Senin, 05 November 2018

Rahasia Separuh Abad [Cerpen Harian Analisa, Minggu, 04 November 2018]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

RAHASIA SEPARUH ABAD
Oleh Dian Nangin
            Entah kenapa beberapa tahun belakangan ini wajah ayahku sering tampak seperti sedang menanggung sebuah beban berat. Seakan batu besar tengah menindih hatinya, membuatnya mudah lelah, padahal kami sudah tak membebankan padanya pekerjaan sekecil apapun. Barangkali sebuah balas jasa terbaik—walau mungkin tak akan pernah setimpal—yang dapat diberikan anak kepada orang tua adalah mengambil alih semua  pekerjaan dan tanggung jawab, lalu membiarkan mereka menikmati usia senja dengan tenang.
Aku dan saudara-saudaraku telah melakukan segala yang terbaik yang terpikir oleh kami. Seharusnya ayah bahagia melihat semua anak dan cucunya hidup rukun tanpa pernah menjadikan persoalan apapun menjadi besar. Aku sering bertanya-tanya dalam hati, apalagi yang kurang? Namun, wajah tua ayahku semakin lebih sering suram kendati ia suka tertawa untuk menipu kami.
Hingga suatu hari ia menceritakan padaku kisah ini.
Pada masa mudanya, ayah pernah frustasi karena tak juga mendapatkan pekerjaan padahal sudah hampir dua tahun menggenggam ijazah sarjana. Namun, karena tuntutan hidup semakin membengkak dan juga tekanan pertanyaan dari segala penjuru mengenai pekerjaan, ayah memilih mencari uang dengan jalan pintas. Apa saja, asalkan menghasilkan dalam waktu instan.
            Suatu petang temaram, ia menghadang sebuah sepeda motor yang melintas di gang asing yang sepi. Calon korban pertamanya. Seorang perempuan muda yang berkendara seorang diri dengan penampilan tampak seperti baru pulang kantor.
            Setelah membidik dengan cermat dan penuh perhitungan, ia menyalip perempuan tersebut. Tangannya cekatan menarik tas milik korban yang tersampir di pundak. Setelah berada dalam genggaman, ia berencana segera kabur sejauh dan secepat mungkin.
Perempuan itu, walau kaget tak kepalang, ternyata tak mudah menyerah. Ia mempertahankan tas miliknya bahkan hingga sepeda motornya terguling dan ia ikut terseret. Ayah, yang juga tak mau kalah, mengerahkan segenap daya. Berpikir tindakannya sudah kepalang basah dan ia harus berhasil mumpung belum ada orang menunjukkan batang hidung kendati perempuan itu mulai menjerit-jerit. Dalam kepalanya bergaung ego bahwa lelaki seharusnya lebih kuat dari perempuan. Lelaki harus menang.
            Namun yang tak pernah ayah bayangkan sebelumnya adalah bahwa ia akan ‘takluk’ dalam dua detik adu tatap dengan perempuan itu. Bukan mata dengan kilat ketakutan yang ia lihat, namun sebuah sorot yang sulit diterjemahkan, namun cukup membuatnya tidur tak tenang dan merasa bersalah seratus kali lipat dari yang ia perkirakan sebelumnya.
            Itulah kejahatan pertama dan terakhir yang dilakukan oleh ayah. Berbekal hasil jambretan yang merupakan akumulasi dari penjualan tas, dompet, ponsel pintar, dan sebuah jam tangan yang semuanya bermerek cukup terkenal, lelaki itu memulai sebuah usaha kecil-kecilan.  
            Setelah mempunyai usaha walau dengan cara yang tak biasa, ia berencana membuat perempuan korban kejahatannya jatuh cinta padanya. Barangkali ia berpikir bisa menebus kesalahannya dengan cinta. Lagipula ia memang telah jatuh hati sejak awal.
Begitulah. Berbekal tanda pengenal yang berada dalam dompet yang kemudian disimpan ayah, ia mendekati perempuan yang kelak menjadi ibu. Ayah mengucap syukur berkali-kali, setelah awalnya sangat was-was, ternyata ibu tidak mengenalinya. Beruntung waktu itu ayah memakai kupluk bertopeng dibalik helm hingga wajahnya terlindungi. Hanya sepasang matanya yang tampak, namun ternyata itu telah bicara banyak.
Di akhir cerita, ayah menyampaikan sebuah permintaan “Jangan pernah kau ceritakan pada ibumu perihal ini.”
“Mengapa?” tanyaku penasaran.
“Ia tak perlu tahu,” jawabnya ringkas tanpa benar-benar mengutarakan alasan yang masuk akal.
            Namun, memendam rahasia tak ubahnya menyimpan bom waktu. Ia bisa meledak pada waktu yang kadang di luar dugaan, saat tak ada yang siap mengantisipasi. Demikianlah rahasia yang dipendam ayah menemukan waktunya.
Saat itu, tepat di hari-H pesta ulang tahun emas pernikahan orang tuaku, ibu jatuh sakit. Mau tak mau kami harus membatalkan pesta, lalu sibuk menjelaskan kepada kerabat dan para undangan, serta menderita kerugian besar. Tapi apa boleh buat, kesehatan ibuku yang sudah merenta jauh lebih penting dan pesta itu tak bisa dipaksakan. Selebrasi yang dirancang mewah dan megah itu harus berlalu begitu saja.
            Kupikir pesta itu akan menjadi puncak kebahagian mereka selama hidup. Bayangkan, berapa banyak rumah tangga yang bertahan tak retak selama 50 tahun? Atau, berapa banyak pernikahan yang begitu panjang umur hingga usia lima dekade tanpa dipisahkan kematian atau dikacaukan orang ketiga?
***
            Sejak ibu dirawat di rumah sakit, ayah semakin sering menekuk wajah. Meski demikian tak pernah seharipun ia beranjak dari sisi ibu. Ia bersikeras melakukan semua pekerjaan yang seharusnya kami lakoni, seperti menyuapinya makan, mengelap tubuhnya dengan air hangat, memijiti kaki atau mengganti pakaiannya.
            Ayah mencintai dan menjaga ibu dengan teramat berhati-hati, memperlakukan perempuan itu tak ubahnya gelas antik yang rapuh—dan hanya ada satu di dunia. Dulu, perangainya itu membuatku mendambakan kekasih yang punya kemiripan sifat dengannya. Bukankah memang orang-orang berkata bahwa setiap anak perempuan akan menetapkan sang ayah sebagai standar calon pasangannya? Pendapat ini barangkali relatif, namun benar demikian menurutku.
Menyimpan rahasia, pepatah mengibaratkannya bagai menyembunyikan bangkai tikus. Lambat laun bau busuknya akan tercium juga. Ayah memang menyembunyikan sepotong bangkai, namun ia menyumbat hidung ibu sebaik mungkin hingga busuknya tak mampu diendus perempuan itu. Dan, aku tak habis pikir mengapa ayah memilih untuk terus menyembunyikan hampir lima puluh tahun daripada mengakui dan lalu membersihkan segala kotor dan busuknya.
            Mengapa ayah demikian khawatir? Kalau rahasia itu yang membuat perangainya demikian muram akhir-akhir ini, mengapa ia tidak mengakuinya saja? Pengakuan itu barangkali hanya akan dianggap lelucon oleh anak-anaknya. Barangkali ibu juga telah memaafkan dan melupakannya. Kami akan mengenang mereka sebagai takdir yang berujung manis walau berawal dari kesalahan. Cerita yang kelak bakal jadi legenda keluarga dan diceritakan secara turun temurun. Kisah itu akan kami jadikan sebagai bahan untuk mengolok-olok pasangan tua itu hingga pipi mereka memerah layaknya dua remaja yang dimabuk cinta picisan.
            Ternyata, bayangan dalam kepalaku tak selalu sepakat dengan kenyataan. Hal itu kutemukan di suatu petang ketika aku menjenguk ibu, namun kutahan langkahku tepat di depan pintu yang sedikit membuka demi mendengar percakapan lirih yang berasal dari dalam ruangan.
            “Yang menjambretku puluhan tahun silam itu....kau, kan?” tanya ibu dengan suara serak yang lemah. Nada suaranya datar, hingga tak mampu kubaca emosi apa yang ada di dalamnya.
            Ayah terkesiap, tak dapat mengelak dan tak ada apapun yang dapat dijadikan pengalih pembicaraan. “Bagaimana kau tahu?”
            “Aku tak pernah bisa melupakan matamu. Aku menunggu kau mengakuinya, tapi kau tak pernah jujur.”
            Aku mematung di tempat. Bagaimana bisa mereka berdua terperangkap dalam rahasia yang sama tanpa pernah mengungkapkannya selama bertahun-tahun? Apa yang dilihat ibu dalam mata ayah pada waktu ia dijambret dulu? Aku ragu cintalah yang ia lihat di sana, sebagaimana yang dilihat ayah pada sorot mata ibu.
            “Maafkan aku. Barangkali caraku memulai segalanya bisa dibilang tidaklah baik. Amat sadar kelakuanku sangat tidak mulia. Tapi cintaku padamu,” kata ayah sungguh-sungguh,” benar-benar tulus.”
            Ibu terdiam, tak berkomentar sepotong katapun. Hening menguasai ruang hingga beberapa waktu lamanya. Tiba-tiba, seakan teringat sesuatu, ayah bertanya sambil mengerling penasaran. Seulas senyum bermain di bibirnya—senyum pertamanya setelah berbulan-bulan berwajah muram. “Lalu, apa alasanmu tetap menerimaku?”
            Telingaku tegak. Aku memasang pendengaran sebaik mungkin. Pertanyaan ayah barusan adalah pertanyaan yang juga selama ini kupendam karena lelaki itu tak pernah memberiku kesempatan untuk menanyakannya pada ibu. Kufokuskan pandangan ke dalam ruangan. Ibu masih belum menjawab. Ayah dan aku berada dalam penantian yang sama.
            “Karena...” belum usai ibu menjawab, ia mendadak tersedak. Dalam hitungan detik nafasnya terputus. Perempuan itu telah pergi. Ia membawa alasan itu serta. Sampai kapanpun kami tak akan pernah bisa mendengarnya.
Medan, 2017-2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar