Jumat, 12 April 2019

MEMBACA HANYA SEKADAR HOBI? TIDAK LAGI!


Suatu pagi, pintu rumah saya diketuk dengan ritme yang menandakan sebuah ketergesaan. Saya menyahut, dengan santai membuka kunci serta gerendel pada pintu besi. Si pengetuk, seorang tetangga yang beberapa tahun lebih muda, tampak panik bercampur excited. Ia nyaris mengomel karena saya bergerak lamban.
“Ada apa sih?” tanyaku.
“Ini urgent, Kak,” sahutnya cepat.
Setelah masuk, ia membeberkan hal mendesak tersebut dan saya hanya bisa menarik nafas. Hal urgent itu tak lebih dari ketidakmampuannya menyusun kata-kata untuk membalas pesan WA dari HRD sebuah perusahaan tempatnya kemarin mengantarkan surat lamaran kerja pertamanya.
“Apa susahnya membalas itu?” tanyaku.
Saya melihat pesan di layar ponselnya. Tampak beberapa pertanyaan berkenaan tentang pribadi si pelamar dan juga mengenai pekerjaan yang dilamar. Saya berpikir sebentar, lalu mengembalikan ponselnya.
“Jawab saja dengan jujur dan sopan.”
“Iya, tapi bagaimana merangkai kalimatnya?!” katanya dengan wajah memelas.
“Katakan begini, bla…bla…bla…” kucoba membantu sambil mondar-mandir mengerjakan beberapa hal.
“Wah, iya, benar! Itu maksudku!!” Tangannya bergerak cepat di layar ponsel untuk mengetik balasan pesan tersebut. Kepalanya menoleh ke kanan kiri untuk mengikuti pergerakanku. “Gimana tadi, Kak? Aduh, aku cepat kali lupa. Coba ulangi…”
Saya mengulangi lagi dengan sabar sembari geleng-geleng kepala. Beberapa menit kemudian balasan pesan tersebut masuk dan si tetangga kembari grasak-grusuk. Tanpa basa-basi, ia menyodorkan ponselnya untuk saya baca. Dia mengatakan jawaban yang ingin disampaikan dan saya menyusun kata-kata. Begitulah yang terjadi selama beberapa menit, hingga pembicaraan dengan sang HRD usai dan si tetangga pulang ke rumahnya dengan damai. Ketika melangkah keluar, ia bertanya,”Dari mana kakak belajar menyusun kata-kata seperti itu?”
Saya sendiri belum pernah berhadapan atau setidaknya berurusan dengan HRD suatu perusahaan, tapi saya tidak mengalami kesulitan menghadapi situasi semacam itu. Mungkin karena bukan saya langsung yang mengalaminya hingga saya bisa lebih tenang, entahlah. Pertanyaan si tetangga membekas di benak saya untuk beberapa saat. Dari mana saya belajar menyusun kata-kata seperti itu?
Mata saya langsung melirik tumpukan novel yang menyesaki meja belajar di sudut ruangan. Saya tidak pernah membaca buku pedoman melamar kerja. Saya menyadari bahwa mungkin kata-kata tadi saya temukan di salah satu novel yang pernah saya baca.
Dari mana saya belajar? Dengan membaca.
dokumentasi pribadi

Pertama kali menyadari bahwa saya suka membaca novel, saya menganggap kegiatan itu tak lebih dari hiburan (saya tidak suka nonton televisi), jadi pengisi waktu kosong, dan sebagainya. Tapi, seiring berlalunya waktu dan semakin beragam genre cerita yang saya baca, saya menyadari bahwa membaca kisah-kisah fiksi itu memberi banyak manfaat.
Coba telusuri lewat google, kita akan disuguhi banyak sekali manfaat membaca fiksi. Sewaktu  menelaahnya, saya mendapati bahwa sebagian besar yang saya temukan sesuai dengan yang saya alami, seperti:
a.   melatih keterampilan berpikir: cerita fiksi dibangun dengan konflik dan solusinya. Pembaca diajak untuk memahami konlik berikut pemecahannya agar dapat menikmati kisah dalam novel tersebut.
b.      menumbuhkan sikap simpati dan empati: pembaca dapat melihat sebuah situasi melalui sudut pandang yang lain. Kita juga dapat berdiri di posisi seorang tokoh yang ditimpa berbagai peristiwa dalam cerita dan merasakan apa yang dialaminya. Manfaat yang satu ini akan menjauhkan orang yang suka membaca dari sikap nyinyir.
c.      memperkaya kosakata: novel yang baik disusun berdasarkan diksi yang baik pula dan itu dapat menjadi sebuah referensi bagi pembaca untuk memperbanyak kosakata. Kelak, tabungan kosakata tersebut akan berguna dalam komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh nyatanya adalah kejadian di pagi hari yang telah saya ceritakan di atas.
d. menambah pengetahuan: walau berlabelkan fiksi, cerita-cerita dalam novel juga mengandung pengetahuan. Banyak novel yang dilatari oleh sebuah lokasi yang nyata, juga dengan kondisi yang sebenarnya. Dalam novel genre kuliner, kita bisa menemukan resep-resep masakan yang layak dicoba, dan sebagainya.
dokumentasi pribadi

e.     melatih keterampilan menulis: setiap penulis yang cakap adalah pembaca yang handal. Ya, mustahil kemampuan menulis seseorang dapat berkembang tanpa dipupuki dengan asupan bacaan yang berkualitas. Saya sendiri menerapkan metode ini, yakni membaca sebanyak-banyaknya, bukan hanya untuk keterampilan menulis tapi juga untuk mendapatkan ide dan memperluas wawasan.

Kini, bagi saya membaca novel bukan lagi sekadar hiburan semata, namun telah menjadi kebutuhan. Membaca sudah menjadi rutinitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar