ilustrasi oleh Harian Waspada |
MASA
ITU TELAH BERLALU
Oleh
Dian Nangin
Kupikir,
bukan sebuah kebetulan aku mendongak ke langit dan mendapati bulan utuh nan
cemerlang di langit malam ini. Utuh, bukan separuh, bukan pula menyabit. Bulan
tengah melintas di antara celah atap-atap rumah yang cukup rapat, hanya
menyisakan ruang sempit bagiku untuk menyadari keberadaannya. Pun hanya ada
sedikit waktu untuk menikmati keindahannya sebelum ia berlalu. Dan, tak dapat
kubendung semua memori tentangmu yang tiba-tiba mengetuk-ngetuk kepalaku dari
dalam, seakan mereka ingin membebaskan diri.
Kalau ada satu hal yang kubenci, itu adalah mengenangmu. Kau, yang tak
lagi bersamaku. Namun, demi melihat bulan yang cemerlang itu, mau tak mau
apapun yang kusimpan dalam kotak ingatan tentangmu menyeruak keluar.
“Ayo
menikmati cahaya bulan!” katamu malam itu sambil menyeret dua kursi ke teras. Aku
yang sedang merajut dua pasang kaus kaki untuk cucu kembar kita yang akan lahir
hanya mengernyit heran.
“Menikmati
bulan? Kau terdengar seperti pujangga,” olokku. “Itu bukan aktivitas yang lazim
dilakukan oleh pasangan tua macam kita.”
“Bulan
bisa menjadi milik siapa saja.”
Kuletakkan
rajutan setengah jadi itu. Kuikuti langkahmu ke teras. Kutengadahkan kepala dan
bibirku spontan tersenyum mendapati benda langit itu bertengger anggun di atas
sana, seolah sedang memamerkan diri pada kita.
“Ah, indah sekali,” serumu
takjub. “Sudah tak banyak orang yang mampu menikmati bulan belakangan ini.
Bulan tak lagi berarti. Ia kalah dengan lampu-lampu mobil, penerangan jalan,
pada sinar apapun yang memancar dari permukaan bumi ini. Orang tak lagi peduli
pada keberadaannya.”
Tepat kau selesai bicara,
seorang remaja perempuan yang tinggal di rumah sebelah melintas. Kepalanya tertunduk fokus pada
ponsel pintar yang menyala di tangannya. Ia mengangguk sopan ketika melihat
kita, lalu lanjut berjalan dengan mata kembali tertuju pada ponselnya. Kau
benar, tak banyak lagi orang yang mampu menikmati bulan.
“Dulu, di kampung, bulan
hadir menjadi teman anak-anak bermain di pekarangan, menjadi saksi sepasang
kekasih yang sedang mengikat janji. Bulan menjadi alasan bagi orang-orang duduk
di beranda, berbincang-bincang, mengeratkan hubungan keluarga, mendekatkan para
tetangga.”
“Kau benar,” kataku. Ingatanku
sejenak tertuju pada kampung halaman yang telah lama kita tinggal dengan segala
rutinitas yang kau utarakan barusan. “Sudah sangat lama kita tidak berbincang
di bawah sinar bulan. Tapi, sekarang, apa yang harus kita obrolkan?”
“Mungkin tentang kisah
cinta!?”
“Kisah cinta siapa?”
“Kita…?!”
“Tapi, kisah cinta kita
tidak begitu mengesankan.”
“Tidak butuh alur yang
menegangkan dan kisah dahsyat agar cerita kita jadi mengesankan.”
Aku mengangguk setuju. Mengingat
bagaimana kau melakukan perjuanganmu sendiri demi mendapatkanku adalah kisah
cinta terbaik kita, walau mungkin tak berkesan bagi orang lain. Kisah itu, ah,
sudah hampir empat puluh tahun yang lalu terjadi. Aku ingat, aku begitu jatuh
hati padamu.
Aku ingat keluar dari
pekerjaan yang telah menjadi rutinitasku selama bertahun-tahun dan memilih
pindah ke ibukota. Bukan sebuah keputusan yang mudah, sebab aku bukan berasal
dari keluarga berada dengan kondisi ekonomi aman terkendali. Melepas pekerjaan
berarti menggantungkan leher pada seutas tali sebab aku jadi tak punya sumber
pemasukan sama sekali. Yang dapat kulakukan hanyalah beririt-irit dengan
tabungan yang cuma sedikit.
Ayah ibuku bertanya-tanya
apa yang menyebabkanku mengakhiri karir. Tidak ada, kataku pada mereka. Aku
hanya ingin mengadu nasib, kataku. Mereka masih tak percaya, sebab tak terhitung berapa kali
kuumbar betapa nyamannya aku melakukan pekerjaan itu. Tapi, aku nekat melakukan
semuanya hanya karena patah hati. Patah hati terhadapmu.
“Itu tindakan bodoh. Kau
bahkan tak berusaha mengetahui kebenaran perasaanku,” kau menyeletuk.
“Tindakanmu lebih bodoh
lagi. Kau meninggalkan jabatan tinggi dan pendapatan yang lumayan, lalu
menyongsong ketidakpastian,” sahutku. Dulu, kau adalah atasanku di kantor
tempat kita mengabdikan diri, atasan yang digandrungi semua perempuan dari
berbagai divisi. Kedekatan dengan perempuan-perempuan itulah yang membuatku
patah hati.
“Cinta adalah hal bodoh,
tapi juga benar. Ia juga hal yang pasti, namun juga sekaligus tidak pasti.”
“Wah! Kau benar-benar jadi
pujangga sekarang,” ejekku, ”apalagi dilatari cahaya bulan seperti sekarang,
lengkaplah sudah.”
“Dulu, sepeninggalmu, aku
banyak membaca puisi cinta untuk menggenapkan kesedihanku.”
“Aku tak tahu kau punya sisi
kepribadian semacam itu.”
“Pantas saja. Kau bahkan tak
berusaha dekat denganku.”
Aku terdiam. Memang, waktu
itu aku memutuskan undur diri bahkan sebelum maju berperang. Kupikir kau pasti
sama sekali tak menaruh perhatian padaku yang hanya karyawan biasa, tak
berparas cantik, tak menarik, yang selalu tergopoh-gopoh mengejar target. Hanya
bisa kunikmati wajahmu dengan diam-diam mengintip dari meja kerjaku ketika kau
melintas. Aku berpikir kau akan terlihat cocok dan serasi dengan Marsella,
perempuan cerdas nan modis yang jabatannya tak jauh beda denganmu. Kutelan
sendiri kegalauanku, berpikir bahwa menyingkir darimu akan menyembuhkan hatiku.
“Tak penting apa yang telah
berlalu. Kita sudah bersama sekarang.”
Aku mengangguk. Itulah
kenyataannya. Begitu tahu aku mengundurkan diri dari kantor, kau pun mengambil
langkah serupa. Kau menyusul ke ibukota tanpa sepengetahuanku. Kau mencariku,
menyatakan cinta, hingga akhirnya waktu merestui dan mengikat kita berdua dalam
ikrar sehidup semati.
“Jangan
katakan kita akan berpisah suatu hari nanti. Itu sangat menyakitkanku,” kataku sungguh-sungguh. Tak ada lagi rasa malu
sekarang untuk mengakui segala isi hati.
“Ternyata, begitu besar
cintamu padaku, ya,” gantian kau yang mengolokku.
Aku mengalihkan pandang. Kupikir,
senyum sipuku cukup menjadi jawaban.
“Tetap saja ada yang akan
memisahkan kita,” katamu pelan.
Aku tahu pasti apa yang akan
kau ucapkan, namun terpikir olehku sebuah komentar usil. “Kau akan berselingkuh?”
Kau berdecak, lalu tertawa.
“Ya.”
“Dengan siapa?”
“Kematian.”
Kita sontak terdiam. Kata
itu terucap juga. Tak kutemukan kalimat untuk membantahmu, sebab kau memang
benar. Seberapa kuat pun aku menyangkal, tetap saja kita adalah manusia yang
ada dan lalu menjadi tiada. Itulah kebenarannya.
Kita berawal dan berakhir seorang
diri. Kita yang dulu hidup sendiri-sendiri, belajar tentang konsep hidup
berdua. Bersama. Kemudian beramai-ramai setelah keempat anak kita lahir,
diwarnai keharmonisan dan kekacauan yang silih berganti mengisi hari-hari.
Setelah keempat anak kita menikah dan keluar rumah untuk membangun keluarga
masing-masing, kita kembali pada konsep hidup berdua. Kini, aku kembali sendiri
setelah kau pergi tanpa janji kembali. Yang dapat kulakukan hanyalah meniti
hari-hari sebelum tiba waktuku untuk menyusulmu.
Kapan waktuku akan tiba
selalu jadi misteri, seperti waktumu yang mendadak menyergap ketika aku sama
sekali tidak siap. Kupikir akulah yang lebih dulu berlalu dari kehidupan karena
akulah yang teronggok berminggu-minggu di rumah sakit. Namun, aku kemudian
sembuh lalu kau terpeleset dan jatuh berdebam di kamar mandi, seketika berlalu
begitu saja.
Kisah tentang kita sudah
habis tercurah. Yang ada kini hanyalah tentang kesendirianku. Hari-hari lebih
banyak kuisi dengan kegiatan yang kubenci, sebab aku hanya bisa melakukannya
bersama sunyi: mengenangmu.
Medan, 2018-2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar