Kamis, 07 Februari 2019

Perempuan-perempuan di Kaki Gunung [Cerpen Harian Analisa, edisi Rabu 06 Februari 2019]

ilustrasi oleh Harian Analisa

PEREMPUAN-PEREMPUAN DI KAKI GUNUNG
Oleh Dian Nangin
            Cukup sepotong kokok pertama ayam yang bertengger di dahan jambu belakang rumah sebagai alarm pagi dan perempuan itu spontan terjaga. Ia tak lantas bangkit karena pergerakannya barusan membangunkan anak balitanya dan ia harus menepuk-nepuk punggung si anak agar kembali terlelap. Pagi masih begitu muda untuknya, belum saatnya ia bangun. Setelah si anak tenang dan kembali tidur, baru perempuan itu bangkit dan menjaga bunyi langkah kakinya ketika keluar bilik kecil itu.
Pintu belakang mengeluarkan suara derit yang kentara ketika dibuka. Serta merta segenggam abu tumpah menyiram wajahnya. Perempuan itu terbatuk-batuk sambil mengibaskan tangan. Dalam kegelapan ia menoleh dan mendongak jauh ke atas, ke arah yang selalu akrab di matanya. Batinnya berkata pasti gunung api di arah selatan itu meletus lagi tadi malam. Entah pukul berapa, entah untuk kali ke berapa.

Sambil bersedekap, ia melangkah keluar. Daster tipis dan lilitan sarung di pinggangnya tidak cukup hangat untuk mengusir dingin. Tapi, bagaimanapun, ia harus menunaikan tugasnya pagi ini. Ia menuju ke tumpukan kayu bakar di sisi rumah dan mengambil beberapa. Segera ia menyusunnya di tungku dan menyalakan api. Nasi ditanak dan air ditanggar. Ia berjinjit meraba bagian atas lemari usangnya dan menarik bungkusan plastik. Ia mengeluh ketika memeriksa isinya, mendapati satu dari lima ikan asin kering yang dihematnya minggu ini telah raib. Pasti tikus yang selalu menjajah lemarinya beraksi lagi. Kelengahan selalu menyisakan kerugian, turut pula penyesalan.
Ia kembali keluar rumah. Tanpa bantuan cahaya, perempuan itu merangkak-rangkak di bawah pohon jambu dan meraba sangkar ayam peliharaannya. Setelah beberapa kali menyentuh kotoran unggas itu, barulah ia mendapati tiga butir telur yang tergeletak berdekatan. Perempuan itu tersenyum. Walau tidak begitu mewah, namun ia bersyukur masih mampu mengisi lambung anak-anaknya hari ini. Ia  lantas memasak lauk dengan gegas.   
***
“Kami pergi sekolah, Mak.”
Dua kepala bocah melongok di ambang pintu belakang. Mereka mendapati sang ibu tengah mencuci perkakas dapur di luar.
“Sarapan kalian sudah dihabiskan?”
Kedua bocah tersebut mengangguk berbarengan. Perempuan itu tergopoh-gopoh bangkit sambil menggosok-gosokkan tangannya yang basah ke dasternya. Kening dua putranya dicium bergantian—kebiasaan tanda cinta yang tak pernah terlewatkan. Ah, perempuan itu sendiri tengah berjuang agar tidak kehilangan cinta untuk anak-anaknya, untuk suaminya, pun untuk dirinya sendiri. Situasi sulit begitu mudah mengenyahkan semangat hidup. Sikap putus asa seringkali menghampiri.
Bagaimana tidak? Sejak bencana gunung meletus itu melanda, ladang-ladang tak bisa lagi diusahakan. Benih-benih enggan tumbuh. Seandainya pun ada tunas-tunas baru yang muncul dari dalam tanah, mereka harus berjuang mati-matian untuk hidup dan perjuangan mereka selalu kandas sebelum membuahkan hasil.
Pun, tak ada gunanya pindah ke kota sebab akan membutuhkan biaya hidup yang tidak sedikit. Menyesuaikan diri dengan kehidupan kota pun biasanya lebih sulit, sebab sedari kecil mereka telah terbiasa dengan tanah, cangkul, serta kesederhanaan hidup di kampung kaki gunung api itu. Yang dapat dilakukan hanyalah tetap memelihara harapan.
***
            “Dapat apa tadi, Bang?”
            Perempuan itu bertanya pada sang suami yang baru kembali dari mengantri bantuan pemerintah di balai desa. Walau tak begitu suka menerima bantuan sebab itu berarti mengharap belas kasihan orang lain, namun mau tak mau mereka tetap berusaha mendapatkannya. Persediaan sembako semakin menipis. Asap dapur terancam tak mengepul. Sang suami sejak lama telah mengurangi kuantitas kunjungan ke kedai kopi sebab jumlah rupiah dalam pundi-pundi semakin memprihatinkan.
            “Hanya ini. Persediaannya sangat terbatas. Tidak semua kebagian. Dan, aku harus mengalah pada para lanjut usia.”
Lelaki itu menyerahkan sebungkus plastik kresek. Ketika dibongkar, isinya hanyalah tiga bungkus mi instan dan sekaleng susu kental manis. Jauh dari cukup untuk mengisi perut lima anggota keluarganya, apalagi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh.
“Mau kemana, Bang?” perempuan itu bertanya lagi ketika melihat sang suami kembali keluar rumah dengan map butut terkepit di antara lengannya.
“Ke kota bersama beberapa teman. Mungkin ada pekerjaan dan rezeki yang bisa kudapatkan hari ini.”
Perempuan itu mengiringi kepergian lelakinya dengan keraguan yang membubung. Sudah beberapa kali sang suami mencoba hal yang sama di hari yang lalu, namun belum juga membuahkan hasil. Maklumlah ia, sebab ijazah SMP atau SMA mungkin tak akan ‘laku’ di belantara kota. Semoga saja ada pekerjaan-pekerjaan kasar yang mengandalkan tenaga untuk dilakukan demi sedikit uang.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan dalam rumah, perempuan itu pergi keluar. Ditatapnya ke sekeliling sambil memutar otak. Dan, selalu ada ide-ide yang melintas di kepalanya—kadang ide yang bisa diterima akal, kadang ide yang tak masuk logika. Ia bergegas mengambil cangkul dan keranjang bambu. Anak bungsunya dititip pada tetangga, seorang wanita tua.
Dengan kaki telanjang, ia menyusuri tanah abu-abu. Serupa merapal mantra, ia memohon-mohon dalam hati supaya gunung itu tidak mengumbar amarahnya hari ini. Angin kencang menerbangkan debu yang memerihkan mata dan menyesakkan paru-paru, namun itu tak menghentikan langkahnya. Ia terus berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah ladang-ladang yang kini gersang.
Ia menekuri bekas-bekas tanaman yang telah hangus oleh lahar dan debu panas, menerka-nerka yang mana kira-kira ubi rambat, singkong, talas, atau apapun yang bisa dimakan. Dengan cangkulnya ia mulai menggerus tanah, mencangkul, dan mengeluarkan segala buah tanaman yang mampu ia temukan.
            Di tengah kekhusyukannya menggali, ia mendengar suara kemerosok dari beberapa arah. Hatinya ciut, khawatir ada petugas yang tengah berpatroli dan memergokinya melintasi zona aman serta masuk ke wilayah yang dilarang. Ia mengangkat kepala dan memandang ke sekeliling. Namun, bukannya mendapati petugas patroli, yang ia temukan malah perempuan-perempuan lain. Mereka juga tengah mengerjakan hal yang sama seperti ia lakukan. Menggali tanah, berusaha menemukan umbi-umbian, berjuang mempertahankan hidup.
Medan, 2018

1 komentar:

  1. Singkat padat jelas. Cukup mengisahkan perjuangan hidup di daerah Gunung berapi yang meletus.

    BalasHapus