Kamis, 29 November 2018

SEBUAH KEYAKINAN [Cerpen Harian Waspada, Minggu, 28 Oktober 2018]

ilustrasi oleh Harian Waspada

SEBUAH KEYAKINAN
Oleh Dian Nangin
            Tak ada apapun yang dijanjikan Adam ketika ia meminta hatiku dan mengikatnya dengan janji sehidup semati. Aku masih bertanya-tanya dalam hati apa alasanku untuk menolak atau mengiyakan, namun tahu-tahu kepalaku mengangguk tanpa berpikir panjang. Kupikir hubungan kami dan permintaannya itu tak serius. Siapa yang akan percaya ia serius? Sebuah ide gila untuk menikah ketika ia masih pengangguran, dua tahun setelah kami melepas seragam putih abu-abu. Semasa sekolah pun ia tak begitu becus, terkenal tak bisa diandalkan dalam bidang akademik. Ketika aku meragukannya, ia dengan yakin berkata cukup mempercayakan masa depan pada waktu.
            Setelah menikah, ia mengutarakan ide gilanya yang lain. “Ayo pindah ke desa. Aku akan bertani. Tak ada gunanya bertahan di kota yang pengap ini.”

            Aku mengangkat sebelah alis, lagi-lagi ragu. Bagaimana mungkin kami menanggalkan hidup yang telah terbiasa dengan kota ini? Haruskah aku meninggalkan pekerjaanku sebagai penjaga toko ponsel, yang walau tak bergaji banyak, namun cukup lumayan untuk menutup kebutuhan sehari-hari? Bagaimana nasib kami nanti?
“Kalau kau begitu sulit mendapatkan pekerjaan, kupikir ayahku atau ayahmu bisa meminjamkanmu uang untuk memulai sebuah usaha.”
Adam bersikeras, sedikit sinis. “Aku tak butuh uang mereka. Percaya padaku. Hidup di desa akan lebih baik.”
“Tapi aku tak yakin akan mampu bertani,” sahutku. Lagipula, siapa yang kembali memilih bertani setelah mencecap kehidupan modern? Orang desa saja berlomba-lomba hijrah ke kota, memilih bertahan di metropolitan walau hidup dengan mengemis.
“Kau gemar menulis. Lanjutkan saja. Mungkin suatu saat dewi fortuna akan menjenguk  dan jatuh hati pada karya-karyamu. Siapa tahu! Cukup aku yang bekerja di ladang.”
Aku masih ragu. Dua puluh tahun hidup di kota adalah waktu yang cukup lama untuk sebuah perubahan yang besar. “Apa kita tak akan kesulitan di desa? Di kota ini kita bisa menjangkau apapun dengan mudah.”
“Tidak usah khawatir. Kita tak akan kesulitan atau kekurangan. Alam yang memelihara kita,” ucapnya menenangkanku.
Begitulah kami menjalankan roda rumah tangga. Awalnya, aku begitu khawatir lepas dari kemodernan kota dan mengasingkan diri ke sebuah ladang yang yang harus ditempuh lewat jalan berbatu. Anehnya, berlawanan dengan rasa raguku, aku menemukan diriku merasa nyaman dengan rumah semi permanen yang kami miliki. Rumah ini dikelilingi alam, bukan berdempet-dempetan dengan rumah tetangga dan berjejalan di tengah kota.
Aku mulai senang berkebun di pekarangan. Setiap jengkal ruang kosong kutanami bunga atau sayur-sayuran. Tak butuh waktu lama, aku sudah bisa memandang bunga-bunga labu kuning yang merambati pagar bambu dari jendela ruang tengah tempatku membaca dan menulis. Adam juga memutuskan memelihara beberapa ekor ayam. Butuh waktu berbulan-bulan hingga berjumlah lumayan. Kami menahan diri untuk tidak segera mengonsumsi telur yang dihasilkan unggas itu dan lebih memilih untuk menetaskannya. Sekarang, kami bahkan bisa menjual beberapa kilo telur ke warung di ujung jalan atau ada tetangga yang membeli langsung pada kami.
Kabar bagus lainnya, setelah bergelut dengan kesabaran yang tidak main-main, satu persatu karya-karyaku mulai mendapat tempat di koran-koran ibukota. Mungkin tak ada yang mudah dalam hidup, namun beberapa hal menjadi ringan ketika dikerjakan dengan sepenuh hati.
***
            Waktu berlalu dan hari ini aku mendapati keraguan yang menderaku bertahun-tahun lalu sebenarnya tak beralasan. Sejak awal Adam telah memegang sebuah keyakinan akan setiap keputusan yang diambilnya. Ia tahu benar apa yang ingin ia kerjakan. Siang tadi kami menghadiri panggilan dari pengadilan untuk bersaksi atas saudara Adam yang berseteru tentang warisan yang ditinggalkan orang tua mereka yang wafat tahun lalu.
Sepulang dari pengadilan, kami berkendara dengan damai, seakan tak terjadi apapun. Adam bersikap cukup tenang untuk situasi panas yang baru saja terjadi.
“Sejak awal aku tak terlalu berharap sekalipun aku anak laki-laki yang juga punya hak atas warisan orang tua,” Adam angkat bicara. Aku teringat perseteruan sengit antara dua saudara Adam, yang mengklaim bagian masing-masing lebih besar. Sedangkan Adam tampak tak begitu antusias untuk ikut berebut tanah, rumah, serta berbagai harta lain yang ditinggalkan mendiang orang tuanya. Sejak awal ia telah menerima sepetak kecil lahan beserta rumah sederhana yang kami tempati dan itu sudah cukup. Katanya, ia tak menginginkan apapun lagi.
“Yang perlu kita lakukan adalah tetap fokus mengerjakan usaha agar mendapatkan hasil yang terbaik.”
“Ya. Menikmati hasil kerja sendiri akan terasa lebih puas,” aku sependapat. Kuingat kembali hari-hari yang telah lalu ketika kami hanya makan ala kadarnya, dalam arti yang sebenarnya. Kadang tumbuh rasa tak tega dalam hatiku ketika menyambut Adam setiap petang jelang gelap. Wajahnya yang habis dipapar matahari tampak semakin legam. Urat-urat leher dan tangannya bertimbulan akibat bekerja begitu keras.
“Dan, kita tidak perlu kehilangan apapun yang tak pernah kita miliki.”
Adam benar. Mungkin pendapatan Adam dari bertani ditambah penghasilanku dari menulis tidak dalam jumlah yang mengizinkan kami untuk berfoya-foya, namun nyaman rasanya bisa menikmati hasil jerih sendiri tanpa memelihara hasrat berlebihan untuk sesuatu yang lebih yang tak dapat kami jangkau. Aku dan Adam sepakat menekan pengeluaran agar dapat menabung. Hasilnya, kami membeli sebuah mobil pick up bekas, lemari pendingin, beberapa perkakas, dan hidup semakin nyaman.
“Apa kau telah memperkirakan dari jauh-jauh hari bahwa hal ini akan terjadi?”
Adam mengedikkan bahu. “Sedikit banyak…ya. Aku kenal baik sifat abang-abangku. Itu sebabnya sejak awal aku tak mau begitu terlibat dengan urusan uang atau harta orang tua.”
Aku diam dalam kagum. Dari mana ia peroleh kebijakan dan kematangan pikiran itu? Setiba di rumah, aku bergegas menuju dapur untuk memasak makan malam. Kami kelaparan. Perseteruan dan perjalanan panjang tadi telah menguras banyak tenaga. Aku sedang mengikat rambutku dengan seutas karet gelang ketika Adam memanggilku. Aku menoleh.  
“Dik, malam ini aku ingin makan daun singkong rebus. Tumbukkan cabai rawit. Tidak usah halus, kasar saja.”
Aku tersenyum. Dalam kebersahajaannya, ia masih sesederhana Adam yang kukenal dulu. Ketika aku berbalik, ia menambahkan.
“Jangan lupa ikan teri goreng dan telur rebus.”
Medan, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar