Jumat, 30 November 2018

PENGALAMAN MEMBACA DAN GENRE FAVORIT


Hobi

Sejak kapan suka baca? Kalau diberi pertanyaan ini, saya teringat pada orang-orang yang  sering mengikuti ajang pencarian bakat menyanyi. Sejak kapan suka bernyanyi? Mereka mengatakan sudah bernyanyi sejak usia 2-3 tahun. Wow! Saya bayangkan di umur sebelia itu mereka bersenandung dalam bentuk ocehan merdu 🎵


Tapi, saya belum bisa membaca di usia demikian. Saya suka membaca sejak saya mengenal huruf, yakni ketika memasuki usia sekolah, sekitar 6 atau 7 tahun. Saya ingat betul saya melahap semua kisah teramat pendek di buku materi bahasa Indonesia, yang kebanyakan bertokohkan Budi, Ani, atau Nadia. Bahkan, saya menyukai soal-soal di buku matematika yang berbentuk cerita, seperti: Andi memiliki lima apel. Suatu hari ia kedatangan sepupunya, si Budi, dari kampung. Andi lalu memberi dua apel miliknya kepada Budi. Berapakah sisa apel yang dimiliki Andi? 😄
Imajinasi saya langsung bekerja membayangkan buah apel berwarna merah milik Andi. Lalu si Budi datang dari sebuah kampung (saya juga sampai membayangkan suasana kampung tersebut) dan mereka berinteraksi, berbagi apel sesuai dengan yang diceritakan. Soal cerita yang sangat sederhana, namun itulah titik mula hobi membaca mengakar dalam diri saya.
Sejak itu, mata saya tak pernah terlepas dari buku. Saya membaca di waktu senggang (tentu!), ketika makan, sewaktu sedang dalam perjalanan, yah, kapan saja ada waktu walau sebentar!
Apalagi ketika berkenalan dengan komik yang rata-rata memiliki ukuran kecil, saya bahkan membawanya ke dalam kamar mandi dan membaca ketika sedang BAB! Hayoooo....siapa yang seperti saya, diam-diam menyelundupkan komik ke dalam toilet?? 😆😆
Siapa yang mewariskan hobi ini? Saya tak yakin. Mungkin dari ibu saya yang suka membaca buletin gereja, atau dari ayah yang suka membaca koran, atau bibi-bibi saya yang berprofesi sebagai guru dan sewaktu kecil suka meminjamkan saya buku dari perpustakaan sekolah tempat mereka mengajar.

Genre Favorit

            Berbicara mengenai genre, saya yakin semua orang mengalami perkembangan bahan bacaan seperti yang saya alami. Sewaktu kecil, saya hanya sekedar menikmati teks-teks cerita dalam buku pelajaran. Lalu saya berkenalan dengan majalah kanak-kanak Bobo dan komik.
            Baru sepuluh tahun belakangan ini saya mulai melahap bacaan bergenre sastra. Saya sebenarnya bingung. Pembacakah yang memilih genre yang mereka sukai, atau genre itu sendirikah yang memilih pembacanya? Apakah kita sebagai pembaca pernah memilih? Saya tak tahu apakah saya memilih atau dipilih.
            Saya ingat persis bagaimana pertama kali saya membeli novel pertama saya dan itu bergenre sastra. Waktu itu, saya pergi ke satu-satunya toko buku yang ada di kampung untuk membeli buku kumpulan soal untuk SMA (saya kelas 2 SMA waktu itu). Saya sangat jarang pergi ke sana, hanya sering mengunjungi lapak-lapak buku loak untuk membeli majalah atau novel bekas yang tipis.
           Di toko buku tersebut, saya melewati rak bagian novel. Sebuah novel dengan cover film Laskar Pelangi tertangkap mata saya. Akhirnya, saya meletakkan buku kumpulan soal yang sudah saya ambil, lalu membawa novel karya Andrea Hirata tersebut ke kasir, padahal saya tidak kenal novel itu (padahal sudah cetakan kesekian), saya tak tahu siapa Andrea Hirata, saya tidak hobi nonton hingga tidak tahu informasi filmnya, pokoknya clueless sama sekali. Buku kumpulan soal yang juga saya perlukan akhirnya saya beli di lapak loak setelah menawar dengan tajam. 💥 


Saya turut larut dalam euforia masyarakat Indonesia yang waktu itu beramai-ramai membaca novel Laskar Pelangi. Ketika menamatkan novel tersebut, saya merasakan sebuah ‘klik’. Saya belajar menulis dengan berangkat dari novel tetralogi Andrea Hirata.
Lalu, tumbuh niat dalam diri saya untuk mulai mengirim tulisan ke koran-koran karena menghasilkan uang J. Lalu saya mulai membaca tipe-tipe seperti apa tulisan yang dimuat di koran—saya menyasar rubrik cerita pendek, dan saya menemukan kebanyakan yang diterbitkan adalah cerpen sastra.
Selanjutnya, karena keterbatasan biaya, saya hanya membeli novel-novel yang dapat membantu saya dalam proses kreatif menulis cerpen (kecuali ada diskon besar-besaran). Saya mulai mengoleksi karya-karya sastrawan, seperti Seno Gumira Ajidarma, Andrea Hirata, Ahmad Tohari, Pramoedya, Dee Lestari, Jostein Gaarder, George Orwell, Jane Austen, dan sebagainya. Saya merasakan dua manfaat dengan membaca karya-karya mereka: hasrat membaca saya terpuaskan dan saya juga mendapatkan inspirasi dalam menulis. Namun, saya tidak menutup diri terhadap genre lain, kok! Saya tetap membaca novel-novel karya Jojo Moyes, Jenny Han, Dan Brown, dan lain-lain, dengan meminjam mereka pada teman-teman sesama pecinta buku 😀😀😀
Tetaplah membaca! Kegunaannya akan kita rasakan suatu hari nanti! Kalau tidak menggemari genre apapun, pilihlah buku yang setidaknya menyenangkan. Ulasan tentang buku tertentu bisa dilihat di goodreads atau googling. Banyak kok orang-orang yang mengulas buku di blog atau media sosial. Bila mungkin manfaat konkrit membaca tidak dirasakan secara langsung, paling tidak ceritanya bisa menghibur dan membantu melepaskan lelah. 😎

Salam literasi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar