Sabtu, 01 Desember 2018

Menunggu Hujan Reda [Cerpen Harian Waspada, Minggu, 25 November 2018]

ilustrasi oleh Harian Waspada

MENUNGGU HUJAN REDA
Oleh Dian Nangin
Air jatuh satu-satu dari bibir atap. Memuaskan dahaga bunga-bunga dalam pot yang seharian ini dibanjur terik matahari. Air juga jatuh di permukaan aspal. Di puncak kepala orang-orang di jalanan yang lantas menepi dan mencari tempat berteduh. Rinainya berubah deras ketika lelaki itu baru akan menyudahi pertemuan dengan perempuannya. Sudah hampir dua jam ia duduk berdua dengan perempuan itu pojok kafe, menyesap kopi hitam dan menikmati roti bakar. Live music jazz menambah suasana romantis.
“Ayo, pesan secangkir lagi! Barangkali ini hari keberuntunganku, bisa sedikit berlama-lama denganmu. Biasanya pekerjaan menahanmu untuk lembur, biarlah hari ini hujan yang menahanmu untukku,” perempuan itu berkata lembut sambil mengangkat tangan, kembali memanggil pelayan kafe.

Kata-kata itu berhasil meluruhkan niat si lelaki yang hendak pergi. Senyum perempuan di sebelahnya tersebut begitu manis dan meluluhkan hati. Ia menghempaskan diri lagi di atas kursi. Tak apalah, pikirnya. Hujan terlalu deras untuk dilawan, hanya akan menghadiahinya flu dan demam.
Lagipula, jarang ada kesempatan bagi mereka untuk bertemu seperti sekarang. Mungkin ini saat untuk menebus ketidakhadirannya pada hari-hari yang lalu di sisi perempuan yang ia sayangi itu. Segala pekerjaan dan urusan lain bisa ditunda, sesekali.
Cangkir-cangkir mereka kembali berisi. Sepiring lagi roti bakar datang melengkapi. Namun, lelaki itu tampak tak bisa menikmati momen tersebut. Padahal beberapa saat lalu ia ikut bersenandung  bersama si vokalis band sambil mengelus kepala perempuannya yang rebah di pundaknya. Tapi kali ini ia sibuk menggoyangkan kaki sarat gelisah.
Sepuluh menit kemudian, lelaki itu tanpa sadar mulai mengetuk-ngetukkan jemari di atas meja sambil melongok-longokkan kepala ke arah dinding kaca, memeriksa barangkali hujan di luar sudah berhenti. Buku-buku jarinya beradu dengan permukaan meja kayu, menghasilkan bunyi berisik yang mengacaukan denting-denting indah piano si musisi jazz.
Perempuannya lambat laun merasa terusik. “Apa sih yang membuatmu gelisah begitu?”
Si lelaki tersadar, tergagap mencari jawaban. “Ah, bukan apa-apa. Aku hanya baru ingat kalau tadi aku lupa mengangkat kain jemuran, padahal di antaranya ada baju yang akan kupakai untuk kerja besok.”
Si perempuan geleng-geleng sambil menghela nafas. “Ternyata itu yang kau pikirkan? Biarlah. Jemuranmu sudah kepalang basah.”
“Ya, memang. Akan kukenakan pakaian lain besok.”
Si lelaki tampak tenang sejenak. Ia menghirup kopinya yang sudah dingin dan ia tak dapat meresapi bagaimana rasanya. Tangannya bertahan untuk tidak mengetuk-ngetuk meja lagi. Si perempuan kembali merebahkan kepalanya di bahu lelaki itu, melanjutkan kemesraan seperti yang terjalin beberapa saat lalu. Tapi si lelaki merasa bahunya berat, seakan ditindih beban ratusan kilo. Sesekali ia bergerak untuk menghindari kepala perempuan itu.
“Mengapa kau tidak bisa bersikap manis sebentar saja? Masihkah kau pikirkan pakaian di jemuran yang telah basah itu? Astaga! Di suasana seromantis ini, tidak adakah hal lain yang bisa kita bahas selain jemuran basah?”
Lelaki itu hanya diam, tak ingin berdebat. Sesungguhnya bukan pakaian di jemuran itu yang kupikirkan, tapi tidak mungkin aku jujur, pikirnya. Si perempuan hanya mendengus. Sikap dan sifat lembut yang ia miliki menguap perlahan. Ia meraih cangkir dan menyesap habis isinya dengan rasa jengkel yang kentara.
***
            Sudah pukul sebelas malam. Deru rinai hujan yang menimpa genteng terdengar riuh. Mungkin sebentar lagi, batin seorang perempuan yang tengah rebahan sambil berselimut di sofa. Hujan masih begitu deras, mungkin ia terjebak di suatu tempat dan tak bisa memaksa untuk menerobos hujan.
Demikian perempuan itu memelihara kesabaran ketika menunggu lelakinya pulang malam ini. Kesabaran yang teriring sepi. Ia berusaha untuk tidak jatuh ke dalam lelap. Sebab, bila ia tertidur, mungkin ia tak akan mendengar kedatangan lelakinya. Ia ingin membukakan pintu, menyambut, dan membawakan tas kerjanya. Bukankah istri yang baik harus bersikap hangat dan menunjukkan kesetiaan pada suami yang telah menafkahi dan menyayanginya?
Jadi, ia terus menjaga kesadaran kendati matanya mulai memerah dan mulutnya telah menguap beberapa kali. Ia bertahan untuk tetap menunggu lelakinya, lelaki yang juga tengah menunggu hujan reda di sebuah kafe bersama perempuannya yang lain. 
Medan, 2018

2 komentar: