Selasa, 26 Juni 2018

Tak Ada Jalan Pulang [Cerpen Waspada, Minggu 24 Juni 2018]

ilustrasi oleh Harian Waspada
TAK ADA JALAN PULANG
Oleh Dian Nangin 
            Angin laut yang masuk lewat jendela meniup wajahku. Aromanya yang asin menyelinap di helai-helai rambut. Kendaraan yang kutumpangi melaju menusuk jantung kampung nelayan tempatku berasal. Dua puluh tahun lebih aku telah pergi. Waktu itu aku masih berumur tujuh belas, bermodal nekat dan tekad untuk mematahkan asumsi penduduk kampung yang pesimis bahwa kami, orang-orang pesisir yang miskin ini, mustahil menaklukkan kota.
Hari ini aku datang hanya untuk memastikan keadaan seseorang. Satu-satunya sosok berharga yang kumiliki. Walau tumpukan rindu ini sungguh menuntut pertemuan, namun aku tak ingin bersua karena yakin aku tak akan mampu menatap matanya, tak akan sanggup menjawab berondongan pertanyaannya. Ia juga pasti akan melakukan berbagai upaya untuk mencegahku pergi lagi, sementara aku harus minggat secepat dan sejauh mungkin.
Di tepi pantai yang cukup ramai, aku berhenti. Beruntung, sejauh ini tak ada yang mengenalku. Dua puluh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk sejumlah perubahan. Aku bukan lagi gadis tanggung yang dulu hobi menguncir rambut dan terbiasa memakai sarung ke sana kemari. Garis wajahku telah berubah ditempa waktu dan kerasnya kehidupan di tanah rantau. Aku menyempurnakan penyamaran dengan topi lebar dan kacamata hitam, tak ubahnya turis yang tengah berkunjung. Dengan tetap waspada, aku berbaur dengan aktivitas pantai.
            Di sebuah pondok sewaan beratapkan daun nipah, aku melepas lelah sambil meneliti kesibukan di sekitarku. Kampungku yang dulu pesimis kini sudah lebih semangat dan bergairah. Semakin optimis karena keterbatasan dan kekunoan yang dulu mengungkung kini telah ditebas oleh pembangunan. Orang-orang kampung tak perlu belingsatan dan berebut mencari jalan menuju kemodernan yang selalu identik dengan kota yang entah berada di balik gunung mana.
Jalan kampung tak lagi rusak. Barang elektronik paling canggih ikut menyerbu masuk. Pemerintah menyulap kampung nelayan terpencil ini jadi objek wisata yang ramai dikunjungi, dilengkapi pula dengan fasilitas memadai. Wahana-wahana modern dan sedang tren yang dulu hanya kutemui di kota-kota kini menyempurnakan predikat kampung kami sebagai kampung wisata. Sentuhan kekinian tampak di segenap penjuru.
“Ah, andaikan dulu aku lebih bersabar menunggu perubahan terjadi. Andai aku tak begitu serakah akan pencarian dan pencapaian yang tidak jelas ujung pangkalnya....” sesalku.
Dua puluh tahun lalu aku pergi mengadu nasib ke ibukota. Melakukan pekerjaan apa saja agar dapat bertahan. Beberapa tahun berlalu tanpa ada perubahan berarti, sebab, seperti yang kukatakan aku nekat hijrah hanya bermodal nekat dan tekad. Tak kutahu bahwa kota  menuntut lebih dari itu. Dibutuhkan pendidikan dan kreativitas agar kehidupan tak terjengkang. Atau, sebaliknya, memelihara kelicikan dan kepicikan dicampur daya juang hidup agar tak cepat mati. Namun, aku tak memiliki semuanya; pendidikan atau kreativitas, pun aku tak tahu bagaimana caranya menjadi licik atau picik.
Lagi-lagi, bermodalkan nekat itu, aku menerima tawaran bekerja di negeri seberang walau lewat prosedur ilegal. Aku paham ada konsekuensi yang menunggu, namun dengan berani (atau bodoh), aku memilih menerobosnya. Aku belajar beradaptasi, belajar mengisi kepala dengan pengetahuan, belajar mendidik diri agar bekerja dengan tekun.
Tiba-tiba mataku terhenti pada sekumpulan perempuan yang tengah khusyuk merajut jala. Di antara mereka aku melihat...ibuku! Aku tergugu. Dua dekade tak bertemu, ia sudah semakin tua. Ingin aku berlari dan memeluknya, bersimpuh di kakinya. Namun, semua itu tak kulakukan karena hanya akan membuat keadaan jadi kacau. Aku sangat lega melihatnya hidup dengan baik. Tangannya bahkan masih terampil merajut, tak kalah cekatan dengan perempuan-perempuan yang lebih muda darinya. Sesekali kumpulan itu terbahak, entah hal lucu apa yang mereka bicarakan. Tak ketinggalan ibuku. Tubuhnya terguncang-guncang ketika tertawa, sudut matanya ikut berkerut, dan ia tampak bahagia. Berbanding terbalik denganku yang begitu kesepian di tengah keramaian ini.
Kutarik nafas panjang. Perhatianku beralih pada beberapa anak yang berlari-lari di tepi pantai, mencoba menerbangkan layang-layang. Aneka kertas yang dikendalikan dengan benang itu menari dengan angin, berlatar langit cerah, berhias ekor yang menjuntai berwarna-warni. Pergerakan mereka tunduk pada kendali tangan-tangan pemiliknya.
            “Maafkan, aku, Bu, telah memilih menjadi layang-layang putus.”
            Begitulah keadaanku sekarang, kurang lebih. Sepeninggal hari-hari yang telah berlalu, aku kini melayang pasrah tanpa tujuan. Entah akan mendarat dimana, pun entah keadaan seperti apa yang akan menimpaku: dikoyak ranting pepohonan, terdampar di atap rumah, jatuh ke sungai, apapun. Aku berharap tak pernah ditemukan lagi.
Hidup dan matiku telah ditentukan oleh undang-undang racikan manusia. Benar, aku telah melakukan kesalahan fatal. Dosa yang tak termaafkan, tak peduli seberapa dalam aku meminta ampun. Perlawanan atau permohonan maaf tak ada gunanya bagiku. Melarikan diri atau tidak, aku akan tetap diganjar hukuman berat. Namun, dengan melarikan diri aku jadi punya waktu untuk menengok ibuku barang sebentar—kesempatan yang mungkin tak akan kudapatkan. Kupandang ibuku dengan mata berkabut, sementara benakku membayangkan kekacauan yang tengah terjadi di sebuah rumah di seberang lautan sana.
Kampungku yang tersembunyi dan tak tampak di mata dunia, kini telah terbuka. Kehidupan tak sesulit dulu lagi. Tapi aku justru tak menemukan arah pulang. Aku tak punya jalan untuk kembali, sebab aku bukanlah orang yang sama lagi. Aku sudah terlalu jauh tersesat.
Tiba-tiba telingaku menegak. Jantungku berdegup. Sebuah radio milik kios kelontong tak tauh dari pondok tempatku berteduh terdengar menyiarkan berita tentang seorang TKW yang melarikan diri usai membunuh majikannya. Usaha pencarian sedang dilakukan dan masyarakat diminta untuk turut membantu. Aku bangkit, kunjungan kilat ini sudah harus berakhir. Aku tak ingin tertangkap di sini.
Kupandang perempuan tua itu sekali lagi. “Selamat tinggal, Bu.”
Medan, 2017-2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar