Kamis, 27 September 2012

Pengamen Cilik Dan Hatinya

Kisah ini sudah cukup lama terjadi, sekitar awal tahun 2011 dan baru kepikiran sekarang untuk membaginya di blog, mungkin bisa menjadi inspirasi bagi yang membaca....

Siang itu cukup terik, tapi aku tetap melangkahkan kaki meninggalkan kampus MIPA menuju kampus ISIP, ingin bertemu dengan seorang teman.Ingin ngobrol dengan santai sekalian browsing, maka kami memilih duduk di koridor. Bla...bla...bla... obrolan pun mengalir, lalu kami mengeluarkan laptop masing-masing dan sibuk browsing.

"Kricing...kricing..." Sesuatu mengusik perhatianku. Seorang pengamen cilik sedang bernyanyi di dekat segerombolan mahasiswi yang sedang asyik menggosip. Aku kembali mengalihkan perhatianku pada laptop.Sebegitu asyiknya sampai aku dan si teman tidak sadar si pengamen sudah berada di belakang kami. Aku hanya mengangkat tangan dan menggeleng tanpa menoleh, menolak nyanyiannya dengan halus. Ia kemudian beranjak.

Ia mendatangi sekumpulan mahasiswa yang juga asyik ngobrol sambil nongkrong di bawah pohon, tak jauh dari hadapan kami. Alat musik tutup botolnya ia pukul-pukulkan ke tangan, menimbulkan bunyi gemerincing yang berisik. Aku mengangkat wajahku lagi. Para mahasiswa kelihatan acuh tak acuh, hanya melirik sekilas. Tapi ketika si pengamen belia menyelesaikan nyanyiannya, mereka merogoh saku dan mengeluarkan dompet, mencoba mengumpulkan uang koin yang mungkin terselip di sana sini. Setelah memberikannya pada pengamen kecil itu, mereka kembali asyik pada topik obrolan. Meski tak ada lagi yang memperhatikan, anak kecil itu tetap mengucapkan terima kasih, bahkan sampai membungkukkan kepalanya. Cukup sopan. Wajahnya bahagia, meski hanya karena beberapa keping recehan....
Aku tercenung sesaat. Kenapa aku sampai tak punya hati, barangkali hanya untuk mendengar gumaman nyanyiannya, menghargai sedikit usahanya dan memberi yang menjadi bagiannya? Ah, aku terlalu tidak peduli....

Kami memanggil pengamen kecil itu kembali saat ia berjalan melewati kami. Ia mendekat dengan takut-takut... Kami tersenyum ramah dan bersahabat....
"Ada apa, Kak?"
"Kamu masih mau bernyanyi?"
"Kalau nyanyinya bagus, nanti kakak kasi uang..." kataku dan si teman bergantian.
"Kakak maunya aku nyanyi apa?" tanyanya dengan mata berbinar, mungkin berharap akan mendapat uang lebih hari ini, setelah sering tidak dihiraukan oleh orang lain.
"Lagu apa saja. Lagu yang sering kamu nyanyikanlah, lagu anak band bisa?" Ia menggeleng dan aku sedikit terkejut. Ia berbeda dengan pengamen cilik yang biasanya kulihat. Meski baru berumur 5 atau 6 tahun, mereka membawakan lagu-lagu anak band yang agaknya kurang cocok dengan usia mereka.
"Jadi lagu apa bisanya?"
"Lagu sekolah minggu...." jawabnya polos. Surprise! Kami mengangguk.
"Happy yee...ye...ye... Happy ya...ya...ya... Aku senang jadi anak Tuhan..." Dia bernyanyi diiringi alat musiknya hingga selesai. Aku dan si teman memberinya tepuk tangan. Aku mencari dompet, seingatku aku punya beberapa keping uang lima ratusan. Kami memberinya dan ia menerima dengan senyuman. Tangan kecilnya terlihat penuh saat menggenggam uang logam itu. "Terima kasih kakak...," katanya tulus.
Kami mengajaknya duduk.
"Kamu sudah sekolah?" Ia mengangguk. "Kelas berapa?"
"Kelas dua, kak..."
"Bapak sama Ibu kamu kerja apa? Kok kamu sampai ikutan cari uang?"
"Ibu aku tukang cuci sama bantu-bantu di rumah orang, bapak aku tukang becak...." Ia menunduk. Duh, kok jadi sedih dia nya?
"Kamu berapa bersaudara?"
"Enam, kak..." Alamak!! *tepuk jidat. Ini dia masalah utama negeri kita ini, yang miskin beranak banyak!
"Kamu anak ke...?"
"Tiga..." jawabnya. Duh, anak ke tiga masih berusia sekitar tujuh tahun, anak ke empat, ke lima, ke enam, usia berapa ya?
"Cita-cita kamu apa?"
"Jadi polisi, kak..."
'Terus kakak-kakak kamu juga kerja?"
"Iya, Kak. Kakakku cari botol bekas, abangku jualan koran." Duh, anak-anak sekecil itu.....
"Uang hasil ngamen kamu mau buat apa?"
"Ditabung dulu di celengan ayamku. Kalau sudah penuh, aku mau beli sepatu...." Bagus juga, ia bekerja dan menabung untuk membeli apa yang diinginkannya. Beda dengan pengamen di perempatan jalan sana, siap mengamen dan mendapat uang, malah beli rokok....
"Memangnya berapa harga sepatunya?"
"Tiga puluh ribu, kak...."
Miris! Anak-anak orang kaya di gedongan sana berhamburan uang. Anak kaum terpinggirkan seperti pengamen cilik ini harus mengumpulkan receh demi receh untuk membeli sepatu sekolah.
Kali ini tangan kami tergerak sendiri, mengeluarkan sedikit uang, yang sekiranya dapat memenuhi celengannya, agar anak kecil ini bisa segera beli sepatu.
Tapi ia menggeleng ketika kami menyodorkan beberapa lembar uang lima ribuan.
"Kenapa?"
"Kata ibuku, aku enggak boleh menerima uang kalau bukan hasil usahaku...."
Aku takjub. Ditengah kemiskinan yang menjepitnya, otak dan hati kecilnya masih dipenuhi ajaran baik, dan ia patuh!
"Oke, bilang sama ibu kamu, kalau kakak kasih kamu uang karena kamu sudah nyanyi lagu sekolah minggu."
Kami meraih tangannya dan menyelipkan uang kertas itu. Ia menggenggamnya kuat. Matanya berbinar dan senyumnya lebar.
"Terima kasih, ya, kakak...." Ia bangkit, berlari menjauh sambil melambaikan tangannya. Aku hanya bisa menarik nafas panjang, setidaknya hari ini satu biji kebaikan telah kami lakukan....

Ada pelajaran yang bisa di petik??


Jumat, 14 September 2012

My Lovely Younger Brother

Ini dia si bungsu dari empat bersaudara :Arif Peranata

Saat ini dia sedang duduk di bangku kelas 3 SMP, artinya tahun depan akan mengikuti Ujian Nasional. Doakan ya si bungsu ini lulus dan masuk SMA terbaik.

Ini adalah foto hasil ngubek-ngubek drive laptop dan mendapati foto ini di sudut sebuah file.

Ini bareng anjing kesayangannya, Paguh. Settingnya adalah di ladang. Paguh hidup benar-benar menyandang penuh arti namanya : kuat dan bertahan. Pernah beberapa kali Paguh tertabrak mobil, untungnya tidak berakibat fatal. Hanya luka lecet.

Suatu kali pernah di pagi hari Paguh mengikuti Arif bersepeda. Paguh berlari-lari di samping sepeda Arif, sebuah mobil menyambar tubuh Paguh. Mobil itu segera melarikan diri. Arif hanya terpana memandang tubuh Paguh yang tergeletak, tak bergerak. Ia segera melompat dari sepedanya. Ketika ia menyentuh Paguh, hendak menggendongnya masuk rumah, tiba-tiba Paguh berdiri dan berlari. Ah, ternyata ia tidak kenapa-kenapa.

Nah, kali ini dengan ayam-ayam peliharaan. Ayah Ibuku memang gemar beternak ayam dan bebek. Lumayan, ayam kan bisa dikembang biakkan terus hingga banyak. Jadinya bisa sering-sering potong ayam. Sedangkan telur bebek bisa digoreng. Yummy....
Nah, diantara ayam-ayam milik ibu, Arif mengumpulkan anak-anak ayam yang seumuran dan mengklaim bahwa itu adalah miliknya.....

Rabu, 12 September 2012

Pikun atau Budek?

Ada beberapa kejadian lucu yang menandakan dunia semakin tua, demikian juga orang-orangnya.
Here we go:

Beberapa waktu lalu, aku, adik ( @mawarnangin) dan seorang keponakan  (@dameriamanik) yang seumuran denganku pergi ke sebuah pasar tradisional di daerah Medan/Padang Bulan untuk berbelanja keperluan ospek sang adik. Setelah wara-wiri sambil menenteng kantong plastik, kami tinggal mencari satu bahan lagi, yaitu kerupuk rangginang, kerupuk yang terbuat dari nasi yang diolah dan dikeringkan sedemikian rupa, hingga ketika di goreng, ia akan mengembang. Kami hampir menyerah setelah menyambangi kios-kios dan terkahir sebelum kami pulang, kami berhenti di sebuah kios yang menjual bahan makanan. Besar harapan kami akan menemukan rangginang di sana.

Kepada seorang nenek yang tampak sebagai penjual (kira-kira umur 50 tahunan), keponakan bertanya.
"Nek, ada kerupuk rangginang?"
Si nenek mendekati kami sambil menengadahkan telinganya "kurang kencang ngomongnya, nak, aku udah tidak mendengar dengan jelas...!"
Adik dan keponakan kompak berteriak," Rangginang ada, nek?"
Aku hanya menahan tawa, suara mereka begitu kerasa sampai terdengar ke beberapa kios sebelah.
Kami kira si nenek sudah mendengar, tapi ternyata... "Oooh, coba tanya sama penjual sirih sana, nak," katanya dengan polosnya.

Gubrak!!! Kami saling berpandangan, kemudian segera kabur sambil tertawa. Apa hubungannya rangginang dengan sirih? Ooohh, mungkin rangginang ditelinganya terdengar sebagai pinang!!! Pantesan....

Kedua, ketika suatu sore, aku dan keponakan berbelanja di Pasar Ramayana Pringgan Medan. Sudah hampir gelap hingga tampak beberapa penjual mengemasi barangnya. Kami ingin membeli tahu.
Kami mendatangi sebuah tenda yang biasanya menjual tahu dan tempe.
"Pak, tahunya masih ada?"
Seorang bapak di belakang meja jualan menjawab," Apa nak? Kangkung?"
Hampir meledak tawa kami. Seorang abang-abang penjual kelapa parut sebelah tendanya malah sudah tertawa keras.
"TAHU, PAK...!" ujar keponakan dengan keras.
Bapak itu terlihat malu sendiri," Oh, sudah habis..."
Kami segera berbalik arah dan tertawa terpingkal-pingkal, sampai sakit perut. Bagaimana kata 'tahu' dan 'kangkung' memiliki kaitan? Bunyinya saja jauh berbeda...
Kalau rangginang, bolehlah sang nenek salah dengar menjadi pinang, dengan kesamaan 'nang' dibelakang kat-katanya....

Dan yang paling parah adalah kasus salah dengar sang ponakanku sendiri. 
Kami sedang bercanda di tempat kost'an. Adik dan ponakanku bergantian mengejekku, dan aku tiba-tiba nyeletuk,
"Kepala lo gue pitakkk...."
Tanpa terduga, si ponakan mengulang kata-kataku, tapi dengan kata-kata," Apa? Bapak Nego???
Gubrakk...!!
Gubrak...!!
Gak nyambung bangeettt!!!
Gak tua, gak muda, sama-sama pikun, sama-sama budeg......

Selasa, 04 September 2012

Liburan = Panen Kentang Di Ladang Sendiri. Why Not??


Liburan selalu identik dengan jalan-jalan, wisata, atau apa sajalah yang berkesan menyenangkan. Meski demikian ada juga orang yang menganggap liburan berarti tidur atau bersantai sepuasnya, melepaskan rutinitas sejenak.

Nah, bagi aku liburan berarti pulang kampung.

Bagi aku secara pribadi yang setiap hari berkecimpung di kepadatan kota, melihat banyak wajah-wajah dari berbagai belahan bumi (halah!), menghadapi macet-macet jalanan dan menghirup polusi dari knalpot-knalpot yang mengeluarkan asap mengepul, atau bertapa di kamar kost sekian kali sekian meter, pulang kampung dan kembali ke ladang adalah hiburan tersendiri. Sebagai seorang anak petani, kewajibanku setiap ada moment liburan pastinya adalah membantu orang tua bekerja di ladang. Tapi tak apalah, dari ladangku juga aku bisa melihat pemandangan indah. Dari berbagai sisi aku bisa memandang gunung sinabung, melihat hamparan jajaran pegunungan sipiso-piso, dimana dibaliknya terdapat danau toba.


Selain itu, rasanya otak kembali fresh ketika melihat tanaman-tanaman hijau yang menghampar luas.
Gambar di samping adalah foto saya bersama ibu di tengah-tengah tanaman kentangnya. Itu di ambil beberapa bulan lalu, ketika tanaman kentangnya sedang subur-suburnya. Aku tak pernah bosan mengelilinginya sambil sesekali mencabut rumput yang terlihat di antara batang-batang kentangnya. Kentang adalah tanaman tahunan orang tuaku, mungkin juga tanaman favorit.


Nah, masa-masa panen kentang diatas bertepatan sekali dengan moment liburan panjang akhir semester sekaligus libur lebaran tahun ini tadi. Beruntung sekali aku masih bisa ikut membongkar kentang dari gundukan tanah, dan merasa surprise melihat buahnya yang besar-besar.

Panen…panen…panen….
Cangkul sana, cangkul sini.
Cacing-cacing menggeliat. Huek...! Aku sedikit geli dan jijik melihat binatang tanah yang satu ini. Apalagi dari gundukan tanah bekas menanam kentang, cacingnya besar-besar. Panjangnya bisa mencapai satu jengkal, sebesar kelingking orang dewasa. 

 Dari setiap tiga lereng kentang, buahnya dikumpulkan dan disatukan di satu lereng saja.
Memang sedikit lelah, tapi rasanya sangat excited memanen hasil tanaman dari ladang sendiri. Melihat buah-buah kentang itu, rasanya aku tak sabar untuk mengolahnya.

Apakah para readers tahu apa-apa saja makanan yang diolah dari kentang?
Banyak sekali. Kentang bisa diolah menjadi keripik, perkedel, donat kentang, menjadi bahan campuran membuat rendang, bisa digulai dan masih banyak lagi.

Ini adalah foto adikku yang bungsu, yang memamerkan kentang favoritnya. Ia memang senang sekali mendapati buah yang sangat banyak dan besar dalam satu batang hingga ia tak rela merontokkan kentang-kentang itu dari akarnya.

Nah, bagi anda-anda yang sangat menggemari makanan berbahan dasar kentang, apakah anda pernah melihat buah kentang  secara langsung? Ataukah anda hanya terima siap saji, kentang goreng di restoran fast food, KFC misalnya….?!

Ketika suatu kali anda berbelanja kentang di pasar tradisional atau di pusat perbelanjaan, misalnya Carrefour, sambil memilah-milah kentang, pernahkah anda terpikir  bagaimana bentuk dan rupa tanaman kentang? Pertanyaan saya ini terlepas bagi para readers yang petani kentang, ya….                                     

Nah, ada baiknya memang setiap liburan anda menyisihkan waktu untuk ber’agrowisata. Anda bisa belajar sambil liburan, mengenal lebih banyak tanaman sayur dan buah-buahan. Ketika liburan pun, anda tidak sekedar menghabiskan uang, tapi sekalian mendapat pengetahuan, tidak ada ruginya kan…??