Minggu, 18 Agustus 2019

A HAPPY ENDING FOR TIMUN MAS (Re-telling Cerita Rakyat)

Diceritakan kembali oleh Dian Nangin

ilustrasi oleh www.penuliscilik.com
“Kabulkanlah permohonan hamba, ya, Allah,” demikian perempuan janda itu mengakhiri doanya. Tak pernah jemu ia memanjatkan doa yang sama tiap malam, betapa ia menginginkan seorang anak. Suaminya telah mati. Mereka tak pernah dikaruniai anak. Si janda tua hidup dalam sepi. Hanya doa yang ia miliki, serta keajaiban yang mustahil namun tetap ia yakini. Ia lalu pergi tidur, berharap esok hari keajaiban akan menghampirinya.
Tapi, tak ada keajaiban kendati ia sudah berdoa semalam suntuk. Hidup harus terus berlanjut. Perempuan janda itu bertani sepanjang hari. Petangnya ia masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika sedang mengikat kayu-kayu kering yang berhasil dikumpulkannya, ia melihat bungkusan aneh di bawah pohon besar tak jauh darinya. Bergegas ia membuka bungkusan itu dan kecewalah hatinya. Isinya hanya  biji mentimun, bukan seorang anak seperti yang ia harapkan.
               Kekecewaannya disela langkah-langkah berat yang datang mendekat. Si janda membalikkan badan dan hadir di depannya sesosok raksasa. Raksasa itu tertawa menggema,  menggetarkan tanah dan pepohonan. Janda tersebut mematung. Wajahnya pucat.
            “Jangan takut, perempuan tua! Aku tidak akan menelanmu hidup-hidup,” katanya. “Kau menginginkan seorang anak, bukan?”
            “Y-ya,” jawab perempuan itu tergagap.
            “Tanamlah biji timun itu, maka kau akan memperoleh seorang anak,” ujar sang raksasa sembari menunjuk bungkusan di pangkuan perempuan itu. “Tapi ada syaratnya; kelak anak itu dewasa, kau harus menyerahkannya padaku untuk kumakan.”

            Saking senangnya akan memiliki anak, tanpa pikir panjang, janda tersebut langsung mengiyakan. “Baik, baik, akan kuserahkan padamu.”
***
            Lekas ditanamnya biji tersebut. Tak lupa ia siram agar cepat tumbuh. Beberapa hari kemudian muncul pucuk hijau kecil, turut pula berpucuk harapan perempuan itu bahwa ia akan segera menimang seorang anak walau ia tak tahu bagaimana mendapatkannya. Ia merawat dan menyiangi tanaman tersebut dengan telaten. 
            Hari, minggu dan bulan berlalu. Tanaman itu berbunga dan berbuah banyak. Namun, ada satu buah yang tampak mencolok; ukurannya sangat besar, berbeda dari timun lainnya, juga warnanya tidak hijau, melainkan kuning keemasan.
            Ketika timun tersebut sudah masak, si perempuan tua memetik dan membawanya pulang dengan susah payah sebab ukurannya sangatlah besar. Ia membelah timun itu dengan hati-hati. Betapa kagetnya ia mendapati seorang bayi perempuan terbaring di dalamnya. Ia segera mengeluarkannya dengan senyum rekah. Bayi tersebut dinamainya Timun Mas.
            Tak pernah luput satu haripun perempuan janda itu menimang Timun Mas. Anak perempuan tersebut tumbuh dengan baik dan berperangai baik pula. Ia ikut ibunya setiap hari ke ladang. Tugas-tugas kecil yang diberikan padanya pun diselesaikannya dengan baik. Tahun demi tahun berlalu. Betapa perempuan janda itu menyayangi Timun Mas, merasa hidupnya telah utuh. Ia tak pernah lagi merasa sepi.
***
            Kebahagiaan perempuan janda itu nyaris sempurna kalau saja si raksasa yang pernah menemuinya di hutan tidak merusak mimpinya suatu malam. Ia lupa pernah berjanji dengan si raksasa. Kini ia merasa cemas dan gugup.
Melihat ibunya demikian gelisah membuat Timun Mas terusik. “Mengapa Ibu terlihat tak tenang hari ini? Adakah sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu?”
            Perempuan itu lalu mengutarakan rahasia yang selama ini ia simpan—ujung pangkal kegelisahannya. “Anakku, sebenarnya Ibu pernah membuat perjanjian dengan seorang raksasa. Ia mengatakan ibu akan mendapatkan seorang anak bila menanam biji timun. Dari sanalah kau berasal.”
            “Lalu, perjanjian apa yang Ibu buat dengannya?”
            “Ibu harus menyerahkanmu padanya begitu kau dewasa. Ia akan memakanmu. Kemarin ia menagih janji itu lewat mimpi Ibu. Tapi, Ibu tak ingin berpisah denganmu.”
            Seketika kegelisahan turut menggerogoti hati gadis itu. Ia juga tak ingin berpisah dengan sang ibu. “Aku tak mau jadi makanan raksasa, Bu.”
            Seolah baru mendapat ilham, perempuan itu tiba-tiba berseru, “Kau bersembunyilah di rumah. Ibu akan pergi sebentar untuk menemui seseorang!”
             Perempuan itu melangkah lebar-lebar menuju punggung gunung. Jantungnya turut berdebar, sadar ia tengah dikejar waktu. Ia menemui seorang petapa sakti yang ia harap dapat memberinya petunjuk cara menyelamatkan Timun Mas.
***
            Timun Mas menuruti perintah ibunya dengan baik. Mengingat cerita sang ibu bahwa ia akan dijadikan santapan oleh raksasa membuatnya bergidik. Dikuncinya pintu rapat-rapat, juga jendela. Ia merasa ada yang tengah mengintainya di luar sana, namun ia tak berani mengintip keluar.
            Ketukan di pintu membuatnya terlompat. Ia memasang telinga, waspada akan bunyi  mencurigakan. Ketika ia mendengar suara sang ibu, barulah ia bergegas membuka pintu.
            “Anakku, pergilah melalui pintu belakang!” titah sang ibu dengan nafas memburu. “Raksasa itu tengah menuju kemari. Pergilah cepat. Bawa ini!”
            Ia menjejalkan sebuah kantong pemberian si petapa sakti ke tangan Timun Mas, juga serangkaian perintah. Gadis itu sendiri sudah gemetar ketakutan.
            “Jadilah berani, Nak. Doa Ibu besertamu!”
            Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di atas atap rumah mereka, disusul suara menggelegar memanggil perempuan janda itu. Ibu Timun Mas keluar dan mendongak menatap raksasa yang dulu pernah ditemuinya itu.
            “Aku datang untuk menagih janjimu, perempuan tua!”
            “Anakku sedang tidak ada di rumah.” Perempuan itu berbohong, mengulur waktu agar Timun Mas sempat melarikan diri. Namun, terlambat. Si raksasa melihat Timun Mas berlari keluar lewat pintu belakang. Segera ia tinggalkan si perempuan tua dan mulai mengejar.
Timun Mas berlari pontang-panting. Langkah si raksasa berdebum di belakangnya. Ketika tangan si raksasa hendak menangkapnya, ia ingat perintah ibunya untuk melemparkan isi kantongnya. Ia melempar benih-benih mentimun yang langsung berubah menjadi ladang mentimun yang berbuah banyak. Si raksasa berhenti sebentar untuk makan timun-timun itu. Setelah kenyang, ia kembali mengejar buruannya.
Ketika si raksasa kembali mendekat, Timun Mas melemparkan duri-duri. Duri tersebut tumbuh menjadi hutan bambu yang memperlambat jalan raksasa itu. Tubuhnya menjadi terluka, yang membuat kemarahannya memuncak. Ia semakin gigih mengejar.
Kali ini, Timun Mas melemparkan garam yang sontak berubah menjadi lautan luas. Meski kelelahan, si raksasa mengerahkan segenap tenaganya untuk berenang ke tepian, lalu lanjut memburu gadis itu.
Timun Mas pun sudah kelelahan, namun terus berlari karena si raksasa lekat di belakangnya. Ia melempar isi kantongnya yang terakhir; terasi. Terasi tersebut berubah menjadi kolam lumpur yang dalam. Raksasa itu terhisap ke dalamnya. Pergerakannya dikunci oleh lumpur pekat. Semua upayanya membebaskan diri sia-sia dan akhirnya mati tenggelam.
***
            Timun Mas pulang dengan tubuh lelah dan compang-camping. Ia memanggil-manggil ibunya, mengabarkan kemenangannya melawan si raksasa. Keduanya berpelukan sarat bahagia. Akhirnya, mereka sepenuhnya merdeka dari kekangan rasa takut, dan dapat melanjutkan kehidupan, saling menyayangi. Selamanya.
  
(bila ingin menyalin atau membagikan tulisan ini, harap disertakan sumbernya.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar