Minggu, 07 Juli 2019

AWAN DAN OMBAK [Cerpen Harian Tanjungpinang Pos, dimuat pada Minggu, 11 September 2016]

*saya baru tahu perihal dimuatnya cerpen ini pada Juli 2019 😮😆

ilustrasi oleh Tanjungpinang Pos

AWAN DAN OMBAK
Oleh Dian Nangin
Ada beberapa hal yang ditakdirkan hanya untuk saling memandang, saling mengagumi. Tumbuh keinginan untuk memiliki, namun sang takdir menuliskan alur berbeda. Mereka ada, tidak untuk bersama.
Seperti ombak, yang sampai kapan pun tak akan pernah merengkuh awan. Terlalu jauh untuk ia gapai. Sang ombak hanya bisa termangu memandangi awan, putih berarakan bagai sepasukan malaikat penghuni nirwana. Yang dapat ia lakukan hanyalah cemburu pada langit, karena si ombak dapat  menangkap isyarat kesungguhan cintanya untuk awan.
Kurang lebih sama. Helena dengan Agung.
        Meski hubungan itu takkan pernah berjalan seperti yang Helena harapkan, ia tidak akan ‘mengasingkan’ Agung dari hatinya. Dengan dada lapang, ia belajar melepas sekaligus mengenang. Berharap dengan begitu ia bisa berdamai dengan takdir yang tidak sepaham dengan keinginannya.
***
Helena dan Agung berjalan bersisian. Gadis itu melepas sandal dan menentengnya, membiarkan telapak kakinya bersentuhan langsung dengan pasir.

“Kamu tahu apa yang pas menggambarkan hubungan kita sekarang?” suara Helena amat pelan, nyaris tersamar debur riak yang berirama.
“Apa?” Agung menoleh, mendapati wajah serius gadis itu.
“Awan dan ombak.”
“Kenapa begitu?”
“Sampai kapanpun tidak akan bisa bersama. Terlalu jauh. Terlalu sulit.”
Agung mengangguk kecil. “Cukup tepat.”
Ombak yang mencapai pantai menjilati kaki-kaki mereka yang berlumur pasir. Gadis itu menarik nafas panjang. Awan putih berarakan jauh di angkasa, bergumpal-gumpal menutupi mega biru. Pemandangan yang menenangkan.
“Tapi, apa kamu tahu? Ada hal yang sebenarnya menyatukan mereka berdua,” ucap Agung tak kalah serius.
Raut Helena penasaran. “Apa itu?”
“Hujan.”
“Hujan?” kening perempuan itu berkerut.
“Di awanlah terbentuk titik-titik air yang menguap dari laut, dan lalu turun dalam bentuk hujan yang menyiram bumi.”
“Hubungan yang unik dan bagus, ya.” Senyum Helena terlihat miris. Kalau boleh jujur, jelas bukan hubungan seperti itu yang ia inginkan.
“Awan seharusnya bersanding dengan langit, ya!?” Entah kemana pertanyaan itu Agung tujukan. Entah pada Helena, atau pada dirinya sendiri.
”Ya. Dan, ombak pasti menemukan pantai,” lirih, Helena menyahut.
Agung manggut-manggut. Lama keduanya membisu hingga akhirnya lelaki itu kembali angkat bicara. “Meski begitu, tak usah bersedih. Walau tidak bisa bersatu, tetap ada banyak hal yang bisa mereka nikmati bersama.”
“Contohnya?”
“Seperti sunset sekarang.”
Agung menghentikan langkah. Helena ikut diam, menjejak. Mereka berdiri bersisian menghadap barat. Bundar matahari perlahan membenamkan diri. Kini hanya tersisa separuh tubuhnya di ujung cakrawala, memantulkan warna oranye pekat di atas permukaan air yang bergerak-gerak.
“Tidak hanya itu. Ada angin. Hujan tadi,” Agung menambahkan.
 “Mungkin sesekali ada pelangi.”
“Atau sekawanan camar yang melintas.”
Demikian mereka sahut menyahut, menyebut apa yang terlihat mata, yang terasa oleh hati. Gumpalan awan kini berwarna jingga. Matahari senja juga membiaskan cahaya di permukaan laut—mereka disatukan oleh warna yang sama.
Dari ekor matanya, Helena dapat menangkap gerakan kepala Agung mendongak, memandang jauh ke atas. Tak ingin ketahuan mencuri pandang, perempuan itu lalu menatap ke depan. Ombak bergulung-gulung dari tengah laut, kemudian pecah ketika mendekati pantai. Sisa-sisa riaknya mencapai tempat mereka berdiri, menyapu kaki-kaki telanjang keduanya hingga terasa dingin. Dingin yang kini merambat naik ke dada. Keeksotisan pemandangan senja ini tak sedikitpun menabur romantisme.
Meski ada luka tak berwujud dalam ceruk hati, Helena ingin meyakini ada hal menyenangkan yang kelak masih bisa mereka nikmati—seperti yang Agung katakan—sekalipun mereka akhirnya tidak bersama. Akan ada kebahagiaan sebagai bayaran keikhlasannya melepas Agung, karena sejak awal lelaki itu sudah memiliki langitnya sendiri.
Pertemuan Agung dengan Helena—ombak yang ingin ia rengkuh, nyaris meruntuhkan kesungguhan ikrarnya. Sekali, dua kali, tiga kali pandangan bertemu, tahulah mereka ada kilatan sinar tak biasa di masing-masing mata. Disertai debar dada yang iramanya berbeda.
Seluruh kerumitan ini bermula sewaktu ibu perempuan itu memutuskan menikah lagi dengan lelaki yang juga sudah tak lagi muda. Pasangan itu masing-masing membawa satu orang putri. Agung lalu hadir sebagai lelaki yang mendampingi putri sang ayah tiri.
Diam-diam hati Helena dan Agung ikut menyatu kala kedua keluarga berpadu. Tahu-tahu keduanya lalu tersadar, sungguh tak terasa dua tahun sudah mereka mengelabui banyak mata. Diam-diam saling menumpahkan rasa. Hingga kemudian di rahim wanitanya Agung kembali menanamkan benih cinta, calon anak kedua. Helena lalu dipinang kekasihnya.
Maka di sinilah mereka sekarang, sepakat mengahiri segala sesuatu.
***
Gumpalan awan gemawan di angkasa itu hanya bisa memandang riak-riak si ombak dari ketinggian. Awan sadar, ia takkan mampu menyentuh buih-buih ombak, meski ia sangat ingin. Namun, awan tahu tak boleh ia egois. Awan akan belajar merelakan ombak bermesraan dengan pantai.
Awan akan tegar, itu janjinya.
“Helena...!” seorang lelaki dengan celana tergulung sampai lutut datang dengan berlari-lari, meningkahi ombak. Bocah perempuan berkuncir yang menunggangi pundaknya tertawa-tawa senang. Terlihat kekompakan dan kedekatan yang tulus di antara mereka. Lelaki itu menyerahkan si bocah pada Agung, ayahnya, lalu memandang kekasihnya. “Makan, yuk!”
“Kita harus tunggu Kak Pratiwi dulu,” ujar Helena sambil mengedar pandang, mencari sosok sang saudari tiri yang belum tampak kehadirannya di sekitar pantai.
Agung  mendorong ringan bahu Helena ke arah si lelaki dan berujar dengan tatapan penuh arti. “Sudah, sana! Nanti kami malah mengganggu, lagi....”
             Helena tak menolak, hanya membiarkan jemarinya yang kecil dan ramping digenggam oleh kekasihnya, merasakan hangat genggaman si kekasih menulari telapaknya yang dingin. Perempuan itu menatap lurus ke depan, menahan kepalanya agar tak menoleh walau sekali. Langkah demi langkahnya meninggalkan jejak di pasir yang akan menghilang disapu ombak atau angin malam. Persis harapan hatinya; bahwa segala duka memilu saat ini kelak akan enyah dilahap waktu.
Pasangan itu berjalan semakin menjauh menuju gerai-gerai makanan yang mulai ramai, hingga bayangan keduanya hanya menjelma siluet di mata Agung.
Kau sudah menemukan pantai yang bagus, Na, lelaki itu berucap dalam hati. Ia kemudian berbalik ketika sebuah suara lembut memanggil namanya. Disambutnya perempuan yang sedang berjalan ke arahnya itu sambil mencoba mengembangkan senyum.
Medan, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar