Jumat, 28 Oktober 2016

Nyawa Semata Wayang [Flores Sastra, 27 Oktober 2016]

Well, ada sedikit kesalahan penulisan nama oleh pihak Flores Sastra. Saya berasa jadi jiwa yang melayang-layang, hoho... 
Selamat membaca, kawan ^-^


NYAWA SEMATA WAYANG
Oleh Dian Nangin 
Meski sewaktu kanak-kanak dulu aku tak paham apa arti kematian, namun kukira aku telah cukup akrab dengannya.
Pertama kali berhadapan dengan yang namanya kematian adalah ketika nenek berpulang, menyusul kakek yang tak pernah kukenal sebab ia telah tiada bahkan ketika ibuku masih kecil. Suatu petang jelang malam, perempuan tua itu dibawa ke rumah sakit dan tidak kunjung kembali ketika esok hari aku pergi ke sekolah—aku masih kelas 3 SD waktu itu. Sepulang sekolah, kulihat sebuah bendera merah terpancang di depan rumah. Orang-orang berpakaian hitam dan bermata sembab berlalu lalang.
Aku yang belum mengerti apa itu duka hanya duduk di tepi peti mati, melongok ke dalamnya dan memandangi seraut wajah keriput yang damai. Kedua tangan berkulit penuh kerut yang dulu sering kupuntir-puntir terlipat di atas perut. Di mataku, nenek tampak hanya sedang tidur pulas. Aku cuma mengernyit melihat orang-orang menangis begitu keras. Meski sesekali pelayat mendekapku dengan wajah bersimbah air mata, aku tak tahu harus bereaksi apa selain balas memeluk dengan raut datar.
Setelah nenek dikebumikan dan di hari-hari berikutnya kemudian baru aku paham bahwa bila seseorang mati, berarti ia takkan bisa ditemui lagi. Tak peduli kemana kau mencari dan seberapa lama kau menunggu dia kembali. Raga tempatnya menumpang hidup telah kembali ke tanah dan satu-satunya nyawa yang dititipkan padanya sudah harus kembali pada Sang Pencipta. Dua komposisi inti kehidupan yang pada akhirnya berpisah ke berlawanan arah.
Beberapa tahun kemudian, seorang tetangga yang kupanggil paman tutup usia. Anak-anaknya yang sedang menempuh pendidikan di pulau seberang diminta pulang. Ketika tiba di rumah, tangis mereka melengking demi melihat sesosok jasad kaku yang telah menunggu. Lalu tubuh-tubuh itu ambruk tak sadarkan diri, tak sanggup dihantam pilu. Aku menyaksikan semua adegan itu dengan mulut terbungkam bisu.
Kupikir setiap orang takkan pernah siap menghadapi sebuah kehilangan, tak terkecuali aku. Sebuah pikiran ganjil hinggap di otak beliaku. Bagaimana aku bisa menerka ujung hidup seseorang? Atau paling tidak, apa tanda-tandanya? Bukankah teka-teki paling rumit sekalipun selalu punya petunjuk?
Aku tak ingat kapan perenungan dan kebiasaan ini bermula, namun suatu malam kudapati diriku tiba-tiba terbangun dari lelapnya tidur hanya untuk melihat apakah dada ibuku masih bergerak, naik turun secara teratur. Kadang bila ia tidur dengan gestur kelewat tenang, aku bahkan mendekatkan jariku ke hidungnya, untuk memastikan rutinitas tarik-hembus udara masih berlangsung di sana.
 Perhatian yang sama juga kuberikan pada ayah. Ayah yang bila terlelap selalu disertai dengkur hebat. Aku takut sewaktu-waktu ia tersedak oleh dengkurnya sendiri, lalu mendadak berhenti bernafas.
Konyol? Barangkali, ya. Bertahun-tahun aku berkutat dengan kebiasaan itu tanpa sepengetahuan siapapun, tanpa dapat kuhentikan. Namun belum juga dapat kubaca tanda kapan Malaikat Maut menjadikan seseorang sebagai targetnya. Aku hidup dalam balutan gugup. Apalagi seiring beranjaknya usia, aku perlahan memahami bahwa perasaan sedih yang menggenangi hati ketika ditinggal pergi selamanya oleh seseorang yang dicintai tidak sedangkal seperti yang kualami ketika sewaktu masih kanak-kanak.
Kenyataan itu kutemukan ketika bibi, satu-satunya kakak ibuku, meninggal dunia. Berhari-hari ibu menyenandungkan ratap penuh kesedihan. Kehilangan kakak baginya tak ubahnya kehilangan belahan jiwa. Duka membanjur sekujur hatinya. Aku ikut menangis tersengguk-sengguk. Bibiku yang baik dan sangat kusayangi telah pergi, takkan kembali.
Sepeninggal Bibi, pikiranku makin kacau. Aku kini kuliah di luar kota, terpisah jarak dengan ayah ibuku. Bagaimana aku bisa melanjutkan kebiasaanku untuk memastikan mereka masih baik-baik saja? Apalagi ayah, yang kini tak hanya berteman dengkur kala tidur, namun mulai disertai batuk akibat kebiasaannya merokok selama bertahun-tahun. Aku tak ingin menjadi anak yang terpaksa pulang suatu hari nanti hanya untuk mendapati salah satu dari mereka telah terbujur kaku, persis seperti yang dialami anak-anak paman tetanggaku bertahun lalu.
Aku tak tahu kapan tepatnya mulai memelihara kecemasan itu. Rasa cemas yang kadang tak beralasan. Cemas yang kemudian menguat lalu mengikatku, terutama di hari-hari kurang tidur dan akibat kafein dari bergelas-gelas kopi yang kuteguk. Ketika perasaan itu menyerang, degup jantungku menghentak hebat nyaris di luar kontrol dan kukira aku akan mati dengan sebuah ledakan di dada.
Drrrrt...!
OH! Kukira aku akan meledak sungguhan. Ponsel yang tiba-tiba bergetar di ruang kosku yang lengang ini membuatku kaget setengah mati, menyentakku dari lamunan panjang. Kulirik layar yang menyala terang. Ayahku memanggil.
“Ada apa, Din? Tadi ayah tak bisa mengangkat telepon karena sedang ada meeting di kantor.”
Baru aku teringat tadi pagi menelepon lelaki itu dua kali, namun tak dijawabnya. Tiba-tiba pikiranku kosong, lupa pada apa yang ingin kusampaikan. Kami tak biasa berbasa-basi. Akan terdengar aneh bila kukatakan aku hanya ingin mendengar suaranya setelah nyaris tiga minggu tidak menghubunginya.
“Ng, tak ada apa-apa, Yah. Aku sudah lupa mau bilang apa,” jawabku cengengesan.
“Suaramu sedikit aneh. Apa kau sedang tak enak badan, Nak?”
“Hanya sakit gigi, Yah,” sahutku singkat sambil memandang pantulan pipiku yang bengkak lewat sebingkai cermin. Bengkak yang menyebabkanku terpaksa absen dari kelas hingga dua hari kini.
“Sudahkah kau minum obat?”
“Sudah.”
“Kalau perlu, pergilah ke rumah sakit.”
“Tidak usah, Yah. Ini cuma sakit gigi biasa.”
“Kau sudah terlalu sering mengeluh sakit gigi. Jangan anggap terlalu sepele, nanti bisa fatal akibatnya.”
Aku menggumamkan jawaban samar. Seperti yang sudah-sudah, bengkak ini akan mengempis dan pipiku akan kembali seperti sedia kala. Aku malas ke rumah sakit.
“Apa ibu ada di sana?”
“Tidak. Kau ada perlu? Mau kupanggilkan?”
“Tidak usah, Yah,” aku menyela cepat.
Begitulah, percakapan singkat kami berakhir. Aku tak bermaksud durhaka dengan tak mau berbicara dengan ibuku. Perempuan yang telah mengandung dan melahirkanku itu tipikal orang yang gampang panik. Bila ia kaget kelewat batas, tubuhnya akan memberi reaksi yang sedikit mengkhawatirkan. Saat sesuatu terjadi, pikirannya lebih sibuk berspekulasi tentang kemungkinan buruk yang mungkin menghampiri ketimbang memikirkan hal-hal positif yang menenangkan hati. Bila ia tahu aku sakit, ia tak akan tenang.
Gigi dan gusiku yang bengkak berdenyut-denyut semakin tak tertahankan. Kutelan beberapa pil obat, lalu merebahkan diri di kasur sambil mengompres pipi. Aku tidak sedang menangis, namun air mataku tak henti mengalir. Mataku panas. Kepala nyeri hebat. Hidungku berair dan segera kuseka dengan berlembar-lembar tisu. Tampaknya bukan hanya dadaku, tapi seluruh tubuhku seakan siap meledak dan tercerai berai.
Kupikir obat itu sudah mulai bekerja, sebab aku sudah separuh tertidur dan langit-langit di mataku sudah tampak mengabur ketika sebuah suara memanggil namaku.
“Dina...!”
Aku kenal suara ini. Ibu? Panggilan itu semakin dekat. Apa mereka tiba-tiba datang? Ah, sedikit kusesalkan telah memberitahu ayah perihal sakit gigiku dan ia pasti sudah menyampaikannya pada ibu. Mereka sampai datang tergesa-gesa, hingga menunda atau bahkan mengabaikan sejumlah pekerjaan demi aku yang tak becus mengurus gigi sendiri. Padahal sakit—yang meski cukup menyiksa—ini masih bisa kutahan.
“Dina...!”
Astaga, suara ibu disertai isak tangis. Ia pasti benar-benar khawatir. Aku mencoba bangun. Tapi kepalaku terasa begitu berat. Badan menolak bergerak. Suara itu terus memanggil-manggil. Aku ingin menyahut, namun kini mulutku pun enggan membuka, seolah semua anggota tubuh ini bersekongkol mempersulitku!
“Dina, Dina....!”
Kali ini sekumpulan suara tumpang tindih menyebut namaku. Ketika akhirnya penglihatanku jelas dan jernih, tampak berjubel-jubel wajah akrab mengelilingiku, mengguncang tubuhku yang tak kutahu kapan dan bagaimana, telah terbaring dalam sebuah peti berhias kuntum-kuntum anggrek. Tangis mereka melengking. Pakaian mereka hitam. Wajah mereka bersimbah air mata.
Kugerakkan mulut. Gigiku baik-baik saja. Tak ada lagi denyut-denyut yang menggerogotinya. Segala rasa sakit telah sirna. Kini aku tak merasakan apa-apa lagi, kecuali sebongkah kesunyian abadi yang perlahan membungkus dan membawaku pergi.
            Medan, 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar