Rabu, 06 November 2019

MELODY [Cerpen Remaja Harian Analisa, Minggu 3 November 2019]

ilustrasi oleh Analisa/ Christian M Saragih

MELODY
Oleh Dian Nangin
            “Mel! Apinya sudah siap?!”
            Suara ibu menginterupsi keasyikanku menikmati kemerosok lagu yang mengudara dari radio kecil yang kutempel di telinga—barang elektronik kami satu-satunya. Kuletakkan radio butut itu kembali ke tempatnya, lalu setengah berlari menuju tungku tempatku tadi menyulut api. Ternyata api telah padam, menyisakan kepulan asap tebal. Kukipasi baranya dengan kecepatan penuh hingga api menyala dan melalap kayu bakar.
            Ayah yang baru kembali dari hutan tampak sibuk menurunkan jerigen berisi air nira yang baru dipanen dari atas becak motornya. Wajahnya memerah, urat-urat bertimbulan di leher dan tangannya, nafasnya terengah-engah, namun ia tampak masih punya banyak tenaga untuk mengangkati jerigen berat itu.
            Ibu lalu muncul membawa wajan besar yang baru ia cuci di sumur belakang. Dengan perlahan ia meletakkannya di atas tungku batu, memastikan posisinya stabil. Ayah menuang air nira sementara ibu memegang saringan di atas wajan dan tugaskuku memastikan api tetap menyala.
            Inilah rutinitas kami: mengolah air nira menjadi gula merah. Aku, ibu dan ayah harus selalu bekerja sama dan bekerja keras, sebab hanya dengan begitu kami akan memiliki penghasilan. Penghasilan yang kami yang tak seberapa itu pun masih harus dipotong untuk membayar air nira yang disadap ayah dari pohon-pohon aren milik orang lain.
Uap pekat dari didihan air nira di wajan terasa lengket di kulit. Asap memerihkan mata. Panas bara terasa membakar. Peluh mengaliri tubuh dan lengan terasa pegal karena tak henti mengaduk cairan dalam wajan yang kian lama kian berat sebab air nira berubah kental. Tapi, aku mampu menahan semua itu karena dalam hati aku asyik bernyanyi.
***
            Apakah ada cara untuk membunuh sepotong mimpi?

Aku tak ingat kapan pertama kali impian itu tumbuh di kepalaku, namun tiap kali mendengar sebuah lagu mengudara dari radio butut kami, aku akan menghentikan sejenak aktivitas, lalu fokus mendengarkan. Bermula dari hobi mendengar musik, aku mulai bernyanyi dan tumbuhlah impian kecil dalam lubuk hatiku bahwa kelak aku ingin menjadi penyanyi profesional, menyanyikan lagu-lagu bagus dan berkontribusi bagi hidup serta kemanusiaan lewat suaraku.
Tak jarang tawa remeh dan sikap pesimis kuterima kala kuutarakan tentang mimpiku tersebut pada orang lain. Mustahil, kata mereka. Kuakui, memang cukup kecil peluang diriku mencapai impian itu. Pernah aku mengenyahkan keinginan itu dari dalam hatiku. Kucoba untuk melupakannya, menyangkalnya dalam kepalaku, namun tak pernah berhasil. Impian itu selalu menemukan celah untuk menuntut perhatian.
Jadi, kuputuskan untuk tetap memeliharanya.
            Maka, di sinilah aku berada, dalam sebuah antrian panjang siswa yang tengah mengikuti seleksi peserta ekskul paduan suara. Ini adalah langkah kecil untuk mewujudkan impianku. Selama duduk di bangku SMP, aku lebih banyak berdiam diri. Aku sadar diriku berbeda. Berada di keramaian membuat rasa percaya diriku menciut. Selalu saja ada yang melirikku diam-diam atau menatap terang-terangan. Aku menjelma anomali sebab tak seorangpun memiliki kekurangan sepertiku. Tapi, sekarang aku sudah kelas sepuluh dan ini saatnya maju untuk menggapai apa yang kuinginkan.
            Tiga guru yang bertindak sebagai penyeleksi memberiku reaksi yang berbeda-beda ketika aku menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan penuh penghayatan. Ada yang mengamatiku dengan raut datar. Ada yang memejamkan mata dan menundukkan kepala. Ada yang memiringkan telinga, seolah menganalisa dengan cermat setiap kosa kata dan nada-nada yang meluncur dari bibirku.
            Guru-guru bertepuk tangan canggung ketika aku selesai bernyanyi. Tak ada komentar atau pujian yang kuterima. Seorang guru mengucapkan terima kasih, lalu mempersilakanku keluar. Lidahku terasa pahit menelan rasa kecewa sambil menghapus air mata. Aku menerima sebuah penolakan di saat pertama kali aku menemukan keberanian untuk unjuk diri.
            Namaku Melody. Ya, diakhiri dengan huruf ‘y’ dan memang merupakan sebuah kata dalam Bahasa Inggris. Entah dimana orangtuaku pernah mendengar lalu mengutip kata itu—keduanya hanya tamat SD dan tak menguasai sebijipun kosakata asing. Dan, entah mereka tahu atau tidak, betapa saat ini terlalu berat bagiku untuk menyandang nama ini.
***
            Tapi, tak ada gunanya terlalu lama berkubang dalam kekecewaan. Ketika lonceng sekolah berdentang pukul dua siang, aku bergegas pulang. Aku makan siang dengan cepat, lalu bergabung dengan ibu yang tengah menyusun tumpukan gula merah ke dalam karung dan keranjang bambu. Hari ini adalah hari pasar, dan sebuah keistimewaan bagiku bisa pergi bersama ayah dan ibu ke pasar tradisional di kota kecamatan. Kugigit tepi sekeping gula yang tersisa dan membiarkan rasa manisnya mengusir pahitnya kecewa di tenggorokanku. Kuharap kelak nasibku bisa semanis gula aren ini.
            Kami lalu berangkat. Tubuhku berguncang-guncang di atas becak motor ayah karena jalan berbatu. Kupegang erat karung-karung itu agar tak menggelosor jatuh. Setiba di pasar, kami berkeliling untuk mengantar gula-gula ke kios-kios langganan, dan favoritku adalah tempat terakhir yang kami datangi, yakni sebuah toko kelontong tua milik lelaki Tionghoa.
            Usai mengangkati gula-gula itu ke dalam toko, ayah dan lelaki Tionghoa itu akan menghabiskan beberapa menit untuk melakukan transaksi. Ibu akan berbincang-bincang dengan nyonya pemilik toko. Sedangkan aku, seperti biasa, memandang lekat-lekat sebuah televisi yang bertengger di pojok toko. Aku menikmati tayangan acara musik yang memutar lagu-lagu dari dalam dan luar negeri, dalam ritme-ritme asing namun mengasyikkan.
            Pemilik toko dan ayah menghitung dengan suara keras, ingar bingar pasar menambah riuh pendengaran, pedagang kaki lima menjajakan dagangan mereka dengan berteriak, udara panas dan lembab membuat tubuh tak nyaman. Namun, aku tak terganggu sama sekali. Suara penyanyi yang tengah mengalun merdu menyusup masuk ke dalam telingaku, membesarkan hatiku. Inilah hiburan yang hanya bisa kudapatkan kala berkunjung ke pasar. Yah, hidup dalam keterbatasan membuatku jeli menemukan kebahagiaan-kebahagiaan kecil.
Seusai mengantar semua gula merah, ayah membawaku dan ibu ke pasar malam yang juga hanya buka seminggu sekali. Di sana, ia akan sedikit memanjakan kami dengan menikmati semangkuk bakso. Atau membeli karcis dan naik komidi putar yang membawa kami ke ketinggian tertentu. Ketika berada di puncak ketinggian, aku menikmati setiap detik sensasinya, memicingkan mata jauh-jauh, menjangkau sebanyak mungkin pemandangan, dan menyimpannya dalam ingatanku.
Tapi, kali ini aku tak ingin membeli apa pun, atau naik wahana apa pun. Ada satu keinginan yang selama satu tahun ini terus menggema dalam hatiku. Uang pemberian ayah kusimpan baik-baik dalam saku celana. Aku cukup puas dengan menikmati keramaian,  mengamati atraksi badut, atau diam-diam ikut bernyanyi dengan pengamen keliling.
***
Kami tiba kembali  di rumah menjelang larut malam. Aku langsung masuk ke kamarku yang kecil. Dari sudut lemari, aku menarik keluar sebuah kotak kecil. Kurogoh sakuku dan mengeluarkan uang pemberian ayah. Kumasukkan ke dalam kotak tersebut, menyatukannya dengan setumpuk uang kertas lainnya yang telah kusimpan di sana selama setahun ini. Usai melakukan semua prosesi itu, kotak tersebut kembali kututup. Kuraba permukaan tutup kotak dan merasakan huruf demi huruf yang kuukir sendiri di sana dengan pisau lipat. Walau penerangan kamarku cukup buruk, namun dengan jelas dapat kubaca ukiran huruf membentuk empat kata di sana. Tabungan untuk operasi bibir.
            Di depan cermin aku tersenyum. Bibir atasku terpisah menjadi dua oleh belahan setengah senti, tepat di bawah hidung. Belahan itu membuat gigi seriku bagian atas senantiasa terlihat. Beberapa kosakata yang kuucapkan pun kadang menjadi samar, menyebabkan gangguan dalam komunikasiku dengan orang lain. Pernah ingin kugugat ibu, mengapa ia melahirkanku dalam kondisi bibir sumbing seperti ini? Namun, aku sadar pertanyaan itu tidak sopan dan akan menyakiti hatinya. Bersama ayah, ia bekerja keras menghidupiku. Pertanyaan itu akhirnya tak pernah kulontarkan.
Kukatakan pada bayanganku di dalam cermin, bahwa aku juga berhak memiliki impian, sebesar atau sekecil apapun itu. Hidup keluargaku sangat sederhana. Bibirku tidak sempurna. Tapi, aku tetap ingin menyenandungkan rangkaian kata dan nada! Dunia mau apa? Sebab, impian membuatku bersemangat menjalani hidup.
Medan, 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar