu hatiku.
“Lelaki seharusnya tegar,” balasmu.
“Lelaki juga manusia yang punya hati dan air mata,” ujarku membela diri.
“Semoga kau menemukan perempuan yang baik dan sempurna. Selamat tinggal....”
“Aku akan datang!!!” kuteriakkan janji pada koneksi yang telah terputus. Teriakan yang disambut gema sunyi.
Sebenarnya sudah kutahu kau akan ingkar, Na.
Ingkar yang di luar kehendakmu. Namun hatiku bersikeras menagihnya sekalipun itu sia-sia. Tindakan bodoh yang hanya berbuahkan luka.
Sekarang aku paham mengapa kau ingin kita bertemu di sini. Sebab tak ada tempat lain yang boleh kau datangi. Di salah satu rumah yang berada di puncak kota ini kau berdiam dan menjalani pengobatanmu. Dari sini pula awal mula komunikasi dan hubungan kita, dua hal yang menjadi alasan kuat bagiku untuk tetap datang. Barangkali masih ada tertinggal jejak, aroma tubuh, atau apapun yang mengindikasikan dirimu.
Namun, tak ada hal lain yang dapat kulakukan kecuali memandang titik-titik air yang dari untaiannya terputus-putus. Barangkali memang harus terputus dan berjarak, dengan demikian ia dinamakan hujan. Hujan yang mengantarkan hati pada sebuah melankoli, yang menguak cerita lama dan kenangan-kenangan usang beraroma muram.
            Mungkin sekarang aku dan kau juga harus menjelma hujan. Serupa titik-titik air yang harus terpisah dan siap jatuh dari rahim awan menuju bumi begitu petir memberi aba-aba. Sejenak harus saling mengucapkan selamat tinggal. Meluncur turun dan mendarat di tempat berbeda. Namun mereka senantiasa bersenyawa kembali, tanpa peduli di got, di sungai, danau, atau laut lepas sekalipun. Di sana mereka bersua. Aku pun percaya, akan ada satu muara tempat kita nanti membayar pertemuan yang tertunda.
            Andaikan hujan dapat bicara, aku ingin ia mewartakan renjana yang membelengguku. Ingin kutitipkan rindu di setiap titik airnya, mengirimnya ke tempat jauh, berharap sampai padamu. Setidaknya satu dari antara miliaran tetesnya akan menyentuh ujung payungmu. Atau memercik dan meresap ke dalam hatimu. Eh, apakah di ‘sana’ juga sedang turun hujan? Apa kau kedinginan?
            Semoga di nirwana kau menemukan kehangatan abadi, Hana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar