Minggu, 30 Desember 2018

RINDU [Cerpen Harian Analisa, Minggu 30 Desember 2018]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan

RINDU
Oleh Dian Nangin

            Seorang perempuan tua, suatu siang jelang sore, asyik berkemas. Anak dan cucunya sibuk dengan kegiatan masing-masing di luar sana. Sementara seharian ini—pun ratusan hari sebelumnya, yang ia lakukan hanyalah duduk mengaso di rumah. Hampir mati ia didera bosan, pun ia tak diizinkan oleh anak-anaknya untuk melakukan pekerjaan walau sekedar kegiatan kecil. Cukup sudah tenaga masa mudanya habis terkuras karena bekerja keras, demikian selalu anak-anaknya berkata. Yang ia lakukan sekarang hanyalah bersantai, menikmati masa tua tanpa beban, tak perlu kemana-mana.
Namun, selalu ada hal-hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Seperti sore ini, ia mendapati rasa rindunya terhadap anak perempuannya yang tinggal bersama menantu dan cucu-cucunya di lain desa telah membengkak.
Tak henti-henti hatinya didera penasaran, apakah anak perempuannya baik-baik saja, apakah menantunya sehat, sudah sebesar apakah cucu-cucunya sekarang. Batinnya bertanya-tanya apakah keluarga anak perempuannya kekurangan sesuatu, seakan lupa bahwa sang anak sudah dewasa dan bahkan telah menjadi ibu bagi cucu-cucunya. Namun, baginya sang anak tetaplah putri bungsu yang senantiasa ia cemaskan.    
Rindunya tak bisa dilipur hanya dengan komunikasi lewat benda-benda canggih yang membuat telinganya berdenging dan matanya silau. Hanya pertemuanlah obat paling mujarab. Maka, walau geraknya lambat, perempuan tua itu bersiap. Ia mematut kebaya encim bututnya di cermin dan mengakali kancing yang hilang dengan peniti, lalu mengenakan sarung batik  kesayangannya. Perempuan tua itu lalu menyeret langkahnya menuju perbatasan desa.
Biasanya, ia selalu pergi ke tepi jalan dan menyetop angkutan desa. Angkutan itu mengantarkannya ke stasiun kota kabupaten, dan dari sana ia berganti mobil. Tak ada yang menaruh perhatian padanya—seorang perempuan tua duduk di pojok, dengan mata lamur yang sibuk memperhatikan jalanan, menerka-nerka dimana ia sudah tiba, khawatir tempat tujuannya akan terlewatkan. Lalu, tiba-tiba ia berseru pada supir, mengagetkan semua penumpang. Dengan senyum sumringah, ia turun dengan langkah yang sangat lamban, membuat jengkel hati anak-anak muda yang tak punya kesabaran. Ia membayar ongkos lalu memasuki sebuah rumah berpagar bambu
***
            Namun, dunia telah berubah seiring waktu berjalan. Keramaian jalan raya semakin mengerikan. Telinga si perempuan tua sudah tak tahan mendengar klakson dan mesin-mesin kendaraan yang meraung. Kaki dan matanya tak lagi telaten ketika hendak menyeberang. Tapi itu tak menyurutkan langkahnya. Ada jalan lain yang bisa ia tempuh demi menuntaskan rindunya.
Di tengah matahari terik, ia menyeret kakinya selangkah demi selangkah. Ia berencana melakukan perjalanan seorang diri menuju desa sebelah dimana keluarga anak perempuannya tinggal. Seingatnya, ia hanya perlu menyeberangi sebuah sungai yang tak terlalu lebar, sebuah hutan kecil yang belakangan semakin gundul, dan beberapa ladang. Bila perkiraan waktunya tepat, ia akan tiba sebelum matahari terbenam. Ia yakin tak akan tersesat karena dulu, semasa muda, tak terhitung berapa kali ia dan saudara-saudaranya berjalan kaki dari satu desa ke desa lain untuk berbagai keperluan.
            Setelah berjalan cukup lama, tibalah ia di tepi sungai. Tas kainnya dikepit erat-erat. Kakinya beberapa kali goyah ketika menginjak permukaan batu yang licin. Sebenarnya sungai itu tidak dalam, namun riak-riaknya yang deras bisa saja menggoyahkan pijakan lemah perempuan tua itu. Mata lamurnya mencari-cari pijakan yang tepat di dasar sungai, sementara telinganya dipenuhi pekik anak-anak kecil yang asyik berenang dan samar celoteh para perempuan yang sibuk mencuci kain di hilir.
            Ujung sarungnya basah ketika ia keluar dari sungai. Ia lalu bertemu hutan kecil yang benar ada seperti dalam ingatannya. Kaki dan ujung sarungnya yang basah dengan cepat mengering ketika beradu dengan permukaan semak-semak yang menghitam bekas terbakar. Noda sepekat jelaga segera menghiasi telapak kakinya.
             Setelah lama berjalan, peluh membanjiri tubuh si perempuan tua, membuat kebaya encim yang ia kenakan basah kuyup. Ketika rasa lelah tak terbendung lagi, ia berhenti di bawah pohon atau menumpang duduk di gubuk-gubuk tengah ladang. Petani-petani pemilik ladang memberinya satu dua teguk air minum. Setelah mendapatkan kekuatannya kembali, ia melanjutkan perjalanan. Pelan, tertatih, namun ia terus melangkah ke depan.
Ia mengandalkan akar-akar pohon ketika berhadapan dengan jalan menanjak yang sebenarnya cukup mudah untuk dilewati, namun tidak untuk tubuh tuanya. Sambil mencengkeram erat akar-akar pohon itu, ia menarik tubuhnya naik dengan susah payah. Nafasnya tersengal namun bibirnya tersenyum karena puas masih mampu menaklukkan tanjakan.
Ia memilih duduk di tanah dan meluncurkan tubuh pelan-pelan ketika berhadapan dengan jalan menurun. Ketika isi kantung kemihnya penuh, ia menghamburkannya begitu saja di semak-semak—ia tak cukup kuat lagi menahannya.
            Setibanya di tepi jalan beraspal, ia sudah tampak seperti gembel. Gelungan rambut putihnya tak lagi rapi. Pakaiannya kotor dan berbau apek. Buntelan tas butut yang ia sandang melengkapi penampilannya. Deru kendaraan yang melaju kencang membuatnya takut, memaksa langkahnya mundur. Pemandangan asing yang ia temui membuatnya kebingungan. Seingatnya, dulu  rumah belum begitu banyak.
Beberapa orang yang merasa iba berhenti untuk menanyakan kemana ia hendak pergi. Perempuan tua itu menyebut nama anak perempuannya, nama menantu, serta cucu-cucunya—sebanyak yang ia ingat. Seseorang mengangguk dan bersedia mengantarnya ke tempat yang ia tuju.
Raut lega terpancar dari wajahnya ketika ia melihat rumah yang familiar dalam ingatannya. Akhirnya ia tiba, tepat ketika matahari terbenam di arah barat. Perempuan tua itu tersenyum sambil menarik nafas panjang, bahagia karena perjuangannya tak sia-sia. Rasa senangnya begitu kentara, hingga lama baru menyadari bahwa ada satu sosok yang alpa dari keriuhan yang menyambut kunjungannya yang tanpa kabar.
            “Dimana anakku?” perempuan tua itu bertanya, melongokkan kepala ke arah dapur dan pekarangan belakang, menduga anak perempuannya masih sibuk memberi makan ternak ayamnya.
            Sang menantu menatapnya sedih. “Dia sudah meninggal. Setahun lalu. Ibu sudah tahu itu.”
            Perempuan tua itu terhenyak, lalu menggeleng. “Meninggal? Tidak, aku tidak tahu. Tak seorang pun memberitahuku.”
            Sang menantu hanya diam. Wajahnya muram. Sedangkan cucu-cucunya mulai tersedu. Membicarakan tentang seseorang yang telah berlalu dari kehidupan tak pernah mudah.
“Tak mungkin ia sudah meninggal. Baru tiga bulan lalu kami bertemu. Aku begitu merindukannya, sampai aku rela berjalan kaki datang ke sini. Aku rindu anakku.”
            Tak ada yang mendebat atau berusaha memberi penjelasan. Isak-isak kecil memenuhi pendengaran. Kadang, kenyataan bisa terasa begitu pahit. Si perempuan tua senantiasa merindukan anak perempuannya yang tak ia ingat sudah meninggal. Pikun mengambil alih daya ingatnya ketika usianya menginjak tujuh puluh tahun, lima tahun lalu. Tatapan mata perempuan tua itu tampak kosong ketika ia berusaha membuka memorinya setahun terakhir.
            Ketika ia akhirnya ingatannya terbuka, tumpahlah tangisnya. Benar, anak perempuannya  telah meninggal tahun lalu karena kecelakaan. Ia ingat menjaganya di rumah sakit, menyuapinya makan, bernyanyi kala malam hari, seolah putrinya masih berumur lima tahun yang merebahkan diri di pangkuannya. Ia ingat kala itu meratap sambil menyalahkan Tuhan, mengapa bukan ia yang ‘dipanggil’ lebih dulu, melainkan anak perempuannya yang seharusnya masih menjalani kehidupan yang panjang.  
Air matanya baru mereda ketika datang sebuah telepon dari desa seberang. Anak lelaki serta menantunya tentu kaget dan panik mendapatinya tak lagi di rumah.
“Astaga, mengapa ibu tak pamit ingin pergi? Aku bisa mengantar ibu,” anak lelakinya, di ujung telepon menumpahkan amarah tertahan.
Perempuan tua itu termangu sejenak. Tak ia ingat sudah berapa kali ia meminta, namun sang anak atau cucu-cucunya selalu menunda mengantarnya dengan berbagai dalih. “Aku tak ingin mengganggu pekerjaanmu.”
“Bagaimana kalau ibu celaka di jalan? Tersesat?”
“Tak mengapa. Ibu baik-baik saja. Ibu hanya rindu adikmu, ingin bertemu. Ibu tak ingat, ternyata, ia sudah….” kalimatnya menggantung. Tak seorang pun menyelesaikannya. Semua terdiam. Hanya ada sunyi.
Medan, 2018

2 komentar:

  1. Ah, makin lama makin keren. Terbawa hanyut aq dalam rangkaian kata - kata penulis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aihhh, Kaka Tua muncul di sini, hehehe. Enjoy the story, Wa, kalo ada koreksi atau masukan-masukan, monggo disampaikan.....

      Hapus