Rabu, 12 Oktober 2016

SENANDUNG TERAKHIR [Cerpen]


Sebenarnya cerpen ini pernah diikutkan LOMBA MENULIS CERPEN HUTAN DAN LINGKUNGAN Perhutani Green Pen Award 2016, namun ternyata tidak menang. Akhirnya berakhir di sini, sekedar untuk diabadikan juga untuk dinikmati bila ada yang berniat membaca. Well, here the story. Bila ada yang ingin menyampaikan kritik, saya tunggu, ya. Selamat membaca....

SENANDUNG TERAKHIR 
Oleh Dian Nangin


Rasanya baru kemarin kau mengamati dan menghitung ruas-ruas baru yang bertambah di tubuhmu. Rasanya baru kemarin ayahmu—yang tubuhnya besar nan gagah itu—bercerita bahwa kau telah lama ditunggunya. Katanya, tiap kali muncul rebung tak jauh dari kakinya tertanam, selalu saja ada yang mengambilnya sebelum sempat tumbuh besar dan bertransformasi menjadi bambu yang elok dan menjulang tinggi.
Cerita itu membuatmu paham mengapa hanya kau berdua saja dengan ayahmu yang berada dalam satu kelompok, sementara bambu lain hidup beberapa batang sekaligus dalam satu rumpun. Itu karena bakal bambu sebelumnya tak punya kesempatan untuk tumbuh, seperti yang ayahmu katakan.
Rasanya baru kemarin kau membangun persahabatan dengan para burung yang aktif berkicau, meramaikan siangmu. Juga dengan para serangga malam yang setia dengan orkestranya. Menidurkan para burung yang meringkuk dalam sarang, kelelahan telah bersenandung sepanjang siang.
Rasanya baru kemarin kau mengenal angin, makhluk yang tak tampak namun selalu berduet dengan daun-daunmu. Ikut bersenandung penuh harmoni dengan kicau burung, dengan kerik jangkrik.
***
Rasanya baru kemarin kau mendapat ‘kunjungan’ pertamamu dari kaum manusia; seorang wanita tua yang datang bersama cucu perempuannya, tak berapa lama setelah tubuh rebungmu berubah menjadi bambu.
“Wah, kau tumbuh dengan sangat baik. Dulu kau hanya setinggi satu ruas bambu besar ini. Tapi kini, wuaah, aku harus mendongak untuk menatapmu...,” Wanita tua  itu berkacak pinggang sambil berdecak kagum.
“Apa ini bambu? Kenapa berbeda dengan yang lain?” cucunya yang berkuncir dua itu berceletuk. Ia pasti heran melihat posturmu yang lurus saja, dengan pucuk yang bahkan belum mampu menembus rimbun dedaunan yang meneduhimu nun jauh di atas sana.
“Ya, bambu ini masih sangat muda. Lihat, daunnya juga masih beberapa. Dulu dia masih rebung.”
“Apa rebung itu, Nek?”
“Tunasnya. Nenek sering masak rebung dan Ninda suka. Ingat? Yang warnanya putih dan enak sekali...”
“Jadi kalau rebung tumbuh, berubah jadi bambu yang seperti ini?”
Aduh, kau gemas sekali mendengar bocah itu melontarkan pertanyaan dengan suara lucunya. Bergantian dia menunjukmu dan batang ayahmu.
“Ya,” sang nenek menjawab seraya mengacak lembut rambut cucunya. “Nanti dia akan tumbuh tinggi melebihi bambu lain. Kelak kau pun akan tumbuh besar dan tinggi melebihi ayah ibumu. Menjadi seseorang yang hebat.”
“Halo, bambu. Kau harus tumbuh besar dan tinggi, ya!” Anak itu tiba-tiba memelukmu dengan kedua tangannya. Suatu perasaan aneh menjalarimu. Bahagia. Apakah ada perasaan lain yang lebih menyenangkan selain dicintai? Kau ingin sekali balas memeluknya, membuatmu berandai-andai memiliki tangan.
Tapi kesenangan itu berakhir ketika si bocah kecil spontan melepaskan pelukannya. Tiba-tiba menangis.
Ada apa? Kenapa dia menangis? Kau bingung, merasa tidak melakukan sesuatu yang salah.
“Aduh, Ninda. Nenek lupa bilang kalau batang bambu itu bisa bikin gatal. Apalagi kalau belum terbiasa,” wanita itu berusaha menenangkan.
Lihat. Kita punya bulu-bulu halus di sekujur tubuh, kau juga. Kita gunakan sebagai pelindung diri. Itu yang menyebabkan rasa gatal... ayahmu menjelaskan.
Aku tidak bermaksud menyakitinya. Sungguh... sesalmu.
“Hei, hei! Lihat. Cantik sekali....” si nenek tiba-tiba berseru riang. Anak itu teralihkan perhatiannya oleh beragam kupu-kupu yang beterbangan di sekitarmu. Hinggap dari satu kuntum bunga ke kuntum yang lain. Bocah itu menghentikan tangisnya. Kaupun tersenyum, seketika menyadari bahwa sebenarnya tumbuh tinggi tak selamanya menjadi suatu kebanggaan. Bunga-bunga tak bernama di bawah sana, pendek, kecil saja kelopaknya, namun sanggup melengkapi keindahan. Juga hewan-hewan bersayap mungil yang membawa kegembiraan.
Sementara si cucu asyik bermain, wanita tua itu menebang satu batang bambu.
Sedang apa dia? Kau bertanya, heran melihat si wanita tua asyik berkutat dengan parang dan potongan-potongan bambu.
Dia biasanya membuat centongan nasi, lalu menjualnya untuk mendapatkan uang. Tak hanya dia yang menggunakan kita para bambu. Ada petani yang mengubah batang-batang kita menjadi pagar tanaman, peternak yang membangun kandang ayam, perajin yang membuat souvenir dan banyak lagi. Besok atau lusa, kau mungkin akan melihatnya.
Kau hanya manggut-manggut sembari memperhatikan si nenek bekerja. Namun kekhusyukanmu diinterupsi oleh petir yang mendadak menyambar.
“Ayo pulang! Hujan mau turun...” Wanita itu berseru sembari membereskan barang-barangnya. Bersama cucunya ia bergegas keluar hutan. Langkah-langkah kaki mereka menciptakan kemerosok ketika menginjak dedaunan kering yang menumpuk di atas tanah.
Tak lama kemudian hujan mengguyur serupa jarum-jarum air. Sekujur tubuhmu basah nan menyegarkan. Memuaskan dahaga urat akarmu.
Usai hujan, secercah sinar menyeruak awan. Mentari senja ternyata masih ingin melabuhkan kehangatan cahaya terakhirnya sebelum lungsur ke balik bebukitan, jauh di ujung barat sana.  Burung-burung bertengger di puncak pohon, mulai lagi bersenandung sebelum kembali ke peraduan.
Hei, apa itu? Kau takjub mendapati berkas-berkas warna melengkung persis di atas tubuhmu.
Manusia menyebutnya pelangi. Indah, kan...
Kau hanya terpana dalam pukau. Warna-warna itu begitu berbeda dengan dominasi hijau yang selama ini ada di sekelilingmu.
Baru kali ini aku melihatnya. Ya, benar-benar indah.
Cepatlah tumbuh lebih tinggi lagi. Ada banyak hal yang bisa kau lihat.
Kau lambaikan pucukmu yang tertinggi, menyapa pelangi. Berharap ia sering-sering menampakkan diri karena ia begitu memesona.
***
Rasanya belum jauh tertinggal hari-hari yang telah bergulir tenang. Rantingmu yang mulai muncul bersamaan daunmu ikut melebat, membuatmu merasa sempurna.
Kepada burung-burung kau julurkan rantingmu, serupa rentangan lengan-lengan kokoh yang menawarkan kenyamanan dan keamanan. Kau mendapatkan kepercayaan mereka untuk menjadikanmu tempat menopang sarang.
Tak menunggu lama para burung membaringkan telur-telur di dalamnya. Tiap hari kau melongok-longok ke dalam sarang, menemani si induk burung mengeram. Bersemangat menjadi saksi munculnya sebuah kehidupan baru. Betapa bersyukurnya bisa menyaksikan sesuatu yang sepenting itu, tak peduli meski ayah dan kawanan bambu lain di menertawakan tingkahmu. Mereka bilang burung yang menaruh sarang di ranting para bambu adalah hal biasa. Biar saja!
***
Rasanya baru kemarin ayahmu yang gagah pergi meninggalkanmu, di satu pagi yang baru merebak, ketika sekumpulan lelaki-lelaki gagah memasuki hutan. Berisik dengan parang-parang di tangan, rokok dengan bara menyala di bibir.
Salah satu lelaki berjalan menuju ayahmu, lekat mengamati setiap inci tubuhnya. Mengangguk-angguk. “Sempurna,” desisnya.
“Kawan, aku akan menebang yang satu ini.”
“Ya. Yang itu terlihat bagus!” seseorang menyahut setuju.
Kau panik, tak tahu harus bagaimana untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi. Selama ini sudah banyak orang keluar masuk hutan, mengambil rebung atau batang-batang bambu untuk beragam keperluan. Tapi untuk kali ini, giliran ayahmu tiba! Kau tidak ingin kehilangan dia...
Mereka telah memilihmu, Ayah! Bagaimana ini?
Tidak apa-apa, ayahmu justru menjawab kalem. Karena memang begitulah takdir kita. Jangan melawan, jangan keraskan tubuhmu kelak bila tiba saatmu.
Ayahmu terlihat sangat tenang, seolah momen ini telah ia tunggu seumur hidup. Ia menyambut sabetan parang yang bertalu-talu di bagian terbawah tubuhnya.  
 Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Satu-satunya yang perlu kau takutkan adalah apabila hidup dan keberadaanmu tidak berguna.
Tapi aku takut, bisikmu.
Bernyanyilah...
            Angin membantumu bersenandung sembari menyaksikan tubuh ayahmu berderak lalu tumbang. Menimpa beberapa bambu lain sebelum kemudian ambruk dipeluk tanah. Beberapa orang memangkas ranting-rantingnya. Memotongnya menjadi beberapa bagian.
            Lalu lelaki lain mulai menganyam potongan-potongan tubuh ayahmu. Telaten sekali dia. Baru kau tahu bahwa setelah dipotong begitu rupa, tubuh bambu bisa juga lentur. Ayahmu yang gagah kini berubah bentuk menjadi keranjang.
***
            Rasanya baru kemarin kau paham apa itu kehidupan bagi kaum bambu.
Ada yang mati atau dibawa pergi, namun ada pula yang baru yang akan menggantikan. Begitu pula dengan burung-burung, tanaman lain, bahkan angin. Semua datang silih berganti.
Waah! Lihat ini...! Kau menghebohkan rumpun-rumpun bambu lain ketika fajar baru menyingsing. Ada rebung yang tumbuh di kakiku!
Tampak sebuah tunas, kecil dan masih malu-malu memunculkan pucuknya.
            Selamat. Kau tidak menunggu selama ayahmu. Sungguh beruntung.
            Rasa bangga dan takjub menguasaimu. Perlahan paham bagaimana perasaan ayahmu dulu ketika bercerita tentangmu. Seketika kau berharap tak ada yang akan mengambil rebung itu dari kakimu. Ingin menyaksikannya tumbuh tinggi. Bercerita tentang ayahmu yang telah lebih dulu ditebang dan dijadikan keranjang. Menunjukkan padanya pelangi yang sungguh indah tiada tara.
            Sembari bernyanyi-nyanyi, kau tidak sabar menunggu hari-hari berlalu.
            Namun ternyata tak ada yang abadi. Tidak semua berlangsung baik-baik saja.
***
Mulanya, sebuah kecurigaan menghampiri.
Hei! Kau menyapa bambu-bambu sekelilingmu. Aku sudah lama tidak melihat wanita tua dan cucunya, pembuat centong nasi itu!
            Seolah tersadar, kumpulan rumpun bambu lain juga mulai saling bertanya.
            Ya. Lelaki-lelaki penganyam keranjang itu juga tidak muncul-muncul. Padahal aku merasa sudah cukup kuat dan siap untuk ditebang sekarang.
            Coba tanya bambu sebelah utara. Pintu masuk ke sini, kan, dari sana. Terdengar sebuah saran.
            Tak menunggu lama, semuanya terjawab.
             Papan-papan peringatan sudah ditancapkan di pintu masuk sana!
            Beberapa lelaki berbadan besar menghalau orang-orang untuk masuk ke mari. Mereka juga melihat wanita tua yang datang bersama cucunya tempo hari.
            Katanya mereka mencuri!
            Mencuri? Bukankah kita bebas dan milik siapa saja?
            Namun, kali ini tak satupun darimu yang tahu jawabannya.
***
            Rasanya semua kedamaian itu baru terjadi sehari lalu. Namun hari ini berbalik menjadi sebuah kekacauan.
            Sore yang biasanya menyenangkan tiba-tiba diinterupsi oleh suara bising. Ada kabar merebak, rumpun-rumpun bambu sebelah selatan ambruk semua. Suara bising itu meraung-raung hingga beberapa jam. Sementara langit mulai menjulurkan lidah-lidah malam nan gelap. Kau dan kaummu para bambu terlalu panik untuk menyadari apa yang terjadi.
            Betapa kagetnya kau ketika mendapati kenyataan itu pagi harinya. Kalau selama ini cahaya matahari merasuk hanya melalui celah dedaunan, namun pagi ini kau dapati sinar menyilaukan itu menjalari kakimu. Begitu dekat, seolah tanpa sekat.
            Tidak biasanya seperti ini. Tiba-tiba kau merasa terancam. Lebih lagi, kau bergidik ngeri ketika menatap ke arah luar. Banyak batang bambu yang bergelimpangan, saling tumpang tindih dengan kondisi hancur.
            “Semuanya! Ratakan saja semuanya...!” sebuah suara berasal dari seorang lelaki dengan jas hitam yang bersandar pada mobil mewahnya yang mengilat. Sekelompok lelaki berseragam berdiri di dekatnya, dengan gestur siap melaksanakan segala perintah si jas hitam.
            “Bagaimana? Ini lokasi yang paling tepat untuk melaksanakan rencana kita,” si jas hitam bertanya pada lelaki berpakaian mentereng yang baru tiba. Si lelaki mentereng tersenyum lebar sembari mengacungkan jempol.
            “Ide brilian! Kita tak akan menyesal membeli lahan ini, malah akan menangguk keuntungan berkali lipat.”
            Kau tak paham apa maksud dari rencana manusia-manusia itu. Tapi yang pasti kau dan kaummu bukanlah bagian dari ide brilian yang dimaksudkan, demi melihat kawanan rumpun bambu lain berakhir menggenaskan.
            “Laksanakan!” lantang suara si jas hitam memberi instruksi. Lelaki-lelaki berseragam bergerak, menuju benda raksasa yang terlihat sudah sangat siap dioperasikan. Mendengar suara yang ditimbulkan oleh benda itu, terjawablah rasa penasaranmu kemarin malam.
            Rasanya aku lebih baik dicuri oleh si wanita tua atau gerombolan lelaki tempo hari. Setidaknya aku masih lebih berarti di tangan mereka daripada berakhir seperti ini,  Kau berkata. Desis-desis yang menyatakan kesetujuan terdengar di sana sini.
Kau tak pernah tahu kalau hidupmu dan tunas di kakimu akan berakhir seperti ini. Kau tak bisa berperan sebagai pahlawan, yang ketika ditebang akan dijadikan sesuatu yang berguna, meninggalkan calon bambu di kakimu dan mengatakan padanya kelak ia juga harus menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Menjelang siang, langit berubah mendung, melengkapi suasana hutan bambu yang murung. Burung-burung bahkan tak ingin berkicau, ikut berduka.
Hujan pun turun deras—tak pernah sederas ini, seakan mereka mendapat firasat bahwa ini adalah pertemuan kalian yang terakhir. Jarum-jarum air itu berderai tanpa jeda hingga senja menjelang, membaluri tubuhmu. Pelangi tak muncul, seolah mereka juga sedang sembunyi di balik awan dan menangisi perpisahan ini.
Tapi hujan tak serta merta menghentikan langkah benda bising itu. Rimbun daunmu menandak-nandak melihat si monster raksasa membunuh semua keluarga rumpun bambu. Mencerabut hingga ke akar-akar. Semakin lama bergerak mendekatimu. Seluruh lugut di sekujur tubuhmu spontan berdiri tegak, ingin melancarkan serangan. Tapi kau tak berdaya. Manusia-manusia itu sudah melengkapi tubuh sedemikian rupa hingga sedikitpun tak merasakan gatal.
Ingin kau teriakkan bahwa kau tumbuh besar dan kuat bukan untuk mati sia-sia. Kau ingin dianyam jadi keranjang, dibentuk jadi centong nasi, jadi pagar ladang, kandang ayam, dibuat jadi apa saja! Kau ingin menyaksikan tunas dikakimu itu tumbuh gagah dan menjulang tinggi, hingga kelak di kakinya pun tumbuh lagi rebung yang meneruskan kehidupan. Begitu terus menerus hingga waktu yang tak terbatas. Tapi segala imaji hebat tersebut terhempas begitu saja.
Apa itu, Yah? Aku takut....
Kau bahkan tak kuasa menenangkan rebung mudamu seperti ketika ayahmu menenangkanmu dulu.
Ayah juga takut, kau mengakuinya, namun kau masih mencoba menghibur, tapi ayah akan bernyanyi, agar kau tak takut lagi.
Kau berusaha sekuat tenaga, tapi hasilnya bukan senandung yang menyenangkan untuk didengar. Entah kemana orkestra indah yang biasanya tercipta. Kini hanya terdengar dengung serangga yang semburat berlarian, ciap-ciap anak burung yang ketakutan, dan suitan angin yang bahkan tak lagi harmonis. Segala bunyi dikuasai deru benda raksasa yang datang mendekat, merobohkan, menyapu sekelilingmu dengan begitu mudahnya.
Kau tak mengenal sensasi ini. Sebuah rasa asing sekaligus perih tak terperi. Sekujur tubuhmu bergetar, tak mampu kau kendalikan. Bergetar semakin hebat. Kini kau paham bagaimana perasaan bambu-bambu terdahulu yang telah mengalami perlakuan yang kau terima hari ini. Tapi yang kau rasakan hari ini rasanya tiga kali lebih menyakitkan karena sadar kau akan tumbang tanpa arti.
Dalam sekejab kau limbung. Hilang keseimbangan. Burung-burung bersiap terbang meninggalkan sarang. Dipaksa minggat bersama anak-anak mereka yang bahkan belum cukup kuat kepaknya.
Lalu kau ambruk, saling menimpa dengan bambu lain, menimbulkan bunyi gemerisik yang begitu pilu untuk didengar. Segalanya menjadi gelap seiring ban-ban raksasa lalu lalang melumat rebung mudamu, melindas tubuhmu.
                                                                ~Sekian~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar