Minggu, 17 Februari 2019

KECAKAPAN MENULIS

Beberapa waktu lalu, saya mendapat kepercayaan dan kesempatan untuk menjadi juri sebuah ajang lomba menulis cerita pendek dengan tema ‘Guruku Pahlawanku’. Kesempatan itu tentu saja menjadi sebuah pengalaman besar bagi saya yang sebenarnya belum memiliki jam terbang tinggi di dunia menulis (fiksi).
e-sertificate
Saya dan empat juri lain masing-masing diberi tanggung jawab untuk menyeleksi enam cerpen terbaik dari dua ratus lima puluh lebih naskah yang ditulis oleh para peserta yang berasal dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Walau terikat pada satu tema, namun saya menghadapi beragam gaya menulis dan ide cerita yang berasal dari peserta dengan berbagai latar belakang budaya, pendidikan, sosial, ekonomi, agama, dan lingkungan yang sedikit banyak tertuang ke dalam karya mereka.

Saya tidak hendak membahas ide dan cara bercerita masing-masing peserta, namun saya ingin sedikit menyoroti tatabahasa yang mereka gunakan dalam naskah-naskah yang diikutsertakan pada lomba tersebut.
Selama melakukan proses penjurian, tata bahasa yang meliputi pemilihan diksi, penulisan (pengetikan), dan penempatannya secara tepat dalam kalimat, serta pemakaian PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) menjadi kesalahan paling fatal yang saya temui. Terdapat banyak sekali error di sebagian besar naskah, seperti typo atau salah tulis/ketik, kesalahan penggunaan kata depan, titik, koma, huruf besar atau kecil, bertebaran dimana-mana.
Padahal, tatabahasa merupakan elemen terpenting dalam menulis cerita. Sebab, kekacauan tatabahasa akan turut pula mengacaukan pesan yang ingin disampaikan si penulis dalam cerita tersebut. Bahkan, bisa jadi cerita itu tidak dapat dinikmati dan dipahami pembaca sama sekali.

Sebenarnya saya tidak ingin menyinggung pihak tertentu, namun, sesungguhnya apa yang para peserta tuangkan dalam karya-karya tersebut, baik ide maupun pengetahuan tentang cara menulis yang baik dan benar adalah buah dari apa yang mereka pelajari di sekolah/institusi pendidikan. Benar, bukan? Menurut saya, inilah potret kecil mengenai apa yang terjadi dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah, sebab dari sanalah pengetahuan menulis paling mendasar bermula. Ini merupakan hal yang sangat perlu dibenahi. 
Saya amat antusias membaca satu demi satu naskah yang diberikan kepada saya, sekalipun kesalahan-kesalahan yang telah disebutkan terdapat di 80% naskah. Saya angkat dua jempol kepada para peserta yang ternyata masih begitu semangat mengikuti kompetisi menulis. Ini menunjukkan bahwa dunia literasi di negeri ini masih bergeliat. Alangkah sayangnya bila minat-minat menulis ini tidak didukung dengan pengetahuan yang memadai. 
Mungkin, ya, pengetahuan tidak melulu berasal dari sekolah saja. Orang-orang yang ingin bergelut di dunia menulis memang harus mempersenjatai diri sendiri dengan pengetahuan yang sebenarnya bisa diperoleh dimana-mana, salah satunya dengan banyak membaca dan terus berlatih.
[Melalui pengalaman ini, saya jadi mengerti apa yang dirasakan oleh para redaktur cerpen koran yang menerima kiriman belasan bahkan puluhan cerpen setiap harinya, dan mereka harus menyeleksi naskah-naskah yang mungkin berasal dari penulis pemula yang masih belum paham cara menulis yang baik dan benar. Saya paham kesabaran mereka diuji ketika ratusan kali membaca kisah klise yang sama, alur yang 'ngawur', penempatan tanda baca yang tidak pada tempatnya, dll 😄]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar