Kamis, 26 Desember 2019

ES BATU [Cerpen Harian Banjarmasin Post, edisi Minggu 22 Desember 2019]

ilustrasi oleh Banjarmasin Post

ES BATU
Oleh Dian Nangin

Petang telah diambil alih malam. Seorang lelaki duduk terpekur di samping gerobak dorongnya yang terparkir begitu saja di depan sebuah toko kelontong yang sudah tutup. Di dalam gerobak terbaring putranya yang berumur tujuh tahun. Sesekali bocah itu mengigau. Suhu tubuhnya mendadak naik drastis siang tadi dan sang ayah belum mampu memberi tindakan yang maksimal untuk memulihkan kondisinya.
Lelaki tersebut menengadahkan kepala ketika mendengar suara langkah mendekat, suara yang ditunggu-tunggunya sedari tadi. “Apa yang berhasil kau dapatkan?”
Seorang perempuan, istrinya, mengacungkan plastik berisi es batu. “Hanya ini. Kita coba kompres saja dulu. Semoga panasnya segera turun.”
Lelaki itu menerima es batu yang memang sekeras batu, lalu membenturkannya ke sebongkah batu besar di dekatnya. Sang istri mencari-cari selembar kain dalam gerobak yang dapat digunakan untuk mengompres.
            Suami istri itu lalu duduk bersisian, termangu menunggu dinginnya kain kompres yang diletakkan di kening putra semata wayang mereka bekerja. Sebenarnya, mereka telah pergi ke klinik-klinik dan pusat kesehatan, namun pelayanan yang diharapkan tak mereka peroleh.  Jumlah pasien hari itu membludak. Perubahan cuaca membuat tubuh-tubuh berdaya tahan lemah rentan dihinggapi penyakit. Mereka ditolak hanya setelah berbicara sepotong kalimat.
            “Tolong, anak saya demam tinggi…” Lelaki itu ragu merogoh sakunya, menyodorkan sepotong kartu dan kertas-kertas dengan dada berdegup kencang.
            Perawat berbedak tebal berlipstik norak itu memeriksa sekilas. Ia berdehem. “Tunggakan berbulan-bulan. Silakan datang lagi bila sudah dilunasi.”
            “Tapi…”

            “Pasien selanjutnya…” perempuan itu berteriak tanpa memberi si lelaki kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Orang di belakangnya sudah menggerutu. Ia terpaksa keluar dari antrian dengan tangan hampa.
            Lesu, ia kembali pada anak dan istrinya yang menunggu di gerobak kuning yang diparkir dekat trotoar. Hanya gerobak itulah harta mereka satu-satunya, benda yang dibawanya serta ketika rumah mereka kena gusur. Di dalamnya terbaring sang putra, berbagi ruang sempit dengan berbuntal-buntal kain dan perkakas butut lainnya.
            Setelah gagal mendapatkan perawatan dan bahkan sekedar beberapa butir obat, pasangan suami istri itu hanya bisa menunggu mujizat yang barangkali ada dalam sebongkah es batu. Terdengar erangan dari dalam gerobak. Si perempuan tergopoh menghampiri, menyendoki air ke mulut putranya, mengganti kompresan, lalu kembali duduk menunggu.
            “Maaf,” kata lelaki itu kepada istrinya. Namun, suaranya terlalu lemah hingga perempuan yang duduk memeluk lutut di sebelahnya itu tak mendengar.
            Entah apa yang berkecamuk dalam hati perempuan itu, hingga tak menyadari raut sesal dan kepedihan yang terpancar dari wajah sang suami. Betapa lelaki itu merasa telah bekerja  keras demi mencukupkan segenap kebutuhan, sekaligus ia merana karena merasa masih belum melakukan apapun yang berarti. Ia merelakan secangkir kopi tubruk kesukaannya di warung buruk ujung jalan demi menambah barang beberapa ribu rupiah untuk istrinya. Menahan lapar sementara putra semata wayangnya melahap sebungkus nasi dengan telur dadar ketika mereka bersama-sama memulung di hari Minggu. Ia tepikan segala keinginan agar anggota keluarganya tetap dapat bernafas.
Barangkali akan lebih bijaksana bila dulu ia tak meminang perempuan yang telah menerima dirinya apa adanya tersebut dan buah cinta mereka tak pernah terlahir. Namun, apa yang kelak terjadi telah tercatat jauh sebelum ia berencana.
            Mereka tak bisa menolak mencicipi kenyataan bahwa nasib manusia bisa begitu malang. Rezeki seakan menghindar tak peduli seberapa keras ia berusaha. Rumah kecil mereka digusur bersama puluhan rumah tetangga lain yang dituduh berdiri di lahan negara tanpa izin. Puncaknya, satu-satunya putra yang mewarnai kehidupan rumah tangga itu dihinggapi penyakit. Lelucon yang mengatakan bahwa orang miskin dilarang sakit tidak terdengar lucu sama sekali!     Demi sang anak, mereka telah mengetuk pintu-pintu, menengadahkan tangan meminta belas kasihan walau sesungguhnya mereka telah bertekad pantang meminta-minta. Namun, tak seorang pun berwelas asih. Sang putra mengigau-igau, entah melihat apa ia dalam tidurnya.
Menjelang tengah malam, lelaki itu terbangun. Ia bangkit dan mengambil alih pekerjaan mengganti kompres. Namun, tubuhnya mendadak kaku ketika menyentuh tubuh anaknya yang telah sedingin udara malam.
            Ia lantas membangunkan istrinya dan mereka berangkulan sambil tersedu. Tak ada tempat untuk berbagi duka kecuali pada langit malam yang acuh. Kilas-kilas lampu mobil yang sesekali melintas menyorot pasangan malang itu. Tak ada ucapan belasungkawa dari siapa pun, tak ada kalimat-kalimat penghiburan. Bahkan tikus-tikus got yang beberapa jam lalu sibuk berlalu lalang di antara kaki-kaki mereka tampak senyap, seakan enggan mencampuri duka segar yang baru singgah itu.
            Si perempuan bangkit dan mengguncang-guncang tubuh anaknya. Namun, upaya terakhirnya itu tak berbuah apa-apa. Mangkuk berisi es batu yang telah mencair berdiri miring, menumpahkan separuh isinya dan merembesi kain-kain yang berserakan, menembus lantai gerobak yang berlubang halus dan menetes ke permukaan jalan. Menitik satu persatu bersamaan air mata sepasang orang tua  yang dijejali penyesalan.
            “Ayo,” si lelaki meraih tangan istrinya.
            Perempuan itu bergeming, “Hendak kemana kita?”
            “Mencari masjid terdekat…” jawab suaminya sambil berbenah, “…dan mencoba kembali meminta pertolongan.”
            “Untuk apa lagi?” sahut istrinya separuh ketus, teringat manusia-manusia angkuh yang telah mereka ketuk pintu rumah dan pintu hatinya tadi siang. Segalanya sudah terlambat. “Toh anak kita sudah mati.”
            “Walau gagal memberinya obat dan perawatan, minimal kita bisa memberikannya  pemakaman yang layak.”
Medan, 2019

2 komentar:

  1. Mbak Dian, aku mau tanya don, kalo cerpen kita terbit di Banjarmasin Post, ada pemberitahuan dari pihak redaksi tidak yaa??

    BalasHapus
  2. Tahun lalu tidak pernah ada pemberitahuan tiap kali cerpen saya terbit di Banjarmasin Post, tapi cerpen ini ada konfirmasi langsung dari Redakturnya. Sertakan saja nomor HP/WA di akhir naskah kamu, kali aja Redakturnya mau ngabarin :)

    BalasHapus