Senin, 03 Februari 2020

SATU HARI DI JANUARI 2020: berkunjung ke situs budaya Puteri Hijau, Museum Letjen Jamin Ginting, mengelilingi pedesaan, ‘menyentuh’ Danau Lau Kawar, menjemput malam di pemandian air panas Desa Semangat Gunung


Halo, Februari!
Selamat tinggal Januari! Tak terasa tahun 2020 sudah sebulan berlalu. Bagaimana harimu? Hidupmu? Beranjak dengan ceria? Atau sudah kelelahan dihajar berbagai problema dan cobaan? Kalaupun, ya, mari lupakan sejenak. Ada banyak hal menyenangkan dan berkesan yang patut dikenang. Dan, ini kenanganku—kenangan kami.
Sebelum kembali ke dalam jeratan rutinitas yang tak kenal ampun, saya bersama adik, abang dan saudara sepupu menyusun rencana untuk bepergian pada tanggal 14 Januari 2020. Here we go…

          1. Situs Budaya Puteri Hijau di Desa Seberaya, Kec. Tiga Panah, Kab. Karo
Pada pagi hari pukul 09.30, kami berangkat. Setelah mengisi bensin mobil, perjalanan dimulai. Adik sepupu selaku pengemudi memacu mobil menuju Simp. Ujung Aji, masuk ke dalam dan terus mengemudi mengikuti lekak-lekuk jalan aspal, berbelok ke sebuah persimpangan, terus melaju hingga tiba di sebuah gapura berwarna hijau.
Tujuan kami yang pertama: Situs Budaya Puteri Hijau Desa Seberaya. Setelah bertanya kepada seorang petani yang tengah menyiangi padinya, kami menemukan situs itu tidak jauh dari gerbang masuknya. Situs tersebut berada di sebuah bukit rendah dengan sejumlah anak tangga untuk mencapainya. Namun, demi melihat lokasi situs tersebut, kami terdiam dan berpandangan. Hal pertama yang ditangkap mata adalah kesan mistisnya.

Tak ada pemandu atau apapun yang dapat digunakan sebagai sumber informasi. Kami menaiki anak tangga dan mengucap salam dengan pelan, lalu melihat-lihat sekeliling situs, mengintip sedikit ke dalam ruang utama dan mendapati keadaan yang kotor: puntung rokok, bunga-bunga busuk dan kering, mungkin bekas ziarah para pengunjung yang entah kapan. Sekeliling situs dipenuhi semak belukar, dikelilingi pohon-pohon besar dengan cabang ranting yang sebagian telah rapuh dan patah, sebagian telah landai ke atas bangunan. Beberapa bendera merah-putih kecil nan usang yang diikatkan pada ujung tangkai kayu berkibar lemah. Sungguh pemandangan yang memprihatinkan.
       Setelah berseluncur sejenak di google, saya mengetahui bahwa yang berada di situs budaya ini adalah peninggalan gulungan rambut sang Puteri Hijau yang konon terkenal kecantikannya (untuk kisah lengkapnya, silakan baca sendiri di google hehe). Ditambah dengan lubang tempat lahir  Puteri Hijau dan kedua saudaranya: seekor naga bernama Ular Simangombus dan Meriam Puntung. Turut pula Lau Pirik yakni tempat mandi Puteri Hijau.

2. Museum Letjen Jamin Ginting

          Next destination!  

Masih searah dan tidak terpaut jarak yang jauh dari situs budaya Puteri Hijau, kami menuju Museum Letjen Jamin Ginting. Setelah tersasar sebentar hingga ke Desa Semangat, kami akhirnya tiba di museum disambut sepi. Tentu saja, karena kami berkunjung pada hari kerja. Tiket masuk sebesar Rp. 5000/orang.
Desain bangunannya cukup megah dan modern dengan sedikit sentuhan lokal. Museum dengan dua lantai ini memamerkan replika barang-barang tradisional Karo di lantai satu, sedangkan lantai dua berisi barang-barang pribadi peninggalan Jamin Ginting serta dokumentasi perjalanan hidupnya. 
       Museum ini telah menjadi ikon Desa Suka selaku tempat kelahiran sang pahlawan nasional. Selain dapat menikmati berbagai pajangan peninggalan Jamin Ginting yang tentunya menambah pengetahuan, museum ini juga menawarkan tempat berfoto yang oke.    


3. Mengelilingi Pedesaan 
    Barangkali, apa yang kami lakukan selanjutnya terkesan buang-buang waktu atau buang-buang bensin. Sebab, kami membiarkan roda mobil menggelinding membawa kami menelusuri sejumlah desa di Kabupaten Karo, desa yang telah singgah namanya di telinga sejak kami masih kecil namun tak pernah kami kunjungi. Namun, kegiatan ini tak akan sia-sia, sebab jelas menambah pengetahuan dan membuat mata terbuka lebih lebar, mengenali sisi-sisi lain dataran yang kami tinggali. Mobil mengikuti lika-liku jalan aspal, membawa kami mengitari Gunung Sinabung, berusaha sedekat mungkin dengannya namun masih dalam jarak aman.
Kami melintasi tanggul-tanggul lintasan lahar dingin, menjenguk sepintas desa-desa yang telah ditinggalkan penduduknya dan pergi mengungsi, melihat rumah dan tempat-tempat ibadah yang terlantar dan mulai dijajah ilalang hingga ke atap-atapnya. Berhenti di jalan yang sepi dan berdiri di tepi, merentangkan tangan menikmati angin kencang, hingga numpang berpose di ladang jagung orang.


             4. ‘Menyentuh’ Danau Lau Kawar
          Puas berkeliling tanpa tujuan, kami mengisi perut di sebuah rumah makan yang dipilih secara acak bernama—mohon jangan ketawa—BPK Pok Ame-Ame J Setelah kenyang dan meluruskan kaki sebentar, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Danau Lau Kawar.
Danau Lau Kawar berada di kaki Gunung Sinabung, tepatnya di Kec. Naman Teran, Kab. Karo, Sumut. Terdampak letusan Sinabung, kunjungan turis turun drastis. Beberapa sisi gunung memang tampak gersang, namun pemandangan yang disuguhkan oleh danau yang diapit perbukitan yang dipadati pepohonan hijau sangatlah memesona. Lokasi Danau sepi ketika kami tiba. Hanya segelintir pemancing ikan yang tengah menunggui kail mereka serta sebuah keluarga yang masih bertahan tinggal di tepi danau.

             Kami duduk di bangku kayu menghadap danau, menikmati semilir angin, secangkir teh manis dingin dan pemandangan anak-anak kecil yang tengah asyik berenang. Kami turut larut dalam kegembiraan mereka yang seakan tak ambil pusing dengan bencana Gunung Sinabung yang berkepanjangan atau tentang hidup yang serba tak pasti. Mereka memperlihatkan kebahagiaan kanak-kanak murni.
         Tak ada aktivitas lain di sana. Sungguh sunyi. Saya bayangkan, dalam keadaan normal sebelum Gunung Meletus, pastilah tempat ini ramai dikunjungi mengingat keindahan alamnya serta luasnya tanah lapang yang cocok dipakai untuk piknik hingga kemping. Kami lalu memuaskan diri berkeliling, mereguk sebanyak-banyaknya pemandangan, dan menyentuh dinginnya air danau lalu menyimpannya dalam ingatan.


           5. Menjemput Malam di Pemandian Air Panas Desa Semangat Gunung
          Pukul lima sore, kami bertolak dari Danau Lau Kawar dan melaju menuju Berastagi. Singgah sebentar di Desa Jalan Udara untuk membeli gorengan, lalu tancap gas menuju Doulu. Tujuan akhir kami adalah pemandian air panas Pariban untuk merendam tubuh di kolam air panas belerangnya untuk melepaskan penat.
Matahari perlahan terbenam seiring kami asyik mengobrol dalam kolam sambil memijit-mijit betis.

          Sesungguhnya, ini adalah perjalanan yang teramat sederhana. Barangkali tempat yang kami kunjungi bukanlah tempat favorit banyak orang atau bukan destinasi yang tengah viral. Namun, tak mengapa, sebab esensinya bukanlah tujuan tersebut. Kali ini, bagi kami, perjalanan bukanlah perkara hendak kemana, namun dengan siapa.


Sekian
Awal Februari 2020
Catatan: semua gambar/foto yang disertakan dalam tulisan ini adalah dokumentasi pribadi. Harap cantumkan sumber bila ingin mengkopinya. 






 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar