Senin, 19 Agustus 2019

BUTET [Cerpen Harian Analisa, edisi Minggu 18 Agustus 2019]

ilustrasi oleh Analisa/ Renjaya Siahaan

BUTET
Oleh Dian Nangin  
            “Butet,” katanya sambil menggenggam selintas telapak tanganku yang terulur. Sontak mulutku ternganga. Aku menunggu ia menyebutkan nama kedua, ketiga, atau meralatnya dengan nama asli dan menerangkan bahwa Butet hanyalah nama panggilan—yang tetap saja belum akan bisa kupercayai.
            Boru Lumban Tobing,” tambahnya sambil tersenyum. Rautnya menunjukkan bahwa ia sudah sering melihat ekspresi tak percaya seperti yang disuguhkan wajahku.
            Keningku berkerut. Nama itu sangat tidak cocok dengan mata biru dan kulit putihnya. Pun, penampilannya sama sekali tidak merepresentasikan nama yang disandangnya. Akan lebih masuk akal bila ia memperkenalkan diri sebagai Janice, Allicia, Emily, atau nama lain khas perempuan-perempuan benua Amerika. Orang-orang sering bersikap acuh dengan berkata apalah arti sebuah nama, namun kini aku ingin menggugatnya karena benar-benar penasaran akan muasal dan alasan penyematan nama itu pada dirinya.
            “Kau...asli Batak?!” Usai bertanya, aku merutuki diri dalam hati. Pertanyaan bodoh! Dengan sekali pandang, siapapun tahu bahwa perawakannya ia warisi dari orangtua yang jelas-jelas bukan keturunan asli Indonesia.

            Dengan sabar, ia menjelaskan silsilah keluarganya dengan singkat. Ternyata, ayah dari kakek pihak ayahnyalah yang Batak tulen. Buyutnya tersebut menikahi seorang perempuan Belanda. Lalu lahirlah kakeknya, menikah dengan perempuan Kanada. Butet pun beribukan perempuan Kanada pula, sebab ayahnya mengikuti jejak sang kakek.
            Barangkali yang tersisa dari darah Indonesianya adalah bahasa Indonesianya yang fasih tanpa tercemar aksen manapun. Dan juga rambut ikalnya yang berwarna hitam. Sungguh tak kusangka akan menemukan nama seperti itu di sini, di atas sebuah pesawat yang baru saja take off dari Washington, berisikan penumpang yang didominasi manusia bertubuh jangkung, berambut pirang dan bermanik mata warna-warni. Padahal, niat awalku mengajaknya berkenalan hanyalah sekedar untuk berbasa-basi, agar penerbangan panjang dan melelahkan ini kulalui dengan orang yang tidak sepenuhnya asing.
            “Tapi....mengapa Butet?” tanyaku nyaris berbisik, berharap tak terdengar, tak ingin keheranan dalam kepalaku terungkap.
            Keningnya berkerut, balas bertanya, “Memangnya kenapa?”
            “Kebanyakan orang pasti tergoda untuk mengganti nama bila berada atau berasal dari tempat segemerlap Amerika. Menyesuaikan diri, kata mereka. Begitu mudahnya mereka murtad pada nama lahir demi sepotong nama lain yang dianggap lebih manjur, bawa hoki, dan ampuh untuk menangguk popularitas.”
            “Mereka cuma menggenapkan pepatah ‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” ujar Butet, seakan membela kaum murtad tersebut sekaligus menunjukkan kerendahan hati.
            “Memang benar. Namun, menyesuaikan diri juga tak seharusnya membuatmu melupakan atau bahkan menghapus jati diri.”
            Perempuan itu mengangkat bahu, memberiku jawaban abu-abu. Ia menyamankan posisi duduknya, mengabaikanku sejenak. Terdengar suara pramugari yang menyampaikan beberapa informasi, namun aku tak menyimak seutuhnya karena masih ada beberapa tanya sarat rasa penasaran akan perempuan yang duduk di sebelahku ini.
            “Di sini kau bekerja? Kuliah?” tanyaku.
         “Tidak keduanya. Aku ke sini untuk menjenguk bibiku. Tepatnya, menghadiri undangan jamuan makan. Ia berulang tahun dua hari lalu.”
            Jadi, dia bukan penduduk kota ini? Aku tak ingin terdengar seperti seseorang yang tengah menginterogasi atau sangat ingin tahu tentangnya, namun aku juga tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya. “Kau tinggal dimana?”
            “Di desa Haranggaol, tepi Danau Toba. Kau tahu?”
            Lagi-lagi aku terkaget. Jawabannya tersebut menggenapkan ‘keajaiban’ tentangnya. Wajah dan penampilan seratus persen bule, namun nama, bahasa, dan tempat tinggalnya seratus persen Indonesia—mungkinkah kepribadiannya juga?
            “Kau lahir di sana?”
         “Tidak,” jawabnya. “Aku lahir di Washington. Namun, ketika aku masih duduk di bangku SMA, ayah memutuskan untuk pindah ke Indonesia. Di sana aku melanjutkan sekolah dan kuliah.”
            “Mengapa pindah ke pinggiran Danau Toba sana?”
            Perempuan itu kembali angkat bahu. “Mengapa tidak? Indonesia juga bagian dari kami. Tanah Batak adalah tempat dimana urat akar silsilah kami tertanam, maka ke sanalah kami pergi. Ayahku sudah jemu dengan pekerjaannya. Ia menjual seluruh saham yang ia punya, menyerahkan beberapa perusahaan kecil di sini untuk dikelola keluarga, lalu kami pergi menikmati ketenangan hidup.”
            Aku menarik nafas sejenak, berpikir bahwa keputusan semacam itu hanyalah bualan. Zaman sekarang, siapa yang rela melepas kemapanan demi sesuatu yang terdengar omong kosong? “Lalu, apa yang dikerjakan ayah dan ibumu di sana?”
            “Ayah dan ibuku suka bertani. Mereka berladang, menanam padi dan bawang merah, serta punya beberapa pohon mangga. Kami juga memelihara sejumlah kambing dan babi.”
            Kupikir, walau telah melepas pekerjaan dan kemewahan yang mereka miliki di sini, mereka masih akan menganut gaya hidup ala negara barat di tepi Danau Toba sana; tinggal di villa yang dibentengi pagar beton menjulang di atas tanah beberapa hektar. Kupikir mereka akan hidup ala kaum berada, menjaga jarak dengan masyarakat, segalanya cukup hingga tak perlu mengotori tangan dengan pekerjaan-pekerjaan kasar. Namun, kini dalam bayanganku tampak ibunya yang berasal dari Kanada itu belepotan tanah di ladang dan bergaul dengan inang-inang di pasar.
            “Mengapa ayahmu tidak kembali berbisnis di sana?”
            “Ia sudah membuat pilihan dan aku menghargainya. Lagipula kata ayahku, apa yang diberikan alam sudah cukup untuk kehidupan. Bahkan apa yang kami kerjakan dan hasilkan dari tanah bumi pertiwi cukup melimpah. Persis seperti dalam lagu klasik yang benar-benar merepresentasikan betapa subur tanah Indonesia.”
            Aku mendengus. Aku tahu lagu apa yang ia maksud dan potongan-potongan liriknya melintas begitu saja dalam kepalaku—lirik-lirik usang yang menurutku tinggal sejarah. Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, ....ikan dan udang menghampiri dirimu.... tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman....
            “Kau sendiri tinggal dimana dan bagaimana kehidupanmu?” ia balas bertanya, seakan menuntut balik penjelasan tentang diriku sebagaimana hal-hal yang kutanyakan tentangnya.
            Kukisahkan pula secara singkat perjalanan hidupku, bahwa aku bermarga Sianipar, baru saja menamatkan S2 di salah satu Universitas di Singapura dan kunjunganku ke Washington untuk memenuhi undangan wawancara kerja di salah satu gedung pencakar langitnya. Betapa bangga aku ketika bercerita.
            “Tak ada niat untuk kembali ke kampung halaman?” tanyanya tiba-tiba.
            Kusadari bahwa prinsip dan tujuan hidup kami berlawanan arah. Di atas pesawat ini titik persinggungan kami. Entah apa yang direncanakan takdir dengan pertemuan ini, aku tak tahu. Aku hanya terdiam.
            “Bukannya aku ingin menggurui, tapi kupikir mengaplikasikan ilmu yang telah diraih untuk membangun kampung adalah pekerjaan mulia. Ada banyak potensi yang bisa dikembangkan di sana.”
            Kutahan bibit-bibit emosi yang mulai berkecambah dalam hatiku. Bagaimana bisa ia yang hanya memiliki sepercik darah Indonesia dalam tubuhnya malah berkhotbah panjang lebar padaku yang murni keturunan Indonesia tanpa ada campuran apapun?
***
            Penerbangan panjang membuat tubuhku menderita jetlag yang cukup parah. Bahkan ketika lift yang kutumpangi mulai bergerak naik, aku sempat sempoyongan dan mengira masih berada di dalam pesawat. Setiba di depan apartemen, aku menumpukan tubuh ke dinding sembari menunggu pintu dibukakan dari dalam.
            “Mak, aku sudah pulang...” seruku sembari masuk. Kuseret koperku ke dalam kamar, menumpukkannya bersama tas dan seabrek barang bawaanku lainnya. Kuputuskan untuk langsung beristirahat. Namun, aku keluar kamar sebentar dan menuju dapur, mengambil segelas air untuk melegakan tenggorokanku yang terasa kering. Perhatianku tersita pada ibuku yang tengah duduk di atas kursi rodanya, menatap keluar dinding kaca.
            Sudah hampir dua tahun ini ibu menderita stroke, membuat pergerakannya terbatas dan ia tak bisa lepas dari kursi roda. Karena aku ingin memberinya perhatian maksimal, kuboyong ia bersamaku untuk tinggal di sebuah apartemen di Singapura. Kubayar seorang perawat untuknya, namun bukan berarti aku lepas tangan merawatnya. Hanya itu hal terbaik yang bisa kuberikan sebagai anak.
            “Mak?” panggilku lagi. Baru aku sadar bahwa salamku ketika masuk tadi tak dijawabnya. Apa ibuku tertidur di atas kursi roda? Sepertinya tidak, sebab kepalanya masih tegak dan dari pantulan dinding kaca dapat kulihat matanya mengedip-edip.
            “Ah, ya, ya?!” ia menoleh dan menyahut tergeragap, seakan kehadiranku membuatnya teramat kaget. “Kau sudah pulang?”
            Aku mengangguk. Usai bertanya singkat, ibu kembali menatap keluar. Kuikuti arah pandangnya dan mataku berakhir di taman apartemen di bawah. Tak ada pemandangan istimewa di sana, hanya beberapa remaja yang duduk-duduk di bangku sambil bermain smartphone¸ bocah-bocah yang bermain perosotan, serta beberapa ibu yang tampak bercengkerama sambil berjemur dengan bayinya di bawah matahari sore. Entah apa yang begitu menyita fokus ibu, menyedot seluruh perhatiannya hingga ia bersikap acuh tak acuh padaku.
            Kupilih untuk membiarkan ibu, mungkin ia tengah memikirkan sesuatu. Nanti ia akan berinisiatif sendiri untuk mengajakku bicara. Aku merebahkan tubuh di sofa. Kupejamkan mata. Kubolak-balik tubuhku, kadang terlentang kadang telungkup. Lamat-lamat, kudengar ibu bersenandung. Kutajamkan pendengaran demi menangkap lagu apa yang mengalun dari bibirnya.
O Tano Batak andigan sahat
Au on naeng mian di di ho sambulokki
Molo dung biccar mata ni ari
Lao panapuhon hauma i
Denggan do ngolu siganop ari
Dinamaringan di ho sambulokki
            Aku terkesiap. Lagu itu kukenal dengan baik. Walau sudah lebih dua puluh tahun tidak menjejakkan kaki di Tanah Batak, bukan berarti lagu itu alpa dari pendengaranku. Benakku sibuk bekerja, apa yang ada dalam pikiran ibu sekarang seiring ia menyanyikan lagu itu? Benarkah ia tengah merindu? Melintas pula kata-kata Butet di kepalaku. Kutarik nafas panjang. Aku jadi tak bisa tidur sama sekali.
Medan, 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar