Selasa, 29 September 2020

RIAK PENANTIAN [Cerpen Harian WASPADA, 20 September 2020]

ilustrasi oleh Harian WASPADA

RIAK PENANTIAN

Oleh Dian Nangin

 

            Seperti ombak yang tak pernah lelah meriak ke tepian—dengan apalagi harus kusandingkan kesabaran dan kesetiaanku menunggumu, Adelaide? Kadang gulungan ombak itu berukuran besar hingga mampu menghempas perahu-perahu nelayan, kadang tenang dan berirama. Namun ia tak pernah berhenti bergerak. Seperti penantianku, senantiasa beriak.

            Tak pernah bisa kulupakan hari ketika aku mengantar dan menungguimu manortor di  tempat biasa tamu-tamu asing berambut pirang itu disambut. Kepalamu berhiaskan sortari. Tak jua pudar kekagumanku melihat tubuh rampingmu dalam balutan ulos. Mungkinkah rasa jemu sudah enyah dari hatiku bila itu menyangkut tentangmu?

            Hari itu, kau tampak lebih bersemangat—ya, biasanya kau juga semangat dan memesona. Namun kau keluarkan semua daya yang kau punya demi mempersembahkan tarian terbaik dan kesan mendalam agar tamu-tamu itu kelak punya kenangan untuk dibawa pulang. Aku, yang tak mampu membaca tanda apa pun, hanya ikut menonton pertunjukanmu.

Ternyata, itu menjadi pertunjukanmu yang terakhir. Aku ingat kau pernah berkata bahwa kau ingin menari selamanya di sini, di tanah batak tempat kita pertama kali membuka mata dan menjeritkan tangis. Tapi, semua itu kau sangkal. Kau telah mengepak ransel dan menyusun rute perjalanan. Kau berencana pergi menempuh mimpi-mimpi.

            “Sudah cukup banyak kita menerima kunjungan. Sesekali aku ingin pergi dan mengunjungi tempat-tempat yang jauh,” katamu beralasan.

            “Sejak kapan angan-angan itu melenting di kepalamu?”

            Kau balas bertanya. “Apa kau tak pernah bercita-cita keluar dari kampung ini?”