Selasa, 25 Juni 2019

BINTANG KEHIDUPAN [Cerpen Remaja, Harian Analisa, edisi Minggu 23 Juni 2019]

ilustrasi oleh Analisa

BINTANG KEHIDUPAN
Oleh Dian Nangin
            Langit malam ini sungguh gelap. Aku tak pernah benar-benar memperhatikan langit sebelumnya—kecuali pada malam jelang tahun baru karena ada pesta kembang api. Tapi malam ini,  sembari menyandarkan punggung di sofa usang di belakang rumah, mataku lekat menatap kelamnya langit yang seakan menggenapi kesedihanku. Aku sering mendengar kalimat ‘kesepian di tengah keramaian’ dan kupikir kalimat itu terlalu berlebihan. Kini tiba waktuku mengalaminya sendiri dan merasakan kebenarannya.
            Ruang depan masih dipenuhi orang sekalipun jasad ibu sudah kami antarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya sore tadi. Sebagian kerabat masih belum akan pulang hingga beberapa hari ke depan. Sebagian berkata masih ingin menemaniku dan nenek, sebagian beralasan ingin ikut dalam acara doa bersama yang akan diadakan oleh perkumpulan tetangga dan persekutuan tempat ibadah kami. Suara bincang-bincang terdengar dari arah depan, diselingi bunyi langkah kaki yang hilir mudik ke dapur entah untuk keperluan apa saja.
            Namun, untuk sesaat, aku serasa tuli.
Tak mendengar apapun karena aku hanyut dalam duniaku sendiri. Kemarin malam ibuku meninggal setelah beberapa bulan melawan penyakitnya. Ayah telah lama tiada. Aku masih berumur tujuh tahun waktu itu dan kenanganku tentangnya pun tidak banyak. Aku hanya mendengar cerita mengenai sosok ayah dari ibu dan nenek. Lewat cerita itu aku tahu bahwa ayahku adalah lelaki gagah namun penyayang, sekaligus pekerja keras.
            Kini, sepuluh tahun kemudian, ibu menyusul ayah. Dulu, aku sesekali bertanya apa ibu merindukan ayah. Apa ibu begitu mencintai ayah hingga tak terpikir lagi olehnya untuk mencari teman hidup yang baru dan menikah?
            “Tentu saja. Ibu selalu merindukan ayah. Dan, ibu sudah punya kamu, untuk apa mencari teman hidup yang lain? Kamu tidak akan pernah meninggalkan ibu, kan?”
            Aku mengangguk, lalu memeluknya. “Aku tidak akan meninggalkan ibu, apapun yang terjadi.”
            Tapi, kenyataannya, ibu yang lebih dulu meninggalkanku. Ia pergi untuk selamanya, dan kuharap ia akan bertemu dengan ayah untuk menuntaskan rasa rindunya.
***
             Aku pernah membaca dongeng atau buku-buku fiksi yang mengatakan bila orang yang sangat kau cintai kelak tiada, ia akan berubah menjadi bintang yang mengawasi sekaligus menerangimu dari langit. Aku sudah bukan kanak-kanak lagi dan aku tahu cerita itu tidak benar, hanya semacam penghiburan penuh tipuan.
Namun, saat ini betapa aku ingin meyakininya lagi seperti anak kecil yang mempercayai hal-hal ajaib dan kadang tak masuk akal. Kuenyahkan segala logikaku dan kini hampir satu jam aku memandangi langit, tapi tak kulihat satu pun bintang pertanda ada ibuku di sana. Sungguh tak ada setitik pun sinar yang bisa menerangi muramnya hatiku.
            “Kamu ternyata di sini, Jessy?” sepotong tangan keriput menyentuh bahuku. “Nenek mencarimu kemana-mana.”
            “Aku di sini, Nek,” sahutku. Kini hanya wanita tua ini yang kumiliki. Aku tak ingin membuatnya lebih sedih, maka kucoba untuk tersenyum “Aku hanya ingin menikmati udara segar sebentar.”
            “Ayo, masuk. Acara doa bersama akan segera dimulai.”
Aku bangkit. Sebelum masuk mengikuti langkah nenek, kepalaku menoleh sekali lagi ke arah angkasa yang gulita. Dan, aku masih tak menemukan setitik pun cahaya. Harapanku pupus.
Nenek berjalan pelan di hadapanku. Seluruh rambutnya hampir memutih sempurna dan tinggi badannya sudah jauh menyusut seiring menua usianya. Ah, aku juga sangat jarang benar-benar memperhatikan nenekku. Maksudku, aku sayang padanya dan kami berbagi hari-hari bersama karena selama ini ia tinggal bersama aku dan ibu, namun kesibukanku di sekolah membuatku melewatkan perubahan apa saja yang telah terjadi padanya. Bintik-bintik hitam di wajahnya bertambah banyak, kulitnya semakin mengerut, dan mata bulatnya dulu kini menyipit.
Kusadari satu hal, bahwa dulu, ia menjelma matahari bagi anak-anaknya. Matahari adalah bintang terbesar di jagat raya, poros tata surya, pusat kehidupan. Demikian nenekku menjadi poros kehidupan dan kekuatan anak-anaknya—ibu, paman dan bibiku. Setelah aku lahir, ibu lalu menjadi bintangku. Ia menerangi dan membimbingku untuk mengenal yang baik dan yang buruk.  
Tapi, kini sumber cahaya terbesarku sudah tak lagi ada. Kemarin, penyakit yang sekian lama mendera tubuhnya telah memadamkan cahaya itu. Sekarang aku harus berdiri tegak seorang diri. Mandiri. Ditambah lagi, beberapa jam sebelum menghembuskan nafas terakhir, ibu menitipkan nenek padaku. Aku harus mengurus diriku sekaligus membagi perhatian dengannya. Entah dari mana akan kutemukan kekuatan yang besar untuk melakukannya. Aku tahu ibu tak akan ingin aku redup, namun aku juga tak tahu bagaimana menjadi bintang tanpa kehadirannya di sisiku.
            “Kamu akan bersinar dengan caramu sendiri, Jessy.”
Aku terhenyak. Entah darimana aku mendengar bisikan itu. Dan, aku yakin aku tidak sedang berhalusinasi. Aku menoleh ke kanan, kiri, bahkan ke belakang. Namun tak ada seseorang yang tampaknya baru berbisik padaku. Semua masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang membersihkan ruangan, merapikan bentangan tikar di lantai, menata gelas-gelas di meja, dan sebagainya.
            Kudongakkan kepala dan mendapati foto ibu terbingkai figura menggantung di dinding. Ia mengenakan kebaya berwarna merah muda, rambut berhias sanggul, dan mengenakan sarung batik. Aku menatap matanya dan seketika aku tahu, bahwa aku akan menemukan kekuatan lewat semangat hidup yang telah diwariskannya padaku. Ibu tersenyum anggun. Di foto itu, ia akan tersenyum selamanya dan begitulah aku ingin mengenangnya.
Medan, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar