Jumat, 14 Desember 2018

MENIKMATI PUISI


Puisi, bagi saya, adalah cara lain untuk bercerita/ menikmati cerita. Tak jauh beda dengan cerpen, puisi juga merupakan wadah untuk menuangkan buah pikiran, isi hati, sebagai cara untuk menyampaikan sesuatu. Hanya saja, bentuk wadahnya berbeda.

Memetik Makna

            Apa yang terlintas dalam kepalamu ketika mendengar kata puisi?

dok. pribadi
“Tidak semua orang bisa memahami puisi,” kata seorang teman sesama pecinta buku dalam suatu perbincangan. Saya hanya tersenyum. Kalau tidak paham, bagaimana bisa menikmatinya, kan?! Tidak heran, koleksi buku-bukunya lebih banyak novel dibanding puisi—sepertinya dia memang tidak punya buku puisi.
            Sepintas, puisi memang tampak sedikit lebih sulit untuk dipahami dibanding karya sastra lainnya seperti cerpen atau novel. Barangkali karena puisi memiliki kemungkinan multi-tafsir. Apa yang saya tangkap dari sebuah puisi bisa saja berbeda dengan yang ditangkap orang lain. Juga, apa yang bisa saya interpretasikan dari sebuah puisi hari ini bisa saja berubah esok hari. Selain itu, banyak orang juga berkata diksinya terlalu rumit. Berbelit-belit. Tapi, justru di situlah letak pesonanya.

            Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, puisi juga merupakan sebuah cerita. Ia adalah sebuah kisah walau jumlah katanya terbatas, komposisinya tidak selengkap dan serunut cerita pendek atau panjang. Sebagai pembaca, saya sangat menikmati kisah-kisah yang disajikan si pemuisi dalam karya-karyanya, walau kadang saya harus membuka kamus untuk mencari arti sebuah kata atau merenung sejenak untuk menemukan makna sepotong kalimat.   
            Dalam dunia menulis puisi, saya termasuk orang awam. Memang, di samping menulis cerita pendek, saya juga pernah menulis beberapa buah puisi. Tapi, entah mengapa, puisi itu terlihat buruk. Terlalu apa adanya, hingga saya tidak percaya diri untuk mempublikasikannya. Puisi karya orang lain selalu terlihat lebih bagus.
Kesimpulannya, menulis maupun memaknai sebuah puisi membutuhkan kecakapan dan konsentrasi lebih.

Memperkaya kosakata

            Puisi adalah rangkaian kata-kata yang indah, walau hal-hal yang disampaikan di dalamnya bisa saja sebuah kemarahan, kutukan, kritik, caci-maki, atau ledakan beragam emosi. Barangkali pengalaman membaca puisi saya masih minim, namun itulah yang saya rasakan. (Sejauh ini) saya hanya memiliki tiga buah buku puisi, yaitu karya Sapardi Djoko Damono, M. Aan Mansyur, dan ‘AKU’ yang merupakan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar yang ditulis Sjuman Djaya. Serta kumpulan tulisan Dee Lestari yang terhimpun dalam buku ‘MADRE’ yang didalamnya dimuat beberapa puisi.

dok. pribadi
Sebenarnya, kosakata yang baru bisa kita temukan setiap hari lewat berbagai media dan event, seperti melalui lagu-lagu baru, lewat perbincangan dengan orang asing, acara televisi/radio, dan sebagainya. Tapi, kebanyakan kata-kata yang mereka suguhkan adalah bahasa ‘slang’ atau bahasa yang biasa digunakan dalam pergaulan dan bersifat tidak resmi.
Lewat puisi, kita bisa menemukan kosakata yang lebih ‘berbobot’. Jarang, tuh, saya temukan bahasa gaul dalam rangkaian puisi. Dalam buku-buku puisi yang saya baca, rata-rata menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan baku tanpa dibaur dengan bahasa asing atau bahasa ‘slang’ tadi. Entah dengan buku puisi lain.
Kosakata yang berbobot itu lalu bisa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari dan tentu akan membantu interaksi kita dengan sesama manusia. Tapi, bukan maksud saya untuk menyarankan kita berbicara dengan puitis setiap waktu, ya. Berkomunikasi dengan bahasa yang baik akan membuat kita terlihat lebih beradab. Saya pikir, sudah seharusnya kita kembali memilih dan memilah kata-kata yang baik untuk digunakan dalam interaksi sehari-hari. Itu merupakan sebuah upaya untuk membudayakan bahasa Indonesia sekaligus melestarikannya.
            Lagipula, bukankah bahasa merupakan identitas suatu bangsa?

Ayo membaca puisi dan berlatih memahaminya! 😉 Itu juga akan membuat cakrawala dalam ruang kepala kita semakin luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar