Minggu, 15 Juli 2018

BAJU SERAGAM (Cerpen Remaja Analisa, Minggu 15 Juli 2018)

ilustrasi Analisa

BAJU SERAGAM
Oleh Dian Nangin
Anggun sangat bersemangat memenuhi kantong belanjanya dengan pylox aneka warna. Di samping mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian, temanku sejak SMP itu juga membuat persiapan maksimal untuk acara perpisahan—terutama untuk acara corat-coret baju seragam seusai ujian. Ia sudah menabung selama dua bulan untuk membeli beberapa botol cat semprot itu.
“Kamu pengen warna apa aja, Sarah?” ia bertanya. “Aku yang beliin, deh...”
Aku mengangkat bahu. “Terserah. Lagian aku kayaknya nggak bakal ikut. Sayang bajunya. Mending disumbangin!”
“Ayolah, Sarah! Waktu SMP juga kamu nggak ikut acara corat-coret seragam. Alasannya juga sama. Ini terakhir kali kita pakai seragam, lho! Lagipula seragam kamu itu udah butut, kalaupun disumbangin, siapa yang mau menerima, coba?”
Anggun memberondongiku dengan kalimatnya yang tanpa jeda. Dia memang ada benarnya. Sewaktu SMP, aku juga menghindar sewaktu semua teman-teman kelas tiga yang baru selesai ujian langsung saling semprot pylox. Aku satu-satunya yang berhasil pulang masih dengan kemeja yang putih bersih dan rok biru yang tak ternoda setitik pun. Seragam itu lalu kusumbangkan pada seorang anak perempuan di gang sebelah yang melanjut ke SMP namun tak punya uang untuk beli seragam. Aku ingat kami sama-sama bahagia waktu itu: ia bahagia karena akhirnya berhasil mendapatkan seragam dengan cuma-cuma dan aku bahagia karena dapat membantu orang lain yang memerlukan.
Satu sisi hatiku bimbang. Seperti kata Anggun, ini adalah terakhir kalinya seragam sekolah melekat di tubuhku. Pasti ada sensasi yang berbeda ketika pylox aneka warna cantik itu menyembur di pakaianku. Tapi sisi hatiku yang lain merasa sayang kalau baju yang sebenarnya masih layak pakai ini terbuang sia-sia. Pasti ada seseorang di luar sana yang masih membutuhkannya.
***
            Hari-hari salah satu penentu masa depan itu kulalui dengan gugup. Dan, fiuh! Kami semua menarik nafas lega ketika ujian berakhir. Sebelum pulang, semua anak kelas tiga dikumpulkan di lapangan karena ada beberapa hal yang ingin disampaikan kepala sekolah. Beberapa anak terlihat tidak sabar ketika Pak Rahmad, kepala sekolah kami, memberitahu jadwal-jadwal penting seperti pembagian rapor, tanggal kelulusan, dan sebagainya.
            “Aduh, Pak Rahmad cuma buang-buang waktu, deh! Sekarang udah jaman modern. Semua jadwal itu, kan, bisa dikasih tahu lewat WA,” gerutu Anggun di sebelahku. Ia adalah satu di antara mereka yang terlihat grasak-grusuk karena tak sabar ingin segera merayakan ujian yang telah usai.
            Tapi aku tak mempedulikan kekesalannya. Perhatianku tertuju pada hal lain. Melalui ekor mata aku melirik seseorang cowok yang berjarak tiga meter di sisi kiriku. Yudha, siswa kelas sebelah yang baru kukenal ketika masuk kelas dua. Itupun tak sengaja karena kami memilih bidang ekstrakurikuler yang sama. Padahal sejak kelas satu aku sudah diam-diam memperhatikannya.
             Pikiranku melayang. Entah kapan kami akan berjumpa lagi setelah nanti berpisah di gerbang sekolah. Entah cita-cita apa yang ingin diraihnya. Hubungan kami biasa-biasa meski ia pernah mengatakan bahwa aku salah satu teman terbaiknya. Kurasa ia berkata begitu karena tempo hari aku bersedia meminjamkannya koleksi novel miliku sebagai referensinya menulis fiksi. Teman terbaik. Aku tak ingin merusak predikat itu. Biarlah aku tetap memperhatikan dan mengaguminya diam-diam.
Aku gugup ketika membalas senyum Yudha ketika memergokiku telah mencuri pandang padanya. Buru-buru aku menolehkan kepala.
            Pengarahan ditutup setelah Pak Rahmad memberitahu bahwa ia mengizinkan acara corat-coret seragam sekolah selama dilakukan dengan kondusif dan di dalam lingkungan sekolah, tanpa melakukan pawai keliling kota dengan sepeda motor dan menciptakan keributan. Spontan seluruh siswa mengiyakan. Begitu barisan dibubarkan, situasi langsung riuh karena beberapa siswa ternyata telah siap dengan pylox di tangan.
            Seperti ketika SMP dulu, aku kembali menghindar. Kakiku berlari menjauh ketika beberapa teman yang usil membidikku dengan botol cat semprot di tangan.
            Mataku tak berkedip ketika menangkap sekelebat wajah Yudha di kerumunan itu. Ingin rasanya aku berbaur, barangkali aku bisa mendapatkan torehan namanya di bajuku.
            “Ayo, Sarah! Jangan diam saja di situ!” Anggun berteriak memanggilku. Dapat kurasakan kegembiraan menyelimutinya.
Melihatku tak bergeming di dekat gerbang, ia mengajak beberapa teman untuk menjemputku paksa. Aku melepaskan diri dari genggaman tangan Anggun dan berlari ke toilet. Aku sudah tak dapat menahan diri dan memilih untuk menjalankan rencana alternatif.
            Dua tangan usil spontan menyemprotkan cat begitu aku keluar toilet setelah mengganti seragam putihku dengan sebuah kaus lengan panjang yang juga berwarna putih. Aku menjerit kaget, lantas berlari kencang menuju kerumunan sambil tertawa-tawa. Anggun menjejalkan sebuah pylox ke tanganku sambil mengedipkan mata.
            Ribuan butir warna membaur di udara. Pekikan-pekikan senang terdengar di sana sini. Guru-guru hanya tersenyum ketika menonton dari tepi lapangan. Beberapa malah menyoraki kami dan bertepuk tangan. Sesuai pesan kepala sekolah, kami hanya melakukan aksi di dalam lingkungan sekolah dan lalu pulang tanpa menciptakan keributan di luar.
            Kaus putihku tampak tak karuan. Entah warna apa saja yang sudah menimpanya. Seperti dugaku, ada sensasi yang berbeda ketika merasakan semprotan cat itu. Diam-diam aku bersyukur karena tak melewatkan acara yang telah menjadi tradisi tahunan ini, meski akhirnya aku merelakan pakaianku yang lain menjadi korban perayaan ini. Aku juga bersyukur karena masih bisa menyumbangkan baju seragam yang telah kuselamatkan.
Kakiku melangkah ringan menuju rumah. Hatiku bahagia karena masa SMA telah usai, sekaligus cemas menunggu pengumuman kelulusan dan rencana masa depanku. Namun hal lain yang membuat hatiku menghangat adalah ingatan akan wajah Yudha ketika ia membubuhkan nama dan sebaris pesan manis pembangkit semangat di pundak bajuku. Masih dapat kurasakan hembusan nafasnya ketika mengukir kata demi kata dengan serius.
Kutolehkan kepala, berusaha membaca sesuatu yang tertera di bahuku.
Good luck, Sarah. See you!
Medan, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar