Rabu, 19 Februari 2020

RUMAH INANG [Cerpen Harian Waspada, edisi Minggu, 16 Februari 2020]


RUMAH INANG
Oleh Dian Nangin

          Inang sebenarnya ingin memprotes dengan keras anak-anak dan para menantunya yang tengah berunding di hadapannya, namun tubuhnya yang tak berdaya hanya duduk kaku di atas kursi roda. Batinnya bergemuruh mendengar hal yang sungguh tak ia inginkan; mereka sepakat untuk menitipkannya ke panti jompo. Kesepakatan lainnya adalah menjual rumah milik Inang yang kini sudah tak ada lagi yang mengurusnya, sebab nyaris dua tahun terakhir Inang dirawat di rumah sakit karena menderita stroke.
Kedua bola mata Inang bergerak, berusaha menjangkau sebanyak mungkin pemandangan dalam rumahnya. Menikmatinya dalam lirih. Ia perlahan menyusuri bagian dalam bangunan yang setidaknya telah berusia satu abad ini.
Rumah ini juga peninggalan orang tuanya yang diwariskan padanya. Di sanalah berlangsung masa kecil Inang hingga ia menikah dan menjalani kehidupan dengan suami serta keempat anaknya, ribuan hari lalu, dalam banjir duka ataupun luapan suka.
Kehidupan terus bergerak dan berubah. Anak-anak tumbuh dewasa dan Inang menua.  Ketika mereka sudah sukses di kota, Inang juga terkena perciknya. Putra putrinya yang telah menjalani kehidupan modern menjejali rumah tua Inang dengan barang-barang canggih produk masa kini. Padahal, seperti kebanyakan para orang tua yang tinggal di kampung, mereka selalu ingin bertahan dalam kesederhanaan. Namun, kesederhanaan itu tak lebih dari sebuah kekolotan di mata mereka—anak-anak yang telah mencicipi kehidupan modern.
Mereka pikir kecanggihan itu akan membuat hidup Inang lebih mudah, namun nyatanya membuat situasi perempuan tua itu makin rumit. Ia harus memaksa otaknya yang juga sudah tua agar mampu mempelajari dan beradaptasi dengan barang-barang tersebut. Sering sisi melankolinya muncul, berpikir bahwa bila ia menghadapi perubahan itu bersama-sama dengan suaminya, barangkali bebannya tidak akan seberat itu.
Namun malang, lelaki itu sudah meninggal dua puluh tahun silam. Meninggalkan Inang berjuang sendiri untuk menyokong kehidupan anak-anaknya lewat sepetak lahan dengan bertani. Berjuang bertahun-tahun hingga semuanya mencapai kesuksesan masing-masing. Sayang, kesuksesan itu tidak disertai dengan pengertian akan apa yang sesungguhnya diinginkan ibu mereka.
Hati Inang ngilu. Kalau benar anak-anaknya akan menjual rumah ini, maka ini menjadi kali terakhir bagi mereka untuk berada di dalamnya. Rumah itu memang sudah sangat tua, bermodel rumah panggung dengan debu menempel dimana-mana. Tentu tak ada satu pun anaknya yang ingin menempatinya, sebab kenyamanan dan kemewahan rumah ini tak sebanding dengan bangunan megah bergaya barat yang mereka miliki di kota.
Dalam diam, Inang seakan hanyut ke dalam dunianya sendiri. Ia telusuri jerejak-jerejak jendela yang dihiasi tirai sederhana yang ia jahit sendiri. Foto-foto tua yang menggantung di dinding. Hasil-hasil prakarya anak-anaknya semasa sekolah terpajang di lemari kaca yang tak lagi berkaca. Meja makan yang dibuat sendiri oleh suaminya. Bunga-bunga plastik usang yang telah menjadi dekorasi rumah itu selama bertahun-tahun. Rembesan air hujan di langit-langit. Tumpukan tikar lapuk di salah satu sudut.  Tak ketinggalan barang-barang elektronik kiriman anak-anaknya yang tak pernah ia sentuh. Televisi besar berlayar datar yang ditutupi sehelai kain. Lemari pendingin yang kosong. Penanak nasi yang tak pernah digunakan. Kipas angin yang jarang difungsikan.
Inang termangu. Bocah laki-laki dan perempuan berlarian di sekitar kursi roda tempatnya teronggok, menendang-nendang bola plastik sambil tertawa terpekik-pekik. Cucu-cucu yang berisik. Tak ada yang memahami raut sendu dan katup bisu bibir Inang.
Delapan orang dewasa mengeliling meja dengan map-map terbuka di atasnya. Beberapa lembar kertas dibaca bergantian. Mereka terus berunding, belum ditemukan kata sepakat. Map-map berpindah ke sana ke sini. Telunjuk-telunjuk mengarah pada kertas satu ke kertas lainnya. Tak peduli pada Inang yang nelangsa.
Inang mencoba bicara, mengeluarkan bebunyian dari tenggorokannya yang senantiasa terdengar ganjil. Putri bungsunya menoleh.
“Ada apa, Bu? Apa yang Ibu inginkan? Minum? Makan? Ke kamar mandi? Ibu ingin tidur?” perempuan bertubuh gempal itu memberondong Inang dengan pertanyaan yang biasa ia ucapkan, sama sekali tak menangkap maksud lain dari suara aneh ibunya.
Inang berbicara lagi. Namun yang terdengar hanyalah geraman dan lenguhan yang tak mudah diartikan. Ditawarkan segelas air, Inang menggeleng. Disodorkan sepiring penganan ringan, Inang juga menggeleng. Didorong menuju kamar mandi, Inang tak bergerak. Dibaringkan di kasur, Inang menolak. Anak-anak yang kebingungan itu memilih melanjutkan perundingan.
 Setelah perundingan selesai, beberapa lelaki asing datangcalon pemilik rumah serta lahan Inang yang baru. Perempuan tua itu tak berdaya menolak sebab anak-anaknya berusaha meyakinkannya, bahwa itu adalah pilihan terbaik. Mereka sudah cukup mapan hingga mampu melepas lahan kecil beserta rumah usang di atasnya. Inang membatin lirih, menyesalkan betapa kini uang sudah mampu mengambil alih segalanya, termasuk membeli kenangan. Seakan sejarah selama puluhan tahun yang tergores di dalam rumah itu tak lebih berharga dibanding segepok uang yang bisa ludes dalam hitungan menit.
Ketika tanda tangan Inang kemudian tergurat, anak-anak dan menantunya bergantian menepuk lembut bahunya, mengelus punggung tangannya, seolah ingin menenangkan hatinya dengan ketulusan namun Inang tahu semua palsu belaka.
“Terima kasih, Bu, terima kasih,” putra sulungnya berucap dengan nada bangga, seolah Inang baru saja melakukan sebuah tindakan heroik.
Ah, ya! Inang baru saja menjadi pahlawan, juruselamat. Ia berkorban, mengalah demi menyelamatkan anak-anaknya dari kerepotan atas keharusan mengurus dirinya yang sudah tak berdaya. Inang harus memikul pilunya hati sebab akan digelontorkan ke panti oleh putra-putri yang pernah bersemayam di rahimnya sendiri.
***
Panti Jompo Surya.
Itulah nama tempat dimana Inang akhirnya berlabuh. Rumah asing yang menggantikan rumah tuanya yang penuh kenangan. Kedatangannya disambut dengan keramahan dan kehangatan yang hambar. Seorang perawat di sana menuturkan pada Inang bahwa sesungguhnya, walau para penghuni panti jompo itu sudah memasuki usia senja, mereka masih bisa bersinar terang.
“Seperti sang surya,” katanya sembari tersenyum sumringah.
Inang mencibir dalam hati. Sungguh kata-kata yang manis, namun ia tahu itu hanya bualan semata. Mereka semua memang sudah berusia senja. Tinggal menunggu waktu yang hanya sebentar lagi untuk terbenam. Menjadi tiada. Ditangisi sebentar dan lalu terlupakan.
Anak-anaknya, dengan rasa puas tersirat di wajah, merasa tempat itu cukup sempurna untuk mempercayakan ibu mereka. Mereka pamit setelah masing-masing memberi ciuman singkat di pipi atau kening Inang, berjanji akan sering kembali untuk menengoknya.
Namun, perempuan tua itu seakan telah mati rasa. Ia hanya mendapati kekosongan dalam janji itu, tahu benar bahwa kepentingan dan kesibukan mereka berada di atas segalanya hingga untuk sekedar mengurus wanita yang telah melahirkan dan membesarkan mereka pun mereka tak punya waktu.
Inang menatap punggung-punggung itu pergi menjauh dengan pandangan yang mengabur karena penglihatannya memang sudah memburuk, ditambah air yang menggenang di pelupuk matanya. Air yang perlahan jatuh satu demi satu.
Medan, 2017-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar