Selasa, 12 Maret 2019

TANPA SAYAP [Cerpen Remaja Harian Analisa, Minggu, 10 Maret 2019]

ilustrasi oleh Analisa

TANPA SAYAP
Oleh Dian Nangin
            “Sampai jumpa, Tiara.” Diva memeluk erat sahabat karibnya itu ketika akan melepasnya pergi ke bandara. Tiara akan lanjut kuliah ke negeri seberang, ia sudah diterima di sebuah universitas di Australia. Ada sebongkah iri yang menyelimuti hati Tiara. Sebagian besar teman-temannya bahkan mampu menyeberangi lautan dan melintasi benua untuk mengejar mimpi mereka, namun Diva sendiri tak berdaya untuk menjemput cita-cita di ibukota.
            Malam harinya, gadis itu merebahkan tubuh sambil menatap seragam sekolah penuh coretan yang tergantung di dinding. Ada sebaris ucapan selamat berpisah, ada pula tertulis janji untuk bertemu kembali. Matanya membaca nama demi nama yang tergurat di sana, nama-nama yang memiliki impian tersendiri.
Nama-nama yang kini mengarungi jalan masing-masing untuk mewujudkan mimpi itu. Hanya Diva yang tampaknya tak akan bergerak kemana-mana.
Walau tak pernah lupa menyelipkan cita-cita dalam doanya setiap malam, tapi Diva tidak berani untuk mengatakannya pada kedua orang tuanya. Kasihan ayah, kasihan ibu. Mereka sudah terlalu tua untuk kembali dibebani. Dua tahun lalu angkot butut ayah akhirnya rusak totak setelah belasan kali masuk bengkel. Akhirnya ia beralih profesi menjadi petani kecil-kecilan dan mengolah sepetak lahan di halaman belakang rumah. Di sana ia menanam berbagai sayur-sayuran untuk dijual ibu di pasar pagi. Diva selalu ikut ke pasar membantu sang ibu.
            Baru seminggu Diva melepaskan seragam putih abu-abu. Gadis itu berpikir untuk mengikuti jejak Mayang, kakak perempuannya yang mengambil kursus menjahit setelah hanya menamatkan SMP, sama seperti dua saudara laki-lakinya yang lain, yang langsung mencari pekerjaan masing-masing. Diva sendiri sudah sangat bersyukur bisa bersekolah hingga SMA. Berbekal keahlian menjahit, seperti sang kakak, Diva akan berjuang untuk masa depannya kelak.
            Namun, hati Diva seakan berontak. Meski tahu bahwa segala keterbatasan merintangi jalan, cita-cita dalam hatinya tidak padam begitu saja. Ia tetap belajar dengan keras. Ia melamar beberapa beasiswa, mana tahu keberuntungan berpihak padanya. Dan, benarlah. Di penghujung SMA, kerja kerasnya berhasil. Sebuah keberuntungan menghampirinya. Salah satu universitas bersedia memberikan beasiswa.
Tapi, ternyata hidup bukan tentang keberuntungan semata. Setelah menggenggam satu kesempatan, tantangan lain segera menghadangnya. Dibutuhkan biaya transportasi untuk bisa tiba di universitas itu, juga untuk akomodasi, hingga kebutuhan-kebutuhan kecil yang tidak bisa dihindari. Diva menghitung seluruh uang tabungannya hingga ke pecahan terkecil, tapi jumlahnya masih belum cukup. Gadis itu  menghela nafas panjang, mencoba berbesar hati. Mungkin memang sebaiknya ia mendaftar kursus menjahit saja.
Diva memejamkan mata. Walau tak akan mampu meraih mimpinya, ia berharap akan ada bunga tidur yang indah yang singgah dalam lelapnya.
***
            “Diva! Bangun, Nak…”
            Gadis itu meregangkan tubuh. Ia mengingat-ingat, rasanya ia baru tidur beberapa jam saja. Kenapa pagi tiba secepat ini?
            “Kita harus berangkat sekarang.”
            Diva memaksa tubuhnya untuk bangkit. Ia masih cukup lelah, tapi ia tahu ia harus bangun pagi kalau tidak ingin dagangan sayur mereka hari ini tidak akan laku, yang berarti mereka tak akan memperoleh uang masuk sama sekali. Ia bergegas keluar kamar sembari menguap.
            Namun, ia melihat pemandangan yang tak biasa. Bukannya mendapati tumpukan sayur, ia malah melihat beberapa tas dan koper butut yang entah berisi apa berderet di dekat pintu. Ayah ibunya juga tengah bersiap-siap, berpakaian rapi, seolah mereka akan menempuh perjalanan jauh.
            “Menurut perhitungan ayah, kita akan tiba lusa pagi buta. Semoga masih belum terlambat,” sang ayah berkata.
            Diva mengerutkan kening, tak paham. “Maksud ayah?”
            Pasangan yang akan beranjak menuju usia senja itu menatapnya sambil tersenyum penuh arti. Tahu-tahu sang ibu mengeluarkan bundelan kertas dari salah satu tas. Diva terkesiap. Itu adalah surat-surat lamaran beasiswa yang selama ini ia simpan rapi di bawah kasurnya.
            “Ini cita-cita kamu, kan? Kenapa selama ini kamu sembunyikan dari ayah dan ibu? Ayo, kita harus usahakan bersama. Kesempatan ini tidak boleh dilewatkan begitu saja.”
            Diva merasa masih berada di alam mimpi ketika ia masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Bahkan ia masih tak percaya ketika di luar rumah telah menunggu mobil angkot ayah yang lama tak beroperasi, kini telah menyala dengan mesin berdengung. Entah kapan ayah memperbaikinya lagi. Diva juga melihat ibunya menyimpan dengan rapi sejumlah uang tunai beserta sebuah buku tabungan. Jumlah yang tertera di dalamnya membuat gadis itu bertanya-tanya, sejak kapan sang ibu mulai menabung dengan menyisihkan sedikit pendapatan mereka yang tak seberapa? Dan itu semua untuk dirinya?
***
            Semua baru terasa nyata ketika Diva menjejakkan kaki di pelataran universitas negeri yang telah mencatatkan namanya sebagai salah satu calon mahasiswa. Sedikitpun tak tersisa penat yang seharusnya hinggap di tubuhnya setelah perjalanan teramat panjang yang tak pernah ia alami sebelumnya.
            Gadis itu kini selangkah lebih dekat menuju cita-citanya. Masa depannya yang ia duga akan berakhir menjadi tukang jahit, kini berbelok. Penuh kejutan. Diva bersiap melayang terbang untuk menggapai impiannya. Walau tanpa sayap, ada ayah ibu yang masih mampu menjulangnya tinggi dengan segenap kekuatan mereka. Diva menoleh. Kedua orang tuanya masih tampak berdiri di belakangnya. Bergandengan tangan. Mata berkaca-kaca, namun bibir tersenyum bangga.
Medan, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar