Selasa, 17 September 2019

Masa Itu Telah Berlalu [Cerpen WASPADA, edisi Minggu, 15 September 2019]

ilustrasi oleh Harian Waspada

MASA ITU TELAH BERLALU
Oleh Dian Nangin

            Kupikir, bukan sebuah kebetulan aku mendongak ke langit dan mendapati bulan utuh nan cemerlang di langit malam ini. Utuh, bukan separuh, bukan pula menyabit. Bulan tengah melintas di antara celah atap-atap rumah yang cukup rapat, hanya menyisakan ruang sempit bagiku untuk menyadari keberadaannya. Pun hanya ada sedikit waktu untuk menikmati keindahannya sebelum ia berlalu. Dan, tak dapat kubendung semua memori tentangmu yang tiba-tiba mengetuk-ngetuk kepalaku dari dalam, seakan mereka ingin membebaskan diri.
            Kalau ada satu hal yang kubenci, itu adalah mengenangmu. Kau, yang tak lagi bersamaku. Namun, demi melihat bulan yang cemerlang itu, mau tak mau apapun yang kusimpan dalam kotak ingatan tentangmu menyeruak keluar.
            “Ayo menikmati cahaya bulan!” katamu malam itu sambil menyeret dua kursi ke teras. Aku yang sedang merajut dua pasang kaus kaki untuk cucu kembar kita yang akan lahir hanya mengernyit heran.
            “Menikmati bulan? Kau terdengar seperti pujangga,” olokku. “Itu bukan aktivitas yang lazim dilakukan oleh pasangan tua macam kita.”
            “Bulan bisa menjadi milik siapa saja.”
            Kuletakkan rajutan setengah jadi itu. Kuikuti langkahmu ke teras. Kutengadahkan kepala dan bibirku spontan tersenyum mendapati benda langit itu bertengger anggun di atas sana, seolah sedang memamerkan diri pada kita.

“Ah, indah sekali,” serumu takjub. “Sudah tak banyak orang yang mampu menikmati bulan belakangan ini. Bulan tak lagi berarti. Ia kalah dengan lampu-lampu mobil, penerangan jalan, pada sinar apapun yang memancar dari permukaan bumi ini. Orang tak lagi peduli pada keberadaannya.”
Tepat kau selesai bicara, seorang remaja perempuan yang tinggal di rumah sebelah  melintas. Kepalanya tertunduk fokus pada ponsel pintar yang menyala di tangannya. Ia mengangguk sopan ketika melihat kita, lalu lanjut berjalan dengan mata kembali tertuju pada ponselnya. Kau benar, tak banyak lagi orang yang mampu menikmati bulan.
“Dulu, di kampung, bulan hadir menjadi teman anak-anak bermain di pekarangan, menjadi saksi sepasang kekasih yang sedang mengikat janji. Bulan menjadi alasan bagi orang-orang duduk di beranda, berbincang-bincang, mengeratkan hubungan keluarga, mendekatkan para tetangga.”
“Kau benar,” kataku. Ingatanku sejenak tertuju pada kampung halaman yang telah lama kita tinggal dengan segala rutinitas yang kau utarakan barusan. “Sudah sangat lama kita tidak berbincang di bawah sinar bulan. Tapi, sekarang, apa yang harus kita obrolkan?” 
“Mungkin tentang kisah cinta!?”
“Kisah cinta siapa?”
“Kita…?!”
“Tapi, kisah cinta kita tidak begitu mengesankan.”
“Tidak butuh alur yang menegangkan dan kisah dahsyat agar cerita kita jadi mengesankan.”
Aku mengangguk setuju. Mengingat bagaimana kau melakukan perjuanganmu sendiri demi mendapatkanku adalah kisah cinta terbaik kita, walau mungkin tak berkesan bagi orang lain. Kisah itu, ah, sudah hampir empat puluh tahun yang lalu terjadi. Aku ingat, aku begitu jatuh hati padamu.
Aku ingat keluar dari pekerjaan yang telah menjadi rutinitasku selama bertahun-tahun dan memilih pindah ke ibukota. Bukan sebuah keputusan yang mudah, sebab aku bukan berasal dari keluarga berada dengan kondisi ekonomi aman terkendali. Melepas pekerjaan berarti menggantungkan leher pada seutas tali sebab aku jadi tak punya sumber pemasukan sama sekali. Yang dapat kulakukan hanyalah beririt-irit dengan tabungan yang cuma sedikit.
Ayah ibuku bertanya-tanya apa yang menyebabkanku mengakhiri karir. Tidak ada, kataku pada mereka. Aku hanya ingin mengadu nasib, kataku. Mereka masih  tak percaya, sebab tak terhitung berapa kali kuumbar betapa nyamannya aku melakukan pekerjaan itu. Tapi, aku nekat melakukan semuanya hanya karena patah hati. Patah hati terhadapmu.
“Itu tindakan bodoh. Kau bahkan tak berusaha mengetahui kebenaran perasaanku,” kau menyeletuk.
“Tindakanmu lebih bodoh lagi. Kau meninggalkan jabatan tinggi dan pendapatan yang lumayan, lalu menyongsong ketidakpastian,” sahutku. Dulu, kau adalah atasanku di kantor tempat kita mengabdikan diri, atasan yang digandrungi semua perempuan dari berbagai divisi. Kedekatan dengan perempuan-perempuan itulah yang membuatku patah hati.
“Cinta adalah hal bodoh, tapi juga benar. Ia juga hal yang pasti, namun juga sekaligus tidak pasti.”
“Wah! Kau benar-benar jadi pujangga sekarang,” ejekku, ”apalagi dilatari cahaya bulan seperti sekarang, lengkaplah sudah.”
“Dulu, sepeninggalmu, aku banyak membaca puisi cinta untuk menggenapkan kesedihanku.”
“Aku tak tahu kau punya sisi kepribadian semacam itu.”
“Pantas saja. Kau bahkan tak berusaha dekat denganku.”
Aku terdiam. Memang, waktu itu aku memutuskan undur diri bahkan sebelum maju berperang. Kupikir kau pasti sama sekali tak menaruh perhatian padaku yang hanya karyawan biasa, tak berparas cantik, tak menarik, yang selalu tergopoh-gopoh mengejar target. Hanya bisa kunikmati wajahmu dengan diam-diam mengintip dari meja kerjaku ketika kau melintas. Aku berpikir kau akan terlihat cocok dan serasi dengan Marsella, perempuan cerdas nan modis yang jabatannya tak jauh beda denganmu. Kutelan sendiri kegalauanku, berpikir bahwa menyingkir  darimu akan menyembuhkan hatiku.
“Tak penting apa yang telah berlalu. Kita sudah bersama sekarang.”
Aku mengangguk. Itulah kenyataannya. Begitu tahu aku mengundurkan diri dari kantor, kau pun mengambil langkah serupa. Kau menyusul ke ibukota tanpa sepengetahuanku. Kau mencariku, menyatakan cinta, hingga akhirnya waktu merestui dan mengikat kita berdua dalam ikrar sehidup semati.
Jangan katakan kita akan berpisah suatu hari nanti. Itu sangat menyakitkanku,” kataku sungguh-sungguh. Tak ada lagi rasa malu sekarang untuk mengakui segala isi hati.
“Ternyata, begitu besar cintamu padaku, ya,” gantian kau yang mengolokku.
Aku mengalihkan pandang. Kupikir, senyum sipuku cukup menjadi jawaban.
“Tetap saja ada yang akan memisahkan kita,” katamu pelan.
Aku tahu pasti apa yang akan kau ucapkan, namun terpikir olehku sebuah komentar  usil. “Kau akan berselingkuh?”
Kau berdecak, lalu tertawa. “Ya.”
“Dengan siapa?”
“Kematian.”
Kita sontak terdiam. Kata itu terucap juga. Tak kutemukan kalimat untuk membantahmu, sebab kau memang benar. Seberapa kuat pun aku menyangkal, tetap saja kita adalah manusia yang ada dan lalu menjadi tiada. Itulah kebenarannya.
Kita berawal dan berakhir seorang diri. Kita yang dulu hidup sendiri-sendiri, belajar tentang konsep hidup berdua. Bersama. Kemudian beramai-ramai setelah keempat anak kita lahir, diwarnai keharmonisan dan kekacauan yang silih berganti mengisi hari-hari. Setelah keempat anak kita menikah dan keluar rumah untuk membangun keluarga masing-masing, kita kembali pada konsep hidup berdua. Kini, aku kembali sendiri setelah kau pergi tanpa janji kembali. Yang dapat kulakukan hanyalah meniti hari-hari sebelum tiba waktuku untuk menyusulmu.  
Kapan waktuku akan tiba selalu jadi misteri, seperti waktumu yang mendadak menyergap ketika aku sama sekali tidak siap. Kupikir akulah yang lebih dulu berlalu dari kehidupan karena akulah yang teronggok berminggu-minggu di rumah sakit. Namun, aku kemudian sembuh lalu kau terpeleset dan jatuh berdebam di kamar mandi, seketika berlalu begitu saja.
Kisah tentang kita sudah habis tercurah. Yang ada kini hanyalah tentang kesendirianku. Hari-hari lebih banyak kuisi dengan kegiatan yang kubenci, sebab aku hanya bisa melakukannya bersama sunyi: mengenangmu.
Medan, 2018-2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar