Rabu, 22 Agustus 2018

Tak Sesingkat Cerita Pendek [Cerpen Harian Waspada, Minggu 19 Agustus 2018]

Ilustrasi Oleh Harian Waspada

TAK SESINGKAT CERITA PENDEK
Oleh Dian Nangin
Kucoba mengingat-ingat mimpi apa yang singgah kemarin malam dalam tidurku.  Namun, tak kutemukan relasinya dengan keberadaanku saat ini: menyusuri sebuah gang kecil di pinggir kota yang dulu begitu cantik dengan kebun bunga di setiap rumah. Tak ketinggalan pohon rambutan yang selalu dikerumuni anak kecil. Tapi semua berubah sekarang: jalan sudah melebar, kebun-kebun menyempit dan terabaikan, pepohonan meranggas. Sepeda motor menderu saling mendahului, membuat debu beterbangan.
Semakin keras aku berpikir, semakin aku tersesat dalam labirin dalam kepalaku. Kuputuskan untuk berhenti berpikir, cukup menganggap ada tangan-tangan intuisi yang membimbingku pada sesuatu yang belum kupahami. Kakiku terus mengayun,  mungkin akan kutemukan sebuah alasan yang masuk akal di depan sana.
            Setelah berjalan beberapa meter lagi, langkahku terhenti. Sebuah tanda duka menghalang jalanku. Orang-orang berpakaian hitam berseliweran. Kepalaku celingak-celinguk, melihat-lihat apa aku mengenal seseorang. Namun, semua tampak asing bagiku.
            “Siapa yang meninggal di sana?” tanyaku pada seseorang yang melintas.
            “Seorang perempuan tua. Selama ini ia tinggal di rumah itu,” katanya sembari menunjuk sebuah bangunan yang menjadi tempat duka.
            Aku terhenyak. Ingatanku mundur sejenak. Perempuan tua itu......aku tak begitu mengenalnya. Hanya selintas. Namun ia pernah ‘bersinggungan’ jalan dengan hidupku.
Dua tahun lalu aku pernah berada di sini, mengunjungi tempat kos seorang kawan untuk meminjam novel bagus yang tak mampu kubeli. Waktu itu kami baru tamat kuliah, masih pengangguran. Sembari menunggu panggilan setelah melayangkan belasan CV, aku menghabiskan waktu dengan membaca dan menulis cerita. Kegiatan di waktu senggang itu akhirnya menjadi kesibukanku karena tak kunjung beruntung dengan berlembar-lembar lamaran kerja yang kusebar pada beragam instansi.
Waktu itu, ketika aku mengunjungi teman si pemilik novel, aku pulang ketika langit mulai gelap. Trotoar hampir sepi. Saat itulah seorang perempuan tua berpunggung bungkuk melangkah terantuk-antuk keluar dari pekarangan rumahnya dan menghadangku.
“Bisakah aku minta tolong? Rumahku gelap. Tak ada seorang pun membantuku menyalakan lampu.”
Aku mengernyit. “Nenek tinggal sendiri?”
“Sebenarnya anak dan cucuku tinggal tidak terlalu jauh. Mereka bergiliran datang membawa makanan dan menyalakan lampu, tapi sampai saat ini tak seorangpun menengokku.”
Kupandang tubuh bungkuknya yang hanya setinggi dadaku. Ia harus mendongak untuk melihatku. Ketika aku menatap ke dalam mata lamurnya, aku mendapati sebuah telaga berwarna kelabu. Serupa langit remang jelang malam.
“Baik. Aku akan menyalakannya.”
Kuikuti langkah lambatnya. Rumah itu cukup besar, pun gelap sempurna. Aku maklum perempuan tua ini sampai memaksakan diri keluar rumah demi sebuah pertolongan.
“Dimana saklarnya, Nek?”
“Aku tak ingat,” jawabnya. “Sudah sangat lama aku tidak menyalakan lampu dengan tanganku sendiri.”
Kucari saklar yang entah berada dimana di dinding sebelah mana. Butuh sedikit waktu hingga akhirnya tanganku menemukannya. Begitu banyak tombol berderet. Kutekan secara sembarang. Sebuah lampu hias besar menyala terang, menyilaukan. Kutekan saklar lain. Lampu-lampu sudut yang lebih kecil menyala. Kuputuskan untuk langsung pergi.
“Entah mengapa mereka tak kunjung datang. Padahal aku takut gelap, tak ingin sendirian,” perempuan tua itu menyambung lirih.
Kalimatnya tersebut menghentikan langkahku. Ia sedang menumbuk ramuan sirih dalam tabung besi dan lalu mengeluarkannya ketika telah hancur. Ramuan itu ia jejalkan ke dalam mulut, lalu ia lumat perlahan. Cairan merah segera mewarnai bibirnya, sebagian merembes ke dagu mengikuti jalur-jalur keriput kulitnya.
 “Berapa umur nenek?” tanyaku. Kuputuskan untuk menemaninya sebentar, barangkali anggota keluarganya akan segera datang hingga ia tak lagi kesepian.
Perempuan tua itu menghitung dengan jemarinya. Butuh tiga kali pengulangan hingga akhirnya kedua tangannya terbuka dengan dua jari terlipat. “Delapan puluh.”
“Wah, jadi nenek sudah lahir sewaktu jaman penjajahan?”
            “Ya,” matanya menerawang.“Aku punya banyak teman waktu itu.”
Aku mengerjap, kaget ketika sejenak kulihat telaga kelabu di matanya berubah jernih. Seberkas sinar cemerlang terpantul di sana, tampaknya berasal dari matahari pagi. Tapi hanya sejenak. Ketika aku mengedip, pemandangan itu menghilang.
“Kami berjuang bersama mengatasi ketakutan dan keterbatasan. Aku ingat Jepang membawa perempuan-perempuan muda, mengangkut dimana saja mereka menemukannya. Menjadikannya gundik. Mengerikan sekali masa itu.”
Ceritanya mengingatkanku pada kisah yang dituturkan novel-novel berlatar masa kolonial. Telaga itu kini dihiasi rinai-rinai gerimis. 
            “Teman-temanku banyak yang berumur pendek. Mereka mati sebelum melihat semuanya menjadi baik. Mencicipi kemerdekaan, makanan enak, pakaian bagus...”
            Bagai menyaksikan kilas-kilas sinema pendek yang gegas berganti, aku melihat berbagai situasi menerpa telaga itu. Hujan, angin kencang, hingga kemarau berkepanjangan. Ia pasti telah melewati serangkaian pengalaman hidup yang tak mudah di masa lalu.
            “Aku bosan hidup,” katanya tiba-tiba. “Rasanya tak sabar aku ingin segera berakhir dan menyusul teman hidupku, suamiku. Aku rindu. Ia telah meninggalkanku lebih dari empat puluh tahun.”
Telaga itu kini keruh.
            “Nenekku sudah lama meninggal,” kataku, mencoba membesarkan hatinya. “Kalau saja dia masih hidup, mungkin dia seumuranmu. Rasanya akan sangat menyenangkan kalau aku masih punya nenek.”
            “Apa kau yakin pasti menyenangkan?” ia bertanya ragu. “Bukannya kau akan mengabaikannya?”
Sarkasme. Pertanyaan itu menerbitkan keraguan dalam hatiku. Sekarang aku merindukan nenekku dan berpikir akan menyayanginya di usianya yang senja, tapi, mungkinkah keadaannya akan berbeda bila nyatanya sekarang ia masih hidup? Tidakkah aku akan bersikap sama seperti anak-anak muda masa sekarang yang begitu egois?
***
            Langit semakin gelap. Aku menggeleng separuh tak percaya. Intuisi ganjil itu akhirnya memberiku penjelasan, bahwa aku berada di sini untuk mengetahui kalau seseorang yang pernah bersinggungan denganku pada waktu lalu kini telah berlalu dari kehidupan. Barangkali aku belum menemukan makna kejadian ini, namun waktu akan mengungkapnya.
            Aku mematung di tepi jalan. Rasanya ingin aku masuk ke dalam rumah, menyampaikan rasa duka. Tapi aku tak punya alasan melakukannya, sebab aku bukan siapa-siapa bagi mereka. Tak akan ada yang mengenalku, kecuali perempuan tua yang telah mati itu. Kami pun hanya bertemu satu kali, dan dalam pertemuan singkat itu, aku telah melihat kisah-kisah yang dalam dan luas lewat telaga matanya. Sesungguhnya masih banyak yang belum kuceritakan, terlalu panjang untuk kututurkan di sini. Yang kau baca kini hanyalah sepotong ringkas saja.
Medan, 2017-2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar