Minggu, 12 Agustus 2018

BARLIN DAN ANJING-ANJING [Cerpen Analisa Minggu, 12 Agustus 2018]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

BARLIN DAN ANJING-ANJING
Oleh Dian Nangin 
Di sebelah utara desaku terdapat sebuah balai yang cukup luas dan sering digunakan untuk beragam keperluan. Tak terhitung sudah berapa kali di sana berlangsung perhelatan pernikahan, rupa-rupa hajatan, pesta-pesta adat, pun sekali sebulan disulap menjadi pasar tradisional yang ramai dikunjungi bahkan oleh penduduk kampung sebelah.
Di belakang balai itu ada sebuah dapur besar tempat pemilik pesta menyiapkan konsumsi. Di sanalah ayam-ayam disembelih, kerbau dijagal dan babi-babi dibantai, lalu diolah menjadi hidangan untuk menjamu tamu dan handai taulan.
Sudah menjadi kebiasaan di kampung kami bahwa keluarga pemilik pesta memasak sendiri bagi tamu-tamunya.
Siapapun yang pernah datang ke balai desa kami, pasti tahu tentang tujuh anjing tak bertuan yang entah sejak kapan telah bercokol di sana. Aku yang sejak sepuluh tahun silam telah meneruskan usaha kedai kopi warisan bapak di sisi kanan balai desa tidak terlalu menaruh perhatian, jadi tak tahu kapan persisnya mereka mulai ada di sana.
Sekumpulan hewan berkaki empat itu layaknya anjing kampung biasa yang buang hajat sesukanya, mengucurkan kencing sekehendak hati, atau kawin mengawini tak pandang tempat. Menggantungkan hidup pada peruntungan dari isi tong sampah sebab tak ada satupun penduduk kampung yang mau mengambilnya untuk dipelihara. Jadi, bila kau berkunjung ke desaku, jangan harap menemukan orang yang keluar jalan-jalan sore bersama anjing-anjing mereka yang terawat dan lucu seperti adegan film orang barat itu. Penduduk desa pulang dari ladang setelah petang. Anjing-anjing itu punya kehidupan sendiri. Semesta yang memelihara mereka.
Sebenarnya, tiap kali ada pesta, tukang masak di dapur balai desa sesekali melemparkan daging atau bagian-bagian tubuh hewan yang tak ikut dimasak pada anjing-anjing itu. Tentu saja langsung mereka gasak. Namun, anehnya, walau ada berember-ember daging potong siap masak yang ditempatkan di dapur, kawanan itu tak pernah menyentuhnya sekalipun. Hanya menatap tanpa pernah mencelupkan moncong-moncong mereka yang berliur ke dalamnya, seolah tabiat mereka yang dikenal rakus dan serakah telah lenyap entah kemana.
            Begitulah. Pesta demi pesta digelar. Anjing-anjing tersebut berlaku bak petugas keamanan paling setia dan tak pernah berbuat macam-macam. Pun tak pernah mencuri daging dan hanya memakan apa yang dilemparkan pada mereka. Mengherankan memang, namun itu adalah misteri yang tak dapat diurai secara ilmiah atau secara mistis.
            Nah, kejadian aneh lainnya terjadi ketika Barlin pulang kampung dengan gelar sarjana telah tersemat di belakang namanya. Ia adalah tetangga sekaligus teman dekatku. Kami berpisah usai menamatkan SMA karena ia memutuskan melanjutkan pendidikan ke ibukota yang harus ditempuh berjam-jam lamanya dari desa kami.
            Yang aneh adalah, dari sekian ratus penduduk kampung—ditambah puluhan penduduk kampung sebelah yang sering berkunjung, hanya Barlin seorang yang digonggongi anjing-anjing penghuni belakang balai desa itu. Padahal ia juga bagian dari warga yang lahir dan besar di kampung ini, bukan orang asing. Tak ada yang berbeda darinya, kecuali mungkin pakaian dinasnya yang saban pagi selalu rapi, pun berbau harum.
Barangkali boleh disebut keberuntungan, atau memang sudah takdirnya bernasib baik, ia menjadi orang pertama dari kampung kami yang berhasil menjadi wakil rakyat di usia yang relatif muda. Sebuah pekerjaan yang mulia nan bergengsi, berbeda dengan kebanyakan penduduk kampung yang berprofesi sebagai peternak atau petani yang akrab dengan bau pupuk atau tai sapi.
Sejak mendapat perlakuan tak menyenangkan dari kawanan anjing itu, Barlin selalu menjaga gerak-geriknya. Langkahnya waspada ketika  keluar masuk rumahnya yang terpaut hanya beberapa meter di belakang balai desa. Ia tak ingin terlihat oleh anjing-anjing kampung itu. Bila keberadaannya terdeteksi oleh mereka, moncong-moncong penuh kemarahan akan terulur-ulur, menyalak sahut menyahut, gigi-gigi tajam menyeringai, seakan siap menerkam Barlin seolah setiap pergerakan lelaki itu mengesalkan hati mereka.
            Tak jarang Barlin menerobos kedaiku untuk menghindari anjing-anjing itu dan keluar dari pintu belakang. Dari sana ia mengendap-endap, menyusup masuk rumahnya sendiri. Betapa aku iba bercampur geli melihatnya. Barlin benar-benar terintimidasi oleh hewan-hewan yang sesungguhnya memiliki derajat yang jauh di bawah manusia itu.
            “Menurutmu, mengapa anjing-anjing itu memperlakukanku berbeda dengan orang lain?” tanya Barlin suatu hari ketika ia duduk bersamaku di bagian dapur kedai paling dalam. Bahkan, untuk sekedar minum kopi dan bersantai sejenak, ia tak dapat berbaur dengan pengunjung lain di meja-meja depan.
            “Barangkali dulu, pada masa lalumu, kau pernah berperilaku buruk terhadap seekor anjing,” kataku berpendapat.
            Ia tercenung sesaat. ”Seingatku tidak pernah. Kalaupun ya, bagaimana itu bisa terhubung dengan mereka?”
            “Mungkin pada suatu masa kehidupan, anjing-anjing itu telah bertemu dan bertukar informasi, bahwa kau orang yang patut diwaspadai,” sahutku asal.
            “Omong kosong!” Wajah Barlin masam. Aku tertawa kecil. Tak kutemukan alasan yang tepat, tak peduli seberapa lama dan sejauh apapun aku mencari tahu penjelasan atas tingkah ganjil tujuh anjing itu terhadap Barlin.
Kadang ada kalanya kawanan hewan tersebut tetap menyalak ke arah rumah Barlin sekalipun sahabatku itu tidak keluar dari pintu. Seolah baunya saja cukup untuk menyulut kemarahan mereka. Seperti sore ini.
            “Diam! HUSH!” Barlin menghardik dari loteng rumahnya. Ia sedang mengangkat kain jemuran di atas dan anjing-anjing menggonggonginya dari bawah. Orang-orang sampai menoleh, melongok dari jendela, bahkan keluar rumah untuk melihat kejadian itu.
            “Ada apa, Barlin?” aku berteriak untuk mengalahkan ributnya suara salakan.
            “Anjing-anjing sinting!” ia mengumpat dengan suara tak kalah keras. “Mereka membuatku terlihat seperti pencuri di siang bolong, di rumahku sendiri!”
             Terdengar tawa dari berbagai arah. Setiap orang tampak terhibur. Kecuali Barlin, tentu saja.
            “Apa aku pergi saja dari desa ini?” Barlin bertanya, entah ditujukan padaku atau pada dirinya sendiri. Ia tampak berpikir sebentar, lantas mengangguk-angguk seolah baru menemukan solusi jenius untuk menyelamatkan diri.
“Kau dengar itu, kawan? Aku akan membangun rumah di kota dan pindah ke sana. Aku tak akan bertemu lagi dengan anjing-anjing sialan itu!”teriaknya sekuat tenaga.
***
            Sejak kejadian itu, nyaris dua bulan Barlin tak pulang. Selama itu pula desa kami sepi dari salakan anjing. Kawanan hewan itu kini hidup tenang dan tentram. Walau bukan suatu perkara yang mengundang perhatian, namun benakku menyimpan sejumput tanya. Apa Barlin sudah berhasil membangun rumahnya di kota dan benar-benar pindah ke sana? Dan, penyebab itu semua hanyalah sekumpulan anjing?
            Sore itu, seperti biasa, aku sibuk berkutat dengan bubuk kopi, air mendidih, gula-susu, dan segala perkakas ketika pengunjung kedai bersahut-sahutan menyerukan nama Barlin. Kepala-kepala mereka mendongak, menyimak berita yang ditayangkan televisi yang bercokol di pojok kanan kedai. Aku menghentikan aktivitas menyaring bubuk-bubuk kopi dan bergegas meninggalkan dapur, ikut bergabung bersama orang-orang menonton televisi.
“Wah, tak kuduga ternyata Barlin sampai hati melakukan korupsi!” Seseorang menyeletuk.
            “Muda dan terpelajar, tapi ternyata dia menelikung negara ini—menusuk kita dari belakang.” Seorang lagi berdecak.
“Rambut boleh sama hitam, tapi hati siapa yang tahu...” Yang lain menimpali. Komentar bernada sama terus terucap di sana sini.
Di layar, tampak seorang lelaki muda keluar dari sebuah bangunan dengan kepala tertunduk-tunduk ketika menghadapi sorotan kamera dan serbuan tanya. Pakaiannya bukan lagi seragam khas yang ia kenakan setiap pagi ketika berangkat kerja, melainkan sebuah setelan khusus bagi tahanan KPK. Tak ketinggalan sejumlah lelaki lain mengapitnya di kanan kiri, mengawalnya ketat, tak memungkinkan lelaki itu mencuri sedikit saja kesempatan untuk melarikan diri.
Kutatap televisi lekat-lekat. Memang benar itu Barlin. Teranglah kini tentang keberadaan dan tingkah laku yang selama ini disembunyikannya dari seluruh penduduk desa. Sungguh aku kecewa padanya.
Pengunjung kedai yang meminta suguhan kopi atau teh memaksaku kembali ke dapur. Aku baru akan beranjak ketika tiba-tiba terdengar suara berisik dari arah luar. Semua orang menolehkan kepala. Tampak anjing-anjing kampung penghuni belakang balai desa telah berkerumun di depan kedai. Mendadak mereka menyalak bersahut-sahutan dengan mata berkilat menahan geram. Arah tatapan mereka tertuju pada....televisi!
Tampak di layar Barlin mengangkat wajah sejenak. Sontak anjing-anjing itu menyalak lebih keras, penuh amarah.
Medan, 2017-2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar