Senin, 07 Januari 2019

Sepeninggal Rani [Cerpen Remaja Analisa, Minggu 06 Januari 2019]

ilustrasi oleh Harian Analisa

SEPENINGGAL RANI
Oleh Dian Nangin
Sore ini mendung, seakan menggambarkan situasi hati empat anak muda yang masuk beriringan ke sebuah kafe di mall terbesar di pusat kota. Tiga laki-laki, satu perempuan. Waitress yang selalu menyambut mereka pun merasa heran. Biasanya mereka masuk dengan berisik atau tertawa-tawa, mengundang banyak mata untuk menoleh. Namun,  kali ini beda.
“Kapan berangkat, Ran?” Forman bertanya begitu mereka duduk.
Pertanyaan yang sama untuk kesekian kali sejak dua bulan lalu Rani mengutarakan keputusan ayahnya. Sang ayah yang baru naik jabatan di kantor dipercayakan untuk berangkat ke Hongkong. Mengurus cabang perusahaan di sana. Mereka sekeluarga ikut diboyong dan akan menetap cukup lama.
Rani merasa sedih sekaligus antusias dengan rencana itu. Sedih karena harus meninggalkan sekolah, teman-teman, dan kehidupannya yang menyenangkan di Jakarta. Terlebih harus berpisah dengan tiga sahabat laki-lakinya itu. Namun, ia juga antusias karena akan mendapat pengalaman baru di luar negeri.

“Lusa, Forman,” jawab Rani. Pertanyaan dan jawaban itu seolah seperti countdown, mengingatkan bahwa kebersamaan mereka tidak lama lagi. Dan, kini hitungan mundur itu akan kehabisan angka.
Sore ini mereka berempat berkumpul di kafe Pesona Senja, memanfaatkan waktu yang tersisa. Tak ada perpisahan yang mudah untuk dilewati, tak akan mudah melupakan persahabatan mereka yang begitu manis. Bisma, yang menjadi saingan ketat Rani dalam memperebutkan ranking satu dan dua di kelas. Sejak SMP dulu, mereka hanya berkutat di peringkat yang itu-itu saja. Meski sering mendebatkan pelajaran dan saling bersaing, namun itu tak menjadikan mereka musuh.
Lalu Putra, yang selalu menyontek dan tak peduli bila Rani bersikeras memaksa cowok itu mempelajari persoalannya sampai bisa. Namun, hanya cowok itu pula yang punya ketabahan tingkat tinggi ketika mengajari Rani dalam hal olahraga. Membidik ring basket, misalnya. Atau cara melakukan servis dalam bermain voli agar bola masuk ke wilayah lawan.
Terakhir, Forman. Orang paling sportif yang Rani kenal, bahkan rela tidak membela bila sahabatnya sendiri yang melakukan kesalahan. Bersama mereka, Rani merasa bebas menjadi dirinya sendiri.
“Aku akan kangen semua saat-saat kebersamaan kita,” Putra angkat bicara setelah beberapa menit mereka hanya membisu.  
Kalau selama ini aku banyak salah, tolong dimaafin, ya. Mungkin aku sering nyolot, bikin repot, nyusahin kalian...”
“Ya, kami maafkan,” potong Bisma.
“Kami, kan, teman-teman terbaikmu, Putra menyambung. Rani memonyongkan bibir, sementara ketiga sahabatnya tertawa lepas.
“Semoga aku bertemu teman baru yang sebaik kalian di sana, harap Rani.
“Ya. Asal kau tidak salah menyebut nama nanti,” celetuk Bisma. Mereka sontak terbahak mengingat kejadian lucu yang pernah terjadi.
Saking solidnya persahabatan itu, keempatnya nyaris tak pernah pacaran. Merasa telah saling melengkapi. Merasa hebat dan bisa mengatasi apa saja. Namun, Rani sebenarnya pernah didekati oleh beberapa cowok. Ada Josua si kakak kelas, pengurus mading bernama Pattrik, hingga Agus, murid yang terkenal badung. Tapi, semuanya bubar di tengah jalan karena Rani sering salah memanggil nama.
Ketika Rani menghabiskan weekend dengan Josua, ia malah memanggilnya dengan nama Forman. Satu dua kali, Josua masih menoleransi. Tapi kali ketiga, keempat, ia tak tahan lagi, menganggap kedekatan Rani dengan ketiga sahabat laki-lakinya itu sedikit berlebihan.. Kasus yang sama juga terjadi pada Pattrik dan Agus. Sewaktu Rani menceritakan insiden itu, bukannya bersimpati, ketiga sahabatnya malah tertawa geli sampai sakit perut.
“Itu bukti bahwa kami tidak akan pernah tergantikan di hatimu.”
“Siapa bilang?” Rani pura-pura memasang wajah mual. “Kalian juga tidak pernah dekat dengan cewek lain! Jangan-jangan kalian juga tidak bisa lepas dariku?!”
Putra menyangkal cepat. “Apa di antara kalian ada yang punya perasaan lebih pada nona  ini? Kalaupun ada, aku tak keberatan.”
Forman menggeleng. “Tidak, terima kasih atas tawarannya. Masih banyak gadis lain di luar sana yang mengantri untuk sekedar makan di kantin bersamaku.”
Pandangan beralih pada Bisma. Cowok itu berujar penuh percaya diri. “Kalian ingat Ami, cewek cantik kelas sebelah? Dia masih mengejarku sampai sekarang. Sepertinya ia lebih menarik daripada Rani.”
Gadis itu merengut mendengar ketiga sahabatnya dengan kompak mencelanya. Namun, ia tahu itu hanya canda belaka. Malah tiba-tiba ia disentak rasa sedih, setelah sedari tadi bersikap tegar. “You guys, will always be my bestfriend.
***
Siang ini terik. Bisma, Forman, dan Putra menghadapi jam pelajaran terakhir dengan muka lesu. Ini minggu kedua tanpa Rani. Mungkin terdengar berlebihan, tapi sepeninggal gadis itu rasanya mereka kehilangan semangat. Sebenarnya guru biologi berhalangan masuk. Namun, ia menitipkan seabrek tugas, membuat kelas semakin lesu.
Cukup tiga puluh menit bagi mereka untuk menyelesaikan tugas itu. Sisa waktu dihabiskan penghuni kelas dengan beragam kegiatan. Bisma meminjam ponsel Forman. Ia mengutak atik tanpa tahu sebenarnya ingin melakukan apa, berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain. Sementara Forman membaca komik doraemon milik Putra. Hanya Putra seorang yang tampak berkutat dengan buku-buku pelajaran. Dengan semangat penuh ia menyalin jawaban tugas dari buku Bisma yang harus diserahkan besok pagi.
            Kebosanan itu semakin nyata tanpa Rani yang biasanya suka membuat kesibukan yang cukup asyik dilakukan untuk menghabiskan waktu. Mulai dari mengisi TTS, mengulang pelajaran, menghafal lirik lagu baru, hingga mengisengi teman mereka yang lain. Kini mereka harus membiasakan diri tanpa kehadiran sang sahabat.
 Di tengah keasyikan mengotak-atik ponsel Forman, Bisma menemukan foto Rani di folder tersembunyi. Foto yang teramat manis. Gadis itu tersenyum meski pandangan matanya tidak menatap kamera. Candid.
Sementara itu Forman terkesiap. Ia mendapati satu halaman komik penuh coretan. Di atas Nobita tertulis nama Putra, sedangkan di atas Shizuka tertulis nama Rani. Emoticon senyum dan bentuk hati bertebaran dimana-mana. Ini sungguh ganjil, kekanakan. Putra, yang mengaku tak punya perasaan apa-apa terhadap Rani, ternyata menyimpan sesuatu. Putra tak tahu bahwa Forman memandangnya dari belakang dengan mata tajam. Putra dengan semangat penuh terus mencatat, agar ia tak perlu kelabakan besok pagi. Namun, ketika membalik halaman buku tulis Bisma, ia menemukan secarik kertas kecil yang dilipat rapi.
Ia membukanya. Ada sajak tertera di sana.
Malam ini bulan bersinar terang sekali
Hanya pada binarnya yang benderang aku berani mengaku tentang cinta
Untuk gadis yang membuat rindu ini indah
Rani
Putra perlahan memutar kepala ke belakang. Ia terkaget ketika ternyata dua sahabatnya yang lain pun tengah saling menoleh. Tanpa kata, Bisma menunjukkan ponsel Forman dengan foto Rani  terpampang di layarnya. Forman menunjukkan halaman komik dengan coretan nama Putra dan Rani. Putra tak tahu harus bicara apa, hanya menggenggam erat kertas kecil berisi puisi dari Bisma. Puisi untuk Rani. Ketiganya membisu, saling memandang penuh selidik dengan alis bertaut.
Medan, 2017-2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar