Minggu, 30 Desember 2018

RINDU [Cerpen Harian Analisa, Minggu 30 Desember 2018]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

RINDU
Oleh Dian Nangin

            Seorang perempuan tua, suatu siang jelang sore, asyik berkemas. Anak dan cucunya sibuk dengan kegiatan masing-masing di luar sana. Sementara seharian ini—pun ratusan hari sebelumnya, yang ia lakukan hanyalah duduk mengaso di rumah. Hampir mati ia didera bosan, pun ia tak diizinkan oleh anak-anaknya untuk melakukan pekerjaan walau sekedar kegiatan kecil. Cukup sudah tenaga masa mudanya habis terkuras karena bekerja keras, demikian selalu anak-anaknya berkata. Yang ia lakukan sekarang hanyalah bersantai, menikmati masa tua tanpa beban, tak perlu kemana-mana.
Namun, selalu ada hal-hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Seperti sore ini, ia mendapati rasa rindunya terhadap anak perempuannya yang tinggal bersama menantu dan cucu-cucunya di lain desa telah membengkak.

Jumat, 28 Desember 2018

Kaki Sewarna Tanah [Cerpen Harian Republika, Minggu 23 Desember 2018]

ilustrasi Republika

KAKI SEWARNA TANAH
Oleh Eka Dianta Br Perangin-angin

            Setelah sepuluh tahun merantau untuk kuliah dan bekerja, aku pulang hanya untuk mendapati kampungku telah menjadi tempat asing. Ia telah berubah menjelma sepotong metropolitan. Rumah-rumah reot yang dulu tampak tak lebih dari tumpukan sampah itu berubah menjadi komplek-komplek perumahan dalam waktu singkat, seolah disulap dalam satu kedipan mata. Tak kutemukan lagi pemandangan yang akrab di mata kanak-kanakku dulu: lapangan sepak bola yang selalu berlumpur kala hujan, jalan berbatu-batu, serta kawat-kawat jemuran yang saling silang di depan setiap rumah.
Dan, ketika tiba di rumah ayah, tahulah aku hanya lelaki tua itu yang kukuh mempertahankan rumahnya. Tak goyah walau ditawar dengan harga cukup lumayan. Lokasi rumah ayah berada di tepi jalan besar yang menjadi pintu masuk salah satu komplek yang megah, berhadapan dengan gapura cantik penuh ukiran.
            Sejak aku pulang, berbagai keluhan hinggap di telingaku. Tetangga-tetangga lama kami pindah entah kemana dan muncul pendatang baru yang sangat suka berceloteh. Sudah pasti, mereka benci ayah karena tak kunjung melepas rumahnya. Orang-orang menjadi senewen. Sikap toleransi telah terbang menguap. Olok-olok mereka, rumah ayah ibarat seberkas kurap di kulit yang putih mulus.

Jumat, 21 Desember 2018

Sekilas Kehidupan Penulis


Suatu kali, saya membaca kicauan seorang penulis di media sosial twitter. Ia bertanya, apa alasan utama bagi seseorang dalam menggeluti dunia menulis? Pertanyaan itu sungguh beralasan, mengingat bidang kepenulisan belakangan ini cukup berkembang. Banyak buku-buku baru bermunculan dalam waktu singkat sebab dipermudah oleh berbagai hal, salah satunya adalah  perkembangan teknologi.  
Sesungguhnya, di balik dunia menulis yang belakangan ini terlihat ‘enak’ dan ‘gampang tenar’, ada proses kreatif yang cukup melelahkan untuk dijalani (untuk menghasilkan karya berkualitas). Pertanyaan tersebut lalu menyeret hal-hal lain yang lebih besar, seperti kreativitas dan kesehatan mental. Saya berakhir di sejumlah website yang membahas tentang dunia kreativitas dan korelasinya dengan kesehatan mental orang-orang yang menggelutinya.
Penelusuran itu membuahkan fakta-fakta bahwa begitu banyak seniman dan penulis yang memiliki masalah dengan kesehatan mental mereka. Imbas dari masalah tersebut, hidup beberapa penulis tersebut berujung tragis. Akibat depresi, Ernest Hemingway menembak kepalanya sendiri. Virginia Woolf mengakhiri hidup dengan mengantongi batu lalu menenggelamkan diri di sungai. Sylvia Plath bunuh diri dengan menghirup gas karbon dioksida dari ovennya. Dan, masih banyak kasus bunuh diri lain yang dilakukan oleh para pekerja seni. 

Jumat, 14 Desember 2018

MENIKMATI PUISI


Puisi, bagi saya, adalah cara lain untuk bercerita/ menikmati cerita. Tak jauh beda dengan cerpen, puisi juga merupakan wadah untuk menuangkan buah pikiran, isi hati, sebagai cara untuk menyampaikan sesuatu. Hanya saja, bentuk wadahnya berbeda.

Memetik Makna

            Apa yang terlintas dalam kepalamu ketika mendengar kata puisi?

dok. pribadi
“Tidak semua orang bisa memahami puisi,” kata seorang teman sesama pecinta buku dalam suatu perbincangan. Saya hanya tersenyum. Kalau tidak paham, bagaimana bisa menikmatinya, kan?! Tidak heran, koleksi buku-bukunya lebih banyak novel dibanding puisi—sepertinya dia memang tidak punya buku puisi.
            Sepintas, puisi memang tampak sedikit lebih sulit untuk dipahami dibanding karya sastra lainnya seperti cerpen atau novel. Barangkali karena puisi memiliki kemungkinan multi-tafsir. Apa yang saya tangkap dari sebuah puisi bisa saja berbeda dengan yang ditangkap orang lain. Juga, apa yang bisa saya interpretasikan dari sebuah puisi hari ini bisa saja berubah esok hari. Selain itu, banyak orang juga berkata diksinya terlalu rumit. Berbelit-belit. Tapi, justru di situlah letak pesonanya.

Sabtu, 01 Desember 2018

Menunggu Hujan Reda [Cerpen Harian Waspada, Minggu, 25 November 2018]

ilustrasi oleh Harian Waspada

MENUNGGU HUJAN REDA
Oleh Dian Nangin
Air jatuh satu-satu dari bibir atap. Memuaskan dahaga bunga-bunga dalam pot yang seharian ini dibanjur terik matahari. Air juga jatuh di permukaan aspal. Di puncak kepala orang-orang di jalanan yang lantas menepi dan mencari tempat berteduh. Rinainya berubah deras ketika lelaki itu baru akan menyudahi pertemuan dengan perempuannya. Sudah hampir dua jam ia duduk berdua dengan perempuan itu pojok kafe, menyesap kopi hitam dan menikmati roti bakar. Live music jazz menambah suasana romantis.
“Ayo, pesan secangkir lagi! Barangkali ini hari keberuntunganku, bisa sedikit berlama-lama denganmu. Biasanya pekerjaan menahanmu untuk lembur, biarlah hari ini hujan yang menahanmu untukku,” perempuan itu berkata lembut sambil mengangkat tangan, kembali memanggil pelayan kafe.

Jumat, 30 November 2018

PENGALAMAN MEMBACA DAN GENRE FAVORIT


Hobi

Sejak kapan suka baca? Kalau diberi pertanyaan ini, saya teringat pada orang-orang yang  sering mengikuti ajang pencarian bakat menyanyi. Sejak kapan suka bernyanyi? Mereka mengatakan sudah bernyanyi sejak usia 2-3 tahun. Wow! Saya bayangkan di umur sebelia itu mereka bersenandung dalam bentuk ocehan merdu 🎵


Tapi, saya belum bisa membaca di usia demikian. Saya suka membaca sejak saya mengenal huruf, yakni ketika memasuki usia sekolah, sekitar 6 atau 7 tahun. Saya ingat betul saya melahap semua kisah teramat pendek di buku materi bahasa Indonesia, yang kebanyakan bertokohkan Budi, Ani, atau Nadia. Bahkan, saya menyukai soal-soal di buku matematika yang berbentuk cerita, seperti: Andi memiliki lima apel. Suatu hari ia kedatangan sepupunya, si Budi, dari kampung. Andi lalu memberi dua apel miliknya kepada Budi. Berapakah sisa apel yang dimiliki Andi? 😄
Imajinasi saya langsung bekerja membayangkan buah apel berwarna merah milik Andi. Lalu si Budi datang dari sebuah kampung (saya juga sampai membayangkan suasana kampung tersebut) dan mereka berinteraksi, berbagi apel sesuai dengan yang diceritakan. Soal cerita yang sangat sederhana, namun itulah titik mula hobi membaca mengakar dalam diri saya.
Sejak itu, mata saya tak pernah terlepas dari buku. Saya membaca di waktu senggang (tentu!), ketika makan, sewaktu sedang dalam perjalanan, yah, kapan saja ada waktu walau sebentar!

Kamis, 29 November 2018

SEBUAH KEYAKINAN [Cerpen Harian Waspada, Minggu, 28 Oktober 2018]

ilustrasi oleh Harian Waspada

SEBUAH KEYAKINAN
Oleh Dian Nangin
            Tak ada apapun yang dijanjikan Adam ketika ia meminta hatiku dan mengikatnya dengan janji sehidup semati. Aku masih bertanya-tanya dalam hati apa alasanku untuk menolak atau mengiyakan, namun tahu-tahu kepalaku mengangguk tanpa berpikir panjang. Kupikir hubungan kami dan permintaannya itu tak serius. Siapa yang akan percaya ia serius? Sebuah ide gila untuk menikah ketika ia masih pengangguran, dua tahun setelah kami melepas seragam putih abu-abu. Semasa sekolah pun ia tak begitu becus, terkenal tak bisa diandalkan dalam bidang akademik. Ketika aku meragukannya, ia dengan yakin berkata cukup mempercayakan masa depan pada waktu.
            Setelah menikah, ia mengutarakan ide gilanya yang lain. “Ayo pindah ke desa. Aku akan bertani. Tak ada gunanya bertahan di kota yang pengap ini.”

THE UGLY DUCKLING


Kisah Si Bebek Buruk Rupa oleh Hans Christian Andersen
Saya sudah sering mendengar kisah tentang si bebek buruk rupa ini, namun, ya, sekedar tau saja 😅. Ketika iseng menelusuri cerita ini di google, saya menemukan banyak kisah serupa dengan berbagai versi. Namun, kisah lengkapnya baru benar-benar saya nikmati setelah membaca  The Fairy Tales of Hans Christian Andersen yang diceritakan ulang oleh Mandy Archer.
Sekilas info, H. C. Andersen (1805-1875)  adalah seorang sastrawan berkebangsaan Denmark dan karya-karyanya sudah banyak mendunia. Salah satu yang paling terkenal selain The Ugly Duckling adalah The Little Mermaid. Saya sudah lebih dulu mengetahui dongeng si Putri Duyung, yang juga banyak dikisahkan ulang dengan beragam versi, namun kali ini saya ingin mengulas Si Bebek Buruk Rupa. 
Cerita dimulai ketika seekor induk bebek sedang mengerami telur-telurnya. Ia menunggu penuh kesabaran selama berminggu-minggu sampai telur-telur itu menetaskan enam anak bebek berwarna kuning cemerlang, imut, ‘berkwek-kwek’ menggemaskan, memiliki kaki mungil merah muda, yah…pokoknya mengagumkan. 
Kelahiran si anak bebek tidak berhenti sampai di situ. Ada sebutir telur lagi yang berukuran agak besar, yang tidak menetas bersamaan dengan telur lainnya. Si induk memilih untuk mengeraminya sebentar lagi, mengacuhkan pendapat bebek lain yang mengatakan bahwa lebih baik ia membawa anak-anaknya berenang daripada mengerami telur terakhir itu.

Sabtu, 10 November 2018

EUFORIA BIG BAD WOLF MEDAN 2018

 For your information, BBW adalah bazaar buku internasional yang diselenggarakan oleh BookXcess, sebuah toko buku kecil yang didirikan oleh pasangan suami istri asal Malaysia, Andrew Yap dan Jacqueline Ng. Toko buku itu menjual buku-buku dengan harga super murah. Semuanya berawal dari semangat yang mereka pegang bahwa buku itu untuk semua orang. Untuk itu harga buku yang dijual harus terjangkau. (Sumber https://www.kompasiana.com/gatot_tri/5bb3663012ae945b251a1423/mengulas-gramedia-boom-sale-dan-big-bad-wolf-surabaya-2018-dua-pesta-buku-besar-yang-hadir-serempak?page=all )

auuuuufff
Hurray.....!!🎈🎈🎈

Akhirnya, penantian panjang para booklover Medan berakhir. BBW telah diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 2016 di dua kota saja, yaitu Jakarta serta Surabaya dan.....di tahun 2018 tiba giliran kota Medan tercinta dikunjungi si Big Bad Wolf. Saya bisa membayangkan semua pecinta buku menari-nari bahagia, sama seperti saya 💃

Senin, 05 November 2018

Rahasia Separuh Abad [Cerpen Harian Analisa, Minggu, 04 November 2018]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

RAHASIA SEPARUH ABAD
Oleh Dian Nangin
            Entah kenapa beberapa tahun belakangan ini wajah ayahku sering tampak seperti sedang menanggung sebuah beban berat. Seakan batu besar tengah menindih hatinya, membuatnya mudah lelah, padahal kami sudah tak membebankan padanya pekerjaan sekecil apapun. Barangkali sebuah balas jasa terbaik—walau mungkin tak akan pernah setimpal—yang dapat diberikan anak kepada orang tua adalah mengambil alih semua  pekerjaan dan tanggung jawab, lalu membiarkan mereka menikmati usia senja dengan tenang.
Aku dan saudara-saudaraku telah melakukan segala yang terbaik yang terpikir oleh kami. Seharusnya ayah bahagia melihat semua anak dan cucunya hidup rukun tanpa pernah menjadikan persoalan apapun menjadi besar. Aku sering bertanya-tanya dalam hati, apalagi yang kurang? Namun, wajah tua ayahku semakin lebih sering suram kendati ia suka tertawa untuk menipu kami.
Hingga suatu hari ia menceritakan padaku kisah ini.

Sabtu, 03 November 2018

MAWAR UNTUK ROSSIE [Cerpen Flores Sastra, 01 November 2018]

sumber: floressastra.com

MAWAR UNTUK ROSSIE
Oleh Dian Nangin
Alex mundur lagi ketika tidak melihat adanya celah untuk menyeberang. Jalanan sedang ramai dan padat. Berjubel kendaraan memadati jalan raya. Bunyi klakson sahut menyahut. Bising, mempertebal rasa kesal pemuda itu. Baru dua hari bekerja di kota ini dan ia sudah ingin menyerah. Tak habis pikir ia dengan ayahnya, betapa tega menempatkan Alex di kantor cabang. Kata sang ayah, beliau tidak ingin membeda-bedakan karyawannya dan Alex harus mengumpulkan pengalaman dulu setidaknya satu tahun. 
Tapi, pemuda itu berpendapat lain. Ia merasa sudah sepatutnya diperlakukan istimewa selaku putra seorang pemilik bisnis properti tersohor di ibukota, walau memang benar ia masih lulusan kemarin sore. Sang ayah tak peduli. Alex dikirim ke salah satu kota di pulau Sumatera. Kota yang panas dan hingar bingar. Alex tak suka pada kota ini dan ia kesal pada ayahnya.
Sepuluh menit Alex menunggu dan ia masih belum mendapat kesempatan untuk menyeberang jalan raya. Sebenarnya, lampu lalu lintas masih gagah berdiri dan jembatan penyeberangan masih melintang di atas jalan raya. Sayang, kedua fasilitas itu tidak berfungsi lagi. Ketiga warna lampu lalu lintas tak pernah lagi menyala, sementara kondisi jembatan penyeberang  itu tidak memungkinkan lagi untuk digunakan. Lantainya tampak berlubang di beberapa bagian. Takkan ada seorang pun yang mau ambil resiko melintasinya. Bisa-bisa penyeberang jeblos ke bawah, jatuh ke jalanan, lalu terlindas kendaraan.
Pemuda itu kembali mengambil ancang-ancang. Tiba-tiba sebuah tangan mencekal lengannya. Alex menoleh kaget.....

Untuk membaca lebih lanjut, silakan kunjungi link berikut  http://floressastra.com/2018/11/01/mawar-untuk-rossie-cerpen-dian-nangin/

Minggu, 07 Oktober 2018

PAGI TAK PERNAH KEMBALI [Cerpen Cendana News, Sabtu, 06 Oktober 2018]


PAGI TAK PERNAH KEMBALI
Oleh Dian Nangin
            Seharusnya, sejak tadi pagi ia telah mampu membaca situasi Mbah Kakungnya dan menolak usul pergi memanen ikan ke kolam kecil mereka di balik bukit. Selain terlalu melelahkan untuk lelaki tua seperti Mbahnya, ikan-ikan di sana mungkin sudah tak terlalu banyak.
Tapi, bocah sepuluh tahun itu tak punya pilihan. Ketela pohon yang ditanam di pekarangan yang tanahnya berbatu-batu belum berbuah. Beberapa ekor bebek yang mereka pelihara tampak enggan bertelur beberapa waktu belakangan ini. Mungkin karena perut mereka jarang terisi kenyang, seperti pemiliknya. Satu-satunya sumber penghasilan lain adalah kolam ikan yang sudah berbulan-bulan tidak dijenguk itu.
            Setelah berjalan kaki empat jam pulang pergi ke balik sebuah bukit di utara desa....

Silakan baca kelanjutan cerpen ini di website Cendana News https://www.cendananews.com/2018/10/pagi-tak-pernah-kembali.html

Selasa, 11 September 2018

ONE FINE DAY

Live one fine day at a time!

Do not let your worries and fears stop you from living your precious live.
May your heart continue to smile.
May your day be filled with love, inspirations, and blessings 😍
(NN)
teduh, nggak pakai payung ☂
Pernah ada satu hari ketika kau merasa sangat lelah dengan hidup? Pasti pernah. Saya? Sering! 😅 Salah satu obat paling manjur untuk menyembuhkan penat dalam tubuh dan pikiran, bagi saya, adalah kembali ke alam. Lahir dan besar di desa, membuat saya terbiasa menghirup udara dingin nan sejuk, menemukan barisan pegunungan ketika pagi hari membuka pintu, dan mendengar cericit burung serta derik jangkrik setiap waktu. So, walau kaki sudah menginjak dan menetap di kota metropolitan nan polutan, kecintaan terhadap alam tak lantas pudar.

Rabu, 22 Agustus 2018

Tak Sesingkat Cerita Pendek [Cerpen Harian Waspada, Minggu 19 Agustus 2018]

Ilustrasi Oleh Harian Waspada

TAK SESINGKAT CERITA PENDEK
Oleh Dian Nangin
Kucoba mengingat-ingat mimpi apa yang singgah kemarin malam dalam tidurku.  Namun, tak kutemukan relasinya dengan keberadaanku saat ini: menyusuri sebuah gang kecil di pinggir kota yang dulu begitu cantik dengan kebun bunga di setiap rumah. Tak ketinggalan pohon rambutan yang selalu dikerumuni anak kecil. Tapi semua berubah sekarang: jalan sudah melebar, kebun-kebun menyempit dan terabaikan, pepohonan meranggas. Sepeda motor menderu saling mendahului, membuat debu beterbangan.
Semakin keras aku berpikir, semakin aku tersesat dalam labirin dalam kepalaku. Kuputuskan untuk berhenti berpikir, cukup menganggap ada tangan-tangan intuisi yang membimbingku pada sesuatu yang belum kupahami. Kakiku terus mengayun,  mungkin akan kutemukan sebuah alasan yang masuk akal di depan sana.

Minggu, 12 Agustus 2018

BARLIN DAN ANJING-ANJING [Cerpen Analisa Minggu, 12 Agustus 2018]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

BARLIN DAN ANJING-ANJING
Oleh Dian Nangin 
Di sebelah utara desaku terdapat sebuah balai yang cukup luas dan sering digunakan untuk beragam keperluan. Tak terhitung sudah berapa kali di sana berlangsung perhelatan pernikahan, rupa-rupa hajatan, pesta-pesta adat, pun sekali sebulan disulap menjadi pasar tradisional yang ramai dikunjungi bahkan oleh penduduk kampung sebelah.
Di belakang balai itu ada sebuah dapur besar tempat pemilik pesta menyiapkan konsumsi. Di sanalah ayam-ayam disembelih, kerbau dijagal dan babi-babi dibantai, lalu diolah menjadi hidangan untuk menjamu tamu dan handai taulan.

Minggu, 15 Juli 2018

BAJU SERAGAM (Cerpen Remaja Analisa, Minggu 15 Juli 2018)

ilustrasi Analisa

BAJU SERAGAM
Oleh Dian Nangin
Anggun sangat bersemangat memenuhi kantong belanjanya dengan pylox aneka warna. Di samping mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian, temanku sejak SMP itu juga membuat persiapan maksimal untuk acara perpisahan—terutama untuk acara corat-coret baju seragam seusai ujian. Ia sudah menabung selama dua bulan untuk membeli beberapa botol cat semprot itu.
“Kamu pengen warna apa aja, Sarah?” ia bertanya. “Aku yang beliin, deh...”
Aku mengangkat bahu. “Terserah. Lagian aku kayaknya nggak bakal ikut. Sayang bajunya. Mending disumbangin!”
“Ayolah, Sarah! Waktu SMP juga kamu nggak ikut acara corat-coret seragam. Alasannya juga sama. Ini terakhir kali kita pakai seragam, lho! Lagipula seragam kamu itu udah butut, kalaupun disumbangin, siapa yang mau menerima, coba?”

Selasa, 26 Juni 2018

Tak Ada Jalan Pulang [Cerpen Waspada, Minggu 24 Juni 2018]

ilustrasi oleh Harian Waspada
TAK ADA JALAN PULANG
Oleh Dian Nangin 
            Angin laut yang masuk lewat jendela meniup wajahku. Aromanya yang asin menyelinap di helai-helai rambut. Kendaraan yang kutumpangi melaju menusuk jantung kampung nelayan tempatku berasal. Dua puluh tahun lebih aku telah pergi. Waktu itu aku masih berumur tujuh belas, bermodal nekat dan tekad untuk mematahkan asumsi penduduk kampung yang pesimis bahwa kami, orang-orang pesisir yang miskin ini, mustahil menaklukkan kota.
Hari ini aku datang hanya untuk memastikan keadaan seseorang. Satu-satunya sosok berharga yang kumiliki. Walau tumpukan rindu ini sungguh menuntut pertemuan, namun aku tak ingin bersua karena yakin aku tak akan mampu menatap matanya, tak akan sanggup menjawab berondongan pertanyaannya. Ia juga pasti akan melakukan berbagai upaya untuk mencegahku pergi lagi, sementara aku harus minggat secepat dan sejauh mungkin.