Selasa, 22 Januari 2019

Dunia di Luar Rahim [Cerpen Banjarmasin Post, Minggu 20 Januari 2019]

ilustrasi oleh Banjarmasin Post

DUNIA DI LUAR RAHIM
Oleh Dian Nangin

“Tentang apa sebenarnya hidup ini?”
Pertanyaanku membuatnya tertawa. “Hei, kau—kita—masih muda. Kenapa pertanyaanmu begitu serius?”
“Aku sudah memikirkannya begitu lama. Tapi tak pernah kutemukan jawaban yang utuh,” aku mendongakkan kepala. Andai langit punya pikiran, apa pendapatnya tentang kehidupan di bumi yang saban waktu dilihatnya dari atas sana?
“Sudahlah. Tidak usah memikirkan hal-hal yang berat. Di usia ini kita hanya perlu menikmati hidup dan bersenang-senang,” ujarnya ringan.
Aku menggeleng, semua ini tidak sesederhana itu. Banyak hal yang menerobos masuk ke dalam ruang pikirku, tak dapat kuabaikan begitu saja.
“Kemana kita akan pergi?” ia bertanya, bosan. Sudah dua jam kami duduk di halte ini tanpa naik ke salah satu bus yang sejak tadi datang dan pergi.
“Kemana saja,” aku menjawab asal. Sejak melangkah keluar rumah tadi, aku memang tak punya rencana untuk dilakukan dan tak punya tempat untuk dituju.
“Eh, tapi jangan katakan pada ibuku kalau kita berkeliaran begini. Ia takkan suka aku bertingkah seperti ini.”
Ibuku sangat protektif sekalipun aku telah menjelang dewasa. Aku tak ingin menghabiskan hari-hariku dengan mata yang hanya bisa memandang keluar dari balik jendela mobil atau lewat layar televisi. Kupikir tak ada salahnya untuk sesekali bebas sebagai diriku, tanpa bermaksud membangkang pada ibuku.
“Awas...!” seseorang berteriak. Pengendara sepeda motor yang nyaris menyerempetku menghentikan kendaraannya. “Lihat-lihat kalau menyeberang! Apa kau tak punya mata?”
Alih-alih meminta maaf, aku hanya menundukkan kepala. Efek shock dan gugup. Lelaki itu lantas memacu sepeda motornya kembali tanpa memperpanjang masalah.
“Kau hampir membuat kita celaka,” ia berujar kesal.
“Aku minta maaf,” kuseka keringat dingin di kening. Ini adalah pengalaman pertamaku terjun ke jalanan sebab sebelumnya aku senantiasa terlindungi dalam mobil berudara sejuk yang selalu siap mengantar kemanapun aku ingin pergi. Aku tak pernah tahu kejadian dan kekacauan apa saja yang terjadi di luar sini, membuatku tak punya antisipasi atas peristiwa di luar dugaan. Betapa menyedihkan situasi yang mengungkungku selama ini.
Aku mengajaknya memasuki gang kecil yang berakhir pada sebuah perkampungan kumuh. Aku tak pernah berada di sini sebelumnya. Keadaan sekeliling membuatku terpaku, kontras dengan kompleks tempatku tinggal yang teratur, terawat dan membosankan.
Seorang bocah perempuan kurus dan lusuh memandangi warung tenda tempat beberapa orang makan siang tanpa mempedulikan lalat-lalat yang berdesingan. Kurogoh isi tasku, mengeluarkan sebongkah roti dalam wadah plastik. Kuulurkan roti itu pada bocah tersebut. Ia menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
Aku heran melihatnya makan terburu-buru. Hendak kuperingatkan agar makan dengan pelan, namun lalu aku paham. Sebab, muncul segerombolan bocah lain yang tak kutahu dari mana datangnya, yang langsung merebut roti itu. Pada akhirnya sebongkah roti itu tercabik-cabik. Setiap anak harus puas hanya dengan secuil.
“Ah, andai aku membawa lebih banyak roti,” sesalku.
“Kau begitu mudah jatuh iba. Tak peduli seberapa banyak pun roti yang kau bawa, itu tak akan pernah cukup, kau tahu! Kecuali kau adalah Tuhan yang mampu memecah roti untuk memberi makan lima ribu orang,” katanya.
Aku tak menyahut. Mataku tertuju pada seorang wanita paruh baya dengan dua karung penuh rongsokan membebani tubuhnya, membuat langkahnya terseok. Peluh menganak sungai di wajahnya, membasahi pakaian bututnya. Kurogoh tasku, namun tak kutemukan apapun lagi yang bisa kuberikan kepadanya.
“Kasihan dia,” ujarku sambil menunjuk perempuan pemulung itu. “Sudahkah dia makan? Apa dia punya rumah yang layak untuk bernaung?”
Dia berdecak. “Sudahlah! Perempuan itu punya alur hidup sendiri untuk ia jalani.”
“Nasib memaksa dia bekerja terlalu keras.”
“Itulah perjuangannya untuk memenuhi apa-apa yang ia perlukan dan inginkan.”
“Bagaimana kalau aku tidak menginginkan apapun?” tanyaku tiba-tiba.
Ingatanku tertuju pada hidup yang selama ini telah kulalui dengan kecukupan materi dan kenyamanan. Tapi tak dapat kupungkiri bahwa aku merasa kosong, hampa.
“Itu berarti kau sudah mati meskipun mau masih hidup. Mati dari dalam,” ia menunjuk dadaku.
Aku mengernyit. Benarkah demikian? Apa aku memang sudah mati karena tak punya keinginan? Lalu, hidup macam apa yang kini sedang kujalani? Tak bisakah aku kembali pada masa sebelum aku dilahirkan dan masih berwujud antah berantah hingga tak perlu menanggung semua beban pemikiran ini?
Aku teringat kemarin ikut menemani kakak sepupuku melakukan USG di rumah sakit. Ia begitu bahagia melihat makhluk kecil dalam perutnya terpampang pada layar. Bibirnya berseru takjub ketika melihat organ-organ mungil si janin semakin sempurna bentuknya.
Sesuatu terlintas dalam kepalaku. Betapa bahagianya hidup dalam selimut rahim yang nyaman seperti itu tanpa perlu tahu hiruk pikuk yang terjadi di luar sini. Aku sempat berpikir, apa calon bayi itu tahu apa yang akan dihadapinya di dunia fana ini ketika ia keluar dari perut ibunya nanti? Ingin kubisikkan padanya bahwa tak ada tempat paling aman untuk hidup selain rahim ibu. Sebaiknya ia tidak memilih keluar.  
“Kau benar-benar sinting kalau sampai berkata seperti itu,” dia menghardik ketika aku menumpahkan isi kepalaku.
Untung waktu itu aku cukup waras untuk tidak mengutarakannya. Tapi tetap saja  pemikiran itu memenuhi benakku. Banyak hal yang telah terjadi di muka bumi ini, sekalipun aku tidak mengalami semuanya, namun perasaanku campur aduk melihatnya, seperti suasana yang tengah kuamati di lingkungan tempatku berada saat ini.
“Kasihan si bayi. Dia pasti tak tahu betapa banyak kekecewaan, ketidakadilan, serta ketidakbahagiaan lain yang terjadi dalam hidup ini, yang perlahan pasti menodai sanubarinya yang bening.”
“Tapi kau juga jangan lupa bahwa di balik itu ada pula kegembiraan,  kepedulian, serta serangkaian hal menyenangkan lain. Semua hal itu terjadi saling bergantian, saling melengkapi untuk membentuk hidup yang kaya warna.”
“Apa aku tak bisa kembali saja ke dalam rahim ibuku?” cetusku tiba-tiba.
“Kau egois!” hardiknya keras. “Aku yakin kau tahu bahwa sebelum lahir, berbulan-bulan lamanya kau memberi perempuan itu hari yang berat. Akhirnya, kau bisa mencicipi kehidupan bebas usai mengoyak tubuh wanitanya yang berharga. Sekarang kau mengeluhkan hidup dan berkata ingin kembali ke sana. Betapa tega kau pernah memikirkan hal itu.”
Kalimatnya menohokku telak. Kususut ujung mata yang tahu-tahu meneteskan air.
“Tidak perlu jadi melankolis begitu,” katanya lagi. “Lakukanlah yang terbaik sebelum usia berakhir.”
Aku tercenung lama sambil menatap bulan separuh yang bertengger di angkasa. Kupejamkan mata, berimajinasi sedang duduk di bulan itu sambil menatap ke bawah. Perlahan aku dapat melihat banyak warna dan corak kehidupan. Kubuka mata ketika mendengar suara berisik. Sekelompok bocah tengah mengejar layangan putus sambil tertawa-tawa. Ketika aku menoleh ke arah lain, seorang ibu muda menyantap sepiring nasi sambil menyusui bayinya—upaya untuk menjaga kehidupan yang berharga. Aku tersenyum, sebab telah kutemukan jawaban dan dua sosok dalam pikiranku sendiri yang sedari tadi berbincang dan berdebat akhirnya diam dalam damai.
 

Medan, 2017-2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar